MOON
Vers 1.0
On Wattpad by dyahlisty & avrahayuKata pujangga, "senyummu mengalihkan duniaku"
Ah, bagaimana ceritanya? Masa dengan senyum bisa mengalihkan dunia? Memang dunia ini sebesar biji selong?
Aku tak percaya dengan kalimat yang dibuat para pujangga itu. Tidak.
Namun, apa? Hari ini aku memakan omonganku sendiri tersebab kamu. Iya, kamu. Kamu memang jahat.
_______________________________________
Adam? Batinku, aku melihat layar ponsel. Darimana dia tau nomorku? Haruskah aku membalasnya sekarang atau nanti saja? Tunggu beberapa jam kemudian aja deh. Tapi.. Ah, sepertinya sombong sekali kalau begitu. Oh iya, dia pasti tau kalau aku sedang sibuk. Sibuk? Tapi kan ini jam makan siang. Haduh...
Aku memejamkan mata dan meronta-ronta kecil karena gregetan sendiri.
"Bell! Bella!" Deg, aku tersentak, wajah teman di sampingku merah padam, kurasa dia sudah memanggilku beberapa kali dan aku baru merespon. Aku nyengir.
"Dipanggil Bos tuh" katanya lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
Aku segera berdiri dan menghampiri Pak Ridwan pimpinan departemen. Aku berdiri di depan pintu besi ruangannya, masih terngiang dengan pesan singkat Adam. Aku senang namun penasaran. Akan kubalas pesannya setelah menemui Pak Ridwan, pikirku.
Cklek!
Pintu besi itu kubuka. Orang—orang di dalamnya bersorak menyambutku. Aku gugup, rupanya panggilan Pak Ridwan tadi membawaku ke ruangan ini, ruangan yang penuh dengan orang-orang hebat, Mbak Risma, Mas Urfan, dan juga~ Adam. Tak hanya mereka, beberapa volunteer pun rupanya ikut bergabung di proyek besar ini. Proyek pembuatan kartun 3d.
Aku melihat Adam di pojokan ruangan dengan beberapa orang tim. Ah, Adam lagi. Aku senang sekaligus sebal melihatnya. Senang berada di dalam satu tim dengannya, yang artinya kita akan sering bertemu. Namun sekaligus sebal, entah apa penyebab sebalnya. Intinya sebal aja. Cewe memang begitu, pikirku keheranan sendiri.
"Ah, sudahlah" batinku, niat untuk membalas pesannya tiba-tiba sirna.
Aku duduk di samping beberapa rekan kerja dari kantorku, berbasa-basi mendengar celoteh mereka sebelum rapat perdana dimulai. Ada yang senang ikut proyek ini tapi ada beberapa juga yang mengeluh.
"Ini akan jadi hari-hari yang melelahkan"
"Ah, tidak juga. Ini akan jadi hari-hari yang menyenangkan"
"Ini hidup, Bro. Sekali-kali keluar dari zona nyaman dan lakukan hal-hal yang baru"
"Eh eh.. katanya nih..." Yoyok memulai pembicaraan.
Gawat! Kalau sudah ke tahap 'katanya' maka akan terjerumus ke lubang pengghibahan. Ingin rasanya tak nimbrung, takut dosa. Tapi bagian dari diriku yang lain penasaran dengan pembahasan dari 'katanya' itu.
"Ehm.." Tiba-tiba seseorang datang dan membatalkan lubang pengghibahan yang akan dimulai.
"Eh, Mas Urfan" Celetuk Yoyok kaget.
"Lagi ngapain nih? Kayaknya seru" Tanya Mas Urfan lagi.
"Seru dong Mas.. Sini nimbrung mumpung belum dimulai rapatnya" Tanggap yang lainnya.
"Emm... sebenarnya aku kesini mau manggil si Bella sih" Ucap Mas Urfan yang segera ditanggapi dengan kata "oohhhhh" serentak.
"Bell.. Bell" Yoyok mengedipkan mata mengisyaratkan agar aku segera keluar dari lingkaran pengghibahan.
"Bell.. Bell.." diikuti dengan yang lainnya juga.
"Bella doang nih Mas yang dipanggil" ledek Astrid senyum-senyum.
"Besok Abang manggil Astrid deh" ledek Mas Urfan balik.
"Astrid maunya sekarang, Bang"
"Iya..Iya urut absen" Begitulah Mas Urfan. Suka meledek rekan-rekan kerjanya. Banyak gosip kalau dia sedikit, emm...playboy.
Aku sudah diwanti-wanti oleh beberapa teman, seperti Astrid dan Yoyok ini kalau aku jangan mudah termakan oleh sikap buaya lelaki seperti Mas Urfan ini, terlebih kata mereka aku terlihat polos (?). Aku hampir tertawa mendengarnya, lucu aja begitu.
"Lho serius ini Bell. Apa coba namanya kalau bukan modus? Cuma kamu lho yang diijinin ngevolunteer kemarin. Sampai semingguan lagi" Ucap Astrid.
"Itu kan karena disananya kekurangan orang, Trid. Lagian Yoyok juga..." Aku berpikir sejenak. Yoyok kan ngga sebidang sama aku dan Mas Urfan juga.
"Yoyok juga apa?" Tanya Astrid.
"Udah udah.. Tenang aja Trid. Aku pasti bisa menjaga diri dan tidak mudah tergiur sama gombalan lelaki" Ucapku pada Astrid yang meresponnya dengan acungan jempol.
########
Tepat di halaman balkon kantor yang memamerkan perkotaan Yogya. Andong, huruf-huruf aksara jawa di tiang-tiang penunjuk nama jalan atau tempat, toko-toko batik da souvenir dan segala macam kekhasan tentang Yogya.
Mas Urfan membawaku ke sudut balkon dan disana terdapat sebuah meja, peralatan komputer dan sebotoll air mineral.
"Aku sekarang di bidang produsi Bell. Kita ngga sebidang. Tapi nanti kalau kamu mengalami kesulitan jangan sungkan-sungkan tanya sama Mas." Matanya tertuju pada layar laptop dan jemarinya masih menggeser-geserkan kursor.
"Nih Mas kasih aplikasi bagus buat proyek ini." Dia menyodorkan sebuah flashdisk. Aku menyambutnya.
"Proyek ini kita ngga sebidang" Ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan. "Tapi kamu kalau ada apa-apa tetep bilang ke Mas ya"
Aku mengernyitkan dahi, meminta penjelasan apa yang dia maksud.
"Aku tetap atasanmu di luar proyek ini."
Aku mengangguk lagi, dan ingat apa kata Astrid. Tabiat aslinya seperti ini kah? Atau ini cara melumpuhkan hati wanita? Aku terkekeh seraya membangun dinding antara aku dan Mas Urfan bahwa Mas Urfan hanyalah seorang atasan yang perhatian dengan bawahan-bawahannya.
"Oh ya, sepertinya rapat sudah dimulai" Aku melihat sekeliling yang sudah mulai sepi dengan aktiftas kecil anggota tim.
"Yuk kita masuk" Mas Urfan bergegas membawa barang-barangnya. "Kamu duluan saja Bell" lanjutnya. Lalu aku sedikit berlari masuk ke dalam gedung.
Aku masuk dari pintu atas, ruangan sudah gelap kecuali layar yang menayangkan intro rapat perdana ini.
Ruangan rapat yang didesain seperti ruangan rapat perwakilan dewan ini dilengkapi juga dengan mikrofon di mejanya.
Mas Urfan berjalan turun memilih tempat yang lebih dekat dengan layar. Sedangkan aku memilih tempat di belakang tersebab sudah penuh terisi. Sekaligus aku tak ingin dekat-dekat dengan Urfan untuk saat ini.
Aku mencari-cari kursi yang masih kosong, karena ruangan gelap jadi agak susah mencarinya. Tak berapa lama aku melihat flash ponsel yang digoyang-goyangkan, aku mendekat.
Si empunya ponsel itu tersenyum di antara cahaya layar yang memantul di wajah tegasnya, Adam.
Dia mendorong kursinya agar aku bisa duduk.
Aku terduduk dan melihat ke arahnya, tak ku sangka dia sedang tersenyum denganku. Senyumnya membuatku beku dan seketika menghilangkan kekesalan di dalam hati. Tak kusangka bisa sedekat ini dengan Adam.
"Tentang nomor ponsel yang kukirimkan itu, Maaf bila itu mengganggumu" ucapnya dengan pandangannya ke arah layar.
"Ah, nggak" ucapku spontan. "Ngga mengganggu kok" tambahku cepat.
"Terimakasih" ucapnya dengan senyum yang melekat ke mataku. Aku gugup dibuatnya.
Terlalu dekat, begitu dekat senyum itu merekah di depan mataku. Aku tak terpikirkan untuk melihat senyum itu disini, di depan mataku sendiri. Setelah beberapa waktu lalu, yang hanya bisa kulihat dari kejauhan.
Benar apa kata pujangga, aku mengakuinya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOON
SpiritualPada akhirnya, aku hanya menghabiskan waktu tanpa guna. Dan ceritaku pun berakhir tanpa ada kelanjutannya.