MOON: Dua

22 4 0
                                    

MOON
Vers 1.0
On Wattpad by dyahlisty & avrahayu

Aku penyuka malam yang berawan, tanpa bulan apalagi bintang.
Tiba-tiba kenapa awan itu beranjak? Pergi melindungi pandanganku dari banyak cahaya yang berpendar dibaliknya. Aku menutup mata. Tak ingin melihatnya.

“Bella..” Aku melengos mencari sumber suara. Mas Urfan memanggilku dari arah yang berlawanan.

“Makanannya sudah kebagian semua?” Tanyanya dengan alis yang saling berdekatan karena cahaya matahari sore berlawanan dengan arah hadapnya

“Sudah semua Mas. Mbak Irma dimana Mas?”

“Dia di kelurahan sebelah. Disini yang bertugas aku, kamu sama Citra” jelasnya sembari berjalan ke posko untuk beristirahat sejenak. Aku mengikutinya dari belakang.

Mas Urfan, dia seniorku di kantor. Berkatnya, aku bisa mendapatkan izin untuk kegiatan volunteer selama tiga hari kerja. Meski berbeda departemen, ia dikenal sebagai senior yang humble kepada juniornya.

“Selama aku jadi volunteer, baru kali ini aku mendapatkan kesempatan di daerah bencana. Dan lagi, berkat Mas Urfan aku dapat izin dari kantor”

“Ah, itu bukan jadi masalah yang serius, Bell. Lagian saya mau tau seberapa pedulinya kamu untuk sesama” Dia mengangguk-angguk kecil dengab matanya yang meledek.

“Wah.. Mas Urfan nantangin nih” Aku tertawa kecil dengan bercandaannya itu.

“Aku serius lho Bell, ini bukan candaan” raut mukanya jelas sekali dibuat-buat.

“Semakin terlihat itu candaan mas” Aku terkekeh. “Oiya, agenda malam ini apa saja ya Mas?”

“Wah sebagai leader pengganti Mbak Irma disini, harusnya aku yang bertanya seperti itu” Candanya lagi dengan berpura-pura prihatin

“Kenapa Mbak Irma ngga memandatkan aku saja?” timpalku membalas candaannya.

“Tadi ada rapat kecil-kecilan dengan bidang lain. Malam ini kita sholat berjamaah dan doa bersama” Kini, suaranya kembali serius.

“Hanya itu?” tanyaku.

“Kamu maunya apa lagi?” Tanyanya. “Mau aku jadi imammu?” lanjutnya terkekeh. Aku menggelengkan kepala seraya tertawa.

Tiba-tiba Citra mendekati kami.
“Sini Cit.” panggilku.

“Oh jadi ada rapat tanpa melibatkan aku?” Suaranya seperti ada nada cemburu.

“Engga kok, tadi kebetulan aja ketemu sekalian istirahat dulu” aku memberikan ruang untuk citra duduk di antara aku dan Mas Urfan.

“Kamu kan tadi ikut rapat kecilnya juga, Cit” Jelas Mas Urfan

“Oiya Mas, setelah sholat dan doa bersama bagaimana kalau kita mengadakan hiburan saja buat anak-anak atau belajar bareng?” Saran Citra antusias. Mas Urfan menghembuskan napasnya.

“Pasti anak-anak sudah capek, Cit. Kita biarkan dulu mereka istirahat. Kita membantu bidang yang lain saja.”

Aku hanya menyimak diantara dua insan yang sekarang sudah tidak ada hubungan spesial lagi. Canggung, itu atmosfer yang aku rasakan. Aku berpamitan keluar posko untuk melihat anak-anak lagi.

“Sekarang anak-anak dimana ya?” batinku melihat-lihat sekeliling. Keadaan diluar cukup sepi, kebanyakan dari kami sedang beristirahat di poskonya masing-masing. Meski ada beberapa yang masih membantu TNI dan tim SAR.

“Adam, Awas!” Teriakan Mas Urfan muncul dari belakang aku berdiri, aku kaget dibuatnya sekaligus panik karena beberapa puing tiba-tiba runtuh menimpa beberapa orang yang berada di dalamnya. Orang-orang segera berlarian untuk menolong orang yang kejatuhan itu. Aku ikut berlari juga ke tempat kejadian.

Tiga orang langsung diselamatkan dan dievakuasi. Salah satunya adalah lelaki yang tadi siang melihatku bersama anak-anak. Kulihat Mas Urfan membopong lelaki itu, ia terlihat sangat khawatir.

“Sudah Fan, engga apa-apa kok” Sepertinya lelaki itu sudah kenal baik dengan Mas Urfan. Mereka terlihat akrab.

“Gimana ngga papa?? Lihat kakinya berdarah begitu” Mas Urfan membimbingnya keluar dari kerumunan menuju posko kesehatan.

Diam-diam aku menyimpulkan sesuatu, lelaki yang tersenyum tadi siang bernama Adam.
"oh.." desahku mengaggukkan kepala.
Tiba-tiba aku merasa senang mengetahui namanya? Jahatkah aku? Di saat dia terluka, diam-diam itu menjadi informasi yang penting bagiku.

Peringatan anggota TNI untuk selalu berhati-hati dalam evakuasi bencana pasca gempa dikeluarkan, siapapun yang akan membantu harus selalu berhati-hati agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

##
Matahari sudah akan kembali ke peraduannya, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Tim volunteer segera bersiap-siap untuk membentangkan tikar di tanah yang cukup lapang agar korban bencana tidak berdesak—desakan saat sholat berjamaah.

“Padahal Adam udah ditunjuk mau jadi imamnya” Ucap Mbak Irma menghembuskan napas berat.

“Mbak, aku kok baru liat Mas Adam ya?” Tanyaku,
berita tentang Adam sudah menyebar diantara tim volunteer dan menjadi bahan pembicaraan yang hangat bagi beberapa orang.

Kudengar beberapa kalimat kalau dirinya baru bergabung dengan tim volunteer kami lagi, ada juga yang berkata dia adalah lelaki idaman.
Entahlah, aku belum tau kebenarannya.

“Dia itu sebenarnya sudah lama di volunteer Yogya. Hanya saja dia off setelah kamu masuk. Sekarang datang lagi dan sepertinya akan lama di Yogya” Aku mengangguk mendengar cerita Mbak Irma.

'Ternyata benar' batinku
"Tapi kenapa kembali lagi? Sebenarnya apa yang dia cari disini? Tanyaku pada diri sendiri

Tak sopan rasanya jika bertanya terlalu jauh pada Mbak Irma. Toh, aku bukan siapa-siapa. Kenapa kepo banget?

Adzan sudah berkumandang, setelah wudhu dan mengenakan mukenah aku bergabung di barisan perempuan. Sholat maghrib berjamaah dilaksanakan dengan penuh khusu’ meski ada kekhawatiran akan adanya gempa susulan.

Sholat berjamaah usai yang dilanjutkan dengan doa selesei sholat dan membaca sholawat bersama, terdengar mikropon berpindah ke orang lain.

Suara berat dengan melantunkan sholawat kepada Baginda Nabi menggema seisi langit di atas kami. Seakan-akan bintang dan rembulan juga ikut bersholawat untuk Baginda Rosululloh. Alunannya lembut meski suaranya berat, fasih dan tidak terlalu cepat maupun terlalu lambat sehingga bisa diikuti oleh jamaah.

“Mas Adam itu memang yaa..” Niken tiba-tiba bersuara, mengagumkan nama Adam. Tatapannya melihat ke barisan lelaki.

“Hei Ken.. fokus amat!” Sengaja kualihkan pandangan Niken.

“Masya Alloh Bel. Itu lho Mas Adam pakai peci dan baju koko sambil mimpin sholawat pula. Benar-benar deh..” Niken masih memandangnya sambil berdecak kagum.

Sebisa mungkin aku tetap di posisiku, memandang ke arah tanah dan berusaha tidak mempedulikan omongan Niken.

“Masih muda udah punya usaha sendiri, alim, baik hati, punya sosial tinggi. Sayang sekali belum punya istri”

Serrrr…. Aliran darahku seperti tersetrum sengatan listrik. Ucapan Niken yang tidak kupedulikan, diam-diam kujadikan informasi tambahan. Munafik sekali bukan?

“Bel.. kamu juga belum menikah, kan?” bisiknya di telingaku.Aku menggeleng.

“Untung saja aku sudah menikah lho. Kamu beruntung tidak punya saingan” tambahnya lagi ketawa kecil.

“Siapa tau dia udah punya calon” Akhirnya aku kalah. Aku menanggapi obrolannya yang menggelitik hatiku.

“Siapa tau belum. Sana gih coba cari tau. Nanti keburu sama yang lain lho” bisiknya lagi.

“Ah, ngga tertarik” bisiku.

“Tapi memang susah sih kalau mau dapetin dia. Secara, dia itu idaman semua wanita. Kamu harus kuat ya, bakal banyak saingan disana.” Godanya lagi, aku mendesah kesal.

Diam-diam aku menikmati suaranya yang berat. Astaghfirulloh..
Semoga pendengaranku tidak menjadikanku zina. Sebab lebih senang mendengar suaranya daripada mendengar isi sholawatnya.

Aku beristighfar berkali-kali.

MOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang