BAB 6

4.3K 132 1
                                    

Di dalam rumah yang belum sepenuhnya di dekorasi dengan baik itu Farhan membawa Mawar masuk. Ia memutuskan membawa Mawar ke rumahnya dan Nafisa, tak tahu harus di bawa ke mana selain di rumah ini.

"Ini rumah siapa Ran?" tanya Mawar sambil melihat sekeliling

"Rumah masa depanku" jawabnya cuek

"Rumah kita?" Mawar terlalu kelewat bahagia

Farhan tak bisa menjawab. Jika di bilang iya, tak mungkin. Karena ini rumahnya dengan Nafisa. tapi jika di bilang tidak, sama saja tak ada jawaban lain.

"Kamu tinggal di sini dulu ya" akhirnya hanya itu jawabnya

"Di rumah ini?" Mawar melihat ke sekeliling. Ia merasa nyaman tapi takut juga karena sunyi

"Iya. Tak ada tempat persembunyian yang lebih aman selain rumah ini" jelas Farhan

"Tapi kamu tinggal denganku kan?"

"Tidak!" tolak Farhan cepat "Aku tidak bisa tinggal denganmu, kita bukan mahrom" Farhan masih menjunjung tinggi adab

"Kalau begitu nikahi aku sekarang. Aku siap" Mawar terlihat sungguh-sungguh

Farhan malah makin salah tingkah. Ia tak tahu keputusan sesaatnya harus berakhir dengan cara seperti ini.

"Sebenarnya ada apa? Sampai kamu mau kabur dari rumah?" lagi-lagi Farhan ganti topik

"Sebenarnya.." Mawar menghentikan ceritanya. Menatap Farhan sejenak "Aku di paksa menikah dengan pengusaha yang sudah menolong keluargaku" cerita Mawar dengan suara lirih nyaris menangis

"Pengusaha? Keluargamu kenapa?" Farhan mengeryitkan dahi

"Perusahan papa terancam bangkrut. Dan dia seolah menjadi pahlawan, karena merasa berutang budi, papa malah menjodohkan kami" Mawar menekan ucapannya tentang pernikahan yang terpaksa

Farhan lalu menyentuh kaku pundak Mawar. Ia berpikir seharusnya saat itu ia mendengar penjelasan Mawar terkait perjodohan bodoh itu, seharusnya ia tak setuju begitu saja dengan pernikahan yang di ajukan keluarga Nafisa.

"Maafkan aku" ucap Farhan pada akhirnya

"Kenapa kamu minta maaf? Aku yang seharusnya minta maaf"

"Kamu harus dengar baik-baik ya!" Farhan melepas sentuhannya dan menatap Mawar nanar

Sedangkan Mawar menatap Farhan dengan tanda tanya. Terpaksa hanya mengangguk

"Selama enam bulan kamu menghilang. Sebenarnya.." Farhan menghentikan ucapannya. Menatap Mawar yang serius mendengarkan

"Sebenarnya aku sudah menikah!" lanjutnya agak ragu lalu menunduk

Mawar terbelalak kaget. Ia kemudian perlahan mundur, menatap Farhan yang menunduk tak berani menatapnya

"Dengan siapa?"

"Gadis yang menyambutmu di rumah waktu itu" jawabnya cepat

Mawar lalu mengingat Nafisa. gadis lugu yang menyambutnya dan berlaku seolah benar dia adalah adik Farhan. Tapi, ternyata ia itu istrinya.

"Gadis SMA itu?" timpalnya saat sudah mengingat Nafisa

"Iya. Kami menikah saat dia masih SMA, masih sangat muda. Itu pun karena kesalah pahaman di antara keluarganya dan keluargaku"

"Lalu dia tahu kamu di sini denganku?" Mawar agak tak enak hati dengan Nafisa. ia juga perempuan, ia tahu bahwa pasti sakit rasanya di tinggal suami demi perempuan lain.

"Iya. Dia tahu, dia juga tahu aku masih mencintaimu" Farhan meraih tangan Mawar dan di genggamnya erat

Mawar sangat tersentuh saat Farhan bilang kalau dia masih mencintanya. Sebagai wanita ia sangat suka jika orang yang ia cintai masih mencintainya. Tapi sebagai seorang kakak, seorang perempuan berperasaan yang mengerti perasaan wanita lain, ia tak sampai hati dengan Nafisa

"Pulanglah. Aku tak mau jadi wanita penganggu rumah tangga orang" ucap Mawar lirih

"Mawar" wajah Farhan berubah iba

"Aku mencintaimu Ran. Tapi kamu sudah beristri, seandainya aku tahu dari awal. Aku tak mungkin meminta bantuanmu"

"Tapi aku melakukan ini karena aku mau menolongmu"

"Tidak!" jawab Mawar tegas "Sangat lebih baik jika kamu seharusnya cuek. Ran, perbuatan kita salah, aku tak bisa harus berharap padamu. Kasihan gadis itu, aku sekilas melihatnya, dia gadis yang baik. Kamu harus menyayanginya" ucap Mawar tulus

Farhan tak banyak membantah atau beradu argumen seperti biasa. Mawar di antar kembali ke rumahnya. Ia memutuskan untuk menikah dengan pria pilihan keluarganya, karena ia sadar. Bahwa mengharapkan Farhan sudah tak mungkin. Kecuali Nafisa mau di duakan

*****

Sepulang Farhan dari rumah Mawar. Ia mendapati Nafisa masih menunggunya hingga mondar-mandir di lantai dua depan televisi. Ia merasa agak kurang enak hati dengannya, ia tahu Nafisa mencegahnya karena ingin yang terbaik untuk mereka.

"Kamu belum tidur?" suara Farhan mengejutkannya

Ia tak langsung menjawab. Malah menatap Farhan dengan tatapan lain dari yang lain, tatapan yang menusuk dan mengerikan

"Maaf Kak, aku sebagai istrimu tak tenang ketika suamiku pergi keluar dengan wanita lain dan aku tak tahu mereka melakukan apa saja di luar sana" Nafisa berujar terang-terangan

Farhan diam. Nafisa memang gadis yang cerdas, pengumuman hasil ujian nasional saja ia meraih peringkat pertama dengan nilai sempurna. Maka tak heran ketika ia begitu peka terhadap Farhan.

"Aku tidak melakukan apa-apa Fi, sekarang aku capek. Tolong lupakan apa yang baru saja terjadi di antara kita" Farhan lalu masuk ke kamar, tanpa tahu bahwa Nafisa sedang jengkel

Nafisa mengatur aliran nafasnya yang seolah menggebu. Ia jengkel dengan sikap plin plan Farhan. Ia memang tahu bahwa Farhan tak mencintainya, tapi setidaknya tolong hargai perasaannya. Dia juga ingin di perlakukan seperti gadis pada umumnya.

Kemarahan Nafisa berakhir sampai pagi. Kedua orang tua Farhan belum pulang sejak kemarin. Maka di rumah itu hanya mereka berdua dengan asisten rumah tangga. Farhan bangun shalat subuh dan mendapati Nafisa sudah menyelesaikan shalatnya.

Nafisa kemudian turun ke lantai satu menuju dapur, membuat sarapan untuk Farhan, ia memang marah padanya. Tapi kewajiban sebagai istri tak ia lupakan. Tapi ia tak mau memanggil atau makan dengan Farhan. Ia memakan bagiannya dengan cepat dan menuju kamar lagi untuk membersihkan diri, kemudian bersiap menuju kampus.

Farhan melihat sikap Nafisa yang sangat dingin pagi ini. Ia pun tak mau mengusik atau sok berbuat baik, biarlah mereka mereda dengan sendirinya. Ia sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang di siapkan Nafisa. kemudian turun untuk sarapan. Ia mendapati Nafisa sudah bersiap untuk pergi ke kampus, ia hendak menawarkan tumpangan tapi bi Anti asisten rumah tangga mereka sudah menyiapkan minum untuknya. Jadi ia tak bisa mencegah Nafisa yang meluncur bebas pergi tanpa pamitan.

Kami! Suami istriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang