Besok akan diadakan ujian listening di laboratorium bahasa, seisi kelas sibuk dengan smarthphone dan earphone mereka masing-masing. Ada yang berbagi dengan teman, ada yang asyik dengan miliknya sendiri.
Aku? Ha, untuk apa Aku melakukan itu saat ini? Ujian besok adalah hal yang mudah bagiku, bukan sombong, ini satu-satunya yang bisa Aku banggakan.
Memiliki kemampuan belajar secara auditori membuatku menghafal lagu-lagu yang akan diujikan besok dengan mudah. Hanya mendengarnya satu dua kali sudah terpatri jelas di ingatanku.
Oh ya, ngomong-ngomong soal ujian besok, itu adalah ujian mendengarkan dan mencatat lirik dari lagu asing. Digunakan tiga lagu berbahasa Inggris, dan satu lagu acak. Lagu-lagu yang akan diujikan pun sudah diberitahu, hanya tinggal dihafal. Mudah 'kan?
Aku perhatikan si cowok emo melakukan hal yang sama denganku, tidak menghafal. Ia hanya sibuk dengan... sebentar Aku lihat dulu. OH. Buku yang lain, LAGI.
Aku jadi penasaran, berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk menghabiskan semua buku-buku tebal itu.
Dia tidak menghafal, Aku tebak dia juga sudah menguasai semua lagu itu. Mungkin sampai ke bagian nada, ritme, atau sejenisnya? Mengingat kejeniusannya di luar nalarku.
Karena bosan, maksudku, yang lain sibuk dengan hafalannya masing-masing. Akhirnya aku mengambil earphone milikku dan memasangnya. Demi formalitas, Aku putar lagu-lagu untuk ujian yang sudah tergabung dalam satu playlist khusus.
Aku memandang keluar jendela sambil melihat murid-murid kelas lain yang sedang melakukan pemanasan, oh jam olahraga pikirku.
Saat lagu kedua dimulai, seseorang memukul mejaku perlahan. Berhasil membuat Aku mengalihkan pandangan pada sumber pengusik itu.
"Oh, apa?" tanyaku sambil melepas earphone sebelah kananku.
Itu... si cowok emo.
Aku melirik ke arah mejanya, buku yang ia baca sudah tidak ada. Artinya, ia sudah selesai membaca. Oke, lalu apa?
Ray menatapku intens-- sesaat, lalu melihat ke arah smartphone ku yang tergeletak begitu saja di meja, dan menunjuk telinganya. Tanpa sepatah kata pun.
"Hah?" Aku memasang wajah bingung, yang kuyakini pasti wajahku tidak terkontrol. Jelek.
"Hah...."
Aku bisa mendengarnya menghembuskan napas cukup panjang, namun Aku masih dengan kebingunganku. Serius, maksudnya apa.
"Oke, Aku bukan pemecah sandi atau kode atau apapun itu, dan Aku bukan si jenius. Jadi, ada apa?"
Cowok emo itu menggaruk kasar rambutnya (frustasi?), yang kutebak itu tidak gatal sama sekali. Ia hanya kesal. Ya, Aku sudah biasa melihat ekspresinya yang satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
i c h i g o × c o f f e e
RomanceThe Promised Neverland / 約束のネバーランド - • A Fanfiction • - contains : ╰☆ Halu / 1st POV ╰☆ Ray ONLY! ('∀' ) ╰☆ Young adult!AU ╰☆ (not so) Romance ╰☆ Inconsistent writing & updates ehe ....φ(・∀・*) 🔸️The Promised Neverland © Kaiu Shirai/Posuka Demizu