Bagian 2

216 14 0
                                    

"Huh! Kesel banget, sih, sama si Bu Lendir itu! Dia masih percaya sama si BC?! Ngeselin, tau!" teriak Vey dengan moccachino yang berada di tangan kanannya.

Sebelumnya, kami bertemu dengan tiga kakak kelas yang sekamar denganku. Mereka adalah Caca, Misa, dan Lay. Mereka juga dihukum karena tidak mengerjakan PR.

"Oh, ya? Si Bu Lendir juga masih percaya sama si Ikan," kata Caca sambil mencomot bakwannya. "Ya, namanya juga Bu Lendir. Percayanya sama Ikan dan BC. Dah tau mereka couple," timpal Lay.

Aku hanya terdiam dan memainkan kentang goreng yang di hadapanku dengan garpu. Sebenarnya, saat ini, kami dihukum berdiri di depan bendera, tapi, Vey lebih memilih ke kantin untuk menghilangkan rasa laparnya, jadi kami pun mengikutinya.

"Kak Lay, kenapa kalian tidak berdiri di depan kelas?" tanya Vey sambil mengedipkan matanya. Ketiga orang itu hanya cengar-cengir.

"Ih! Gue lagi laper! Tadi sarapannya kurang puas, karena yang bagiin itu orangnya nggak benar!" jawab Misa.

Tiba-tiba, datang seorang gadis yang sekelas denganku. Kami pun menghela napas karena melihat gadis itu datang dengan ekspresi tidak berdosa.

"Kay! Kenapa kau keluar dari kelas?" tanya Lay yang selaku kakak kandungnya. Kay hanya tersenyum dengan tangan di belakang pinggul dan senyuman yang menghiasi wajahnya.

"Aku enggak ngerjain PR!" jawab Kay dengan santainya. Lay hanya menghela napas.

"Kathrine Alvira Yarisha! Kenapa kau tidak mengerjakan PR?!" seru Lay.

"Larasha Alvira Yarisha! Kenapa kau juga tidak mengerjakan PR?!" balas Kay yang tak mau kalah.

"Woi! Ribut aja! Nanti ketahuan!" seru Caca yang mulai kesal melihat kedua kakak beradik itu saling sahut menyahut dengan suara yang keras. Kedua kakak beradik itu hanya cengar cengir.

"Zel?" panggil Aleeya. Aku pun menoleh ke arahnya dengan ekspresi datar.

"Kenapa? Dari tadi kamu diam aja? Hayo, mikirin apa?" tanya Aleeya. Aku hanya menggeleng.

"Aleeya, kamu enggak tahu, ya? Kan, Zeline mikirin orang itu terus..," kata Rara tiba-tiba. Aku hanya menghela napas. Sepertinya, dia mulai menggodaku.

Aleeya mengerutkan kedua alisnya. "Siapa?" tanyanya yang tidak mengerti. Rara tersenyum jahil. "Cowok yang negur dia waktu kita mandi hujan. Waktu kita masih kelas 7," jawab Rara.

"Ooh, Stefan maksudmu? Dia sekelas sama Via dan Olive, loh," timpal Misa. Aku menoleh ke arahnya. "Terus, apa hubungannya denganku?" tanyaku. Misa hanya tersenyum.

"Bisa jadi kamu mau titip salam atau cokelat, ya kan?" ujar Misa. "IYA!!" koor yang lain. Aku pun menggeleng.

"Huh! Daripada mikirin dia, lebih baik aku mikirin yang tadi malam," ucapku sambil memalingkan wajah. "Mikirin apa?" tanya Caca. Aku melirik ke arahnya.

"Mikirin mimpi tadi malam," jawabku dengan ekspresi bete. Seketika, Rara cekikikan. "Mimpi dikasih cokelat sama Kak Stefan," kata Rara kemudian dia tertawa keras, diikuti sama yang lain. Wajahku pun menjadi merah padam.

"Bukan! Tadi malam, aku mimpi ketemu sama zombie! Makanya itu, aku bertanya, kira-kira ada zombie, enggak, di dunia kita ini?!" seruku dengan menahan rasa malu yang luar biasa. Mereka pun terdiam.

"Iya, ya. Coba bayangin, ada zombie di dunia kita?" tanya Aleeya yang sepertinya tertarik. Aku bahkan terkejut dengan pertanyaannya.

"Enggak mungkin ada zombie. Zombie itu cuma ada di film-film," jawab Lay sambil melambaikan tangan.

"Tapi, yang di film World War Z, virus zombienya dari penyakit flu burung," kata Aleeya. Lay kembali menggeleng.

"Aleeya, itu hanya dunia film, bukan dunia nyata seperti kita. Kalau pun ada orang terkena penyakit flu burung, pasti sakit. Risiko kecilnya, orang itu meninggal," jelas Lay lagi.

"Tapi, kan, kita enggak tahu orang luar berbuat apa. Bisa jadi, ada yang ciptain virus itu," ucapku tiba-tiba. Michelle menggeleng.

"Zeline, kita ini di Batam. Batam ini termasuk pulau terkecil di Indonesia. Kalau pun ada yang berbuat seperti itu, bisa jadi itu eksperimen yang gagal. Karena kalau mau berbuat seperti itu, dibutuhkan banyak alat dan enggak boleh sembarangan. Kalau sembarangan, bisa fatal hasilnya," jelas Michelle sambil tersenyum. Aku hanya terdiam mendengarnya.

"Tapi kalau ada zombie, kalian mau ngapain?" tanyaku lagi yang belum puas. Aleeya tertawa mendengarku, sedangkan, yang lain mendesah kesal.

"Aku hanya bertanya!" seruku.

*****

Aku menaruh piring kotor bekasku makan siang di container yang berisi piring-piring kotor. Aku menghela napas. Terkadang aku berpikir, "kenapa ruang makan kami harus di gabung dengan laki-laki?"

"Hey!" seru seseorang mengagetkanku. Aku tersentak dan menoleh ke belakang. Seketika, raut wajahku berubah melihat orang itu.

Ya, siapalagi kalau bukan Stefan, cowok yang menegurku ketika aku mandi hujan sewaktu aku masih kelas 7. Dia selalu mengikutiku bersama temannya yang di belakang, Aldo. 

"Kenapa? Kok lemes? Sakit ya?" tanya Stefan mencoba untuk memegangi pipi dan keningku. Aku berusaha menyingkirkan tangannya.

"Enggak, cuma agak capek. Tadi habis ujian pelajaran Matematika sama Fisika," jawabku dengan senyuman paksaan.

"Ooh, lain kali, jangan terlalu kecapekan. Nanti kamu bisa sakit," kata Stefan dengan tatapan penuh perhatian. Aku hanya mengiyakannya saja.

"Eh, Zel, kamu tau, enggak? Si Stefan berharap kamu sakit supaya kamu dirawat sama dia!" seru Aldo sambil tertawa. Stefan menyikut perutnya.

"Ck! Apaan, sih, Aldo! Enggak usah ngawur jadi orang!" balas Stefan. Aldo hanya cengengesan. Aku hanya melihatnya dengan datar.

"Oh, ya, Kak Stefan, Kak Aldo. Zeline mau kembali ke asrama dulu, ya," kataku kemudian berlalu tanpa menunggu kata-kata dari kedua orang itu.

"Eh! Zeline! Tunggu!" teriak Stefan. Aku pun menoleh ke arahnya.

"Ini, untukmu," lanjut Stefan sambil menyodorkan bungkusan cokelat berbentuk hati yang berwarna merah muda.

"Makasih, Kak," jawabku dengan tersenyum datar.

"Jangan lupa dibalas, ya! Kasihan Stefan, pinjam ruang Tata Boga dengan memaksa demi membuat cokelat itu untukmu!" teriak Aldo.

"Apaan, sih, Aldo! Jangan macam-macam, deh! Eh, Zeline, enggak usah di dengerin. Aldo memang suka ngawur!" kata Stefan yang berusaha membungkam mulutnya Aldo.

Aku pun mengangguk dengan senyuman ramahku dan berbalik dengan ekpresi kesal plus bete. Aku kembali ke asrama dengan memandangi cokelat pemberian Stefan dengan wajah bete.

*****

The Virus ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang