"Enggak ada, ya, Pak Larry?" tanyaku sekali lagi. Pak Larry yang sedang menjaga ruang fotokopi pun menggeleng.
"Kayaknya di lab, deh," kata Pak Larry. Kami pun mengangguk dan mengucapkan terima kasih serta berpamitan pergi.
"Jadi, kita ke lab?" tanya Aleeya. Aku hanya mengangguk malas. Aleeya tersenyum melihatku. Kami pun segera naik ke lantai tiga dan langsung menuju laboratorium. Sebelumnya, kami melewati kelas Stefan yang juga sekelas dengan Via dan Olive. Ternyata benar dugaanku, begitu aku dan Aleeya melewati kelas itu, seketika kelasnya Stefan langsung ribut. Aku memberi kode ke Aleeya untuk meliriknya sedikit. Aleeya pun melirik. "Kak Stefan keluar," bisiknya.
Akhirnya, kami berdua sampai di laboratorium SMA. Rupanya, laboratoriumnya sedang dipakai dengan anak-anak kelas 12-B. Pak Carl yang sedang mengajar di kelas itu, bingung melihat kedatangan kami.
"Ada apa, ya?" tanya Pak Carl. "Di suruh ambil map ujian IPA sama Pak Jason," jawabku dengan pelan, yang pastinya sopan. "Emang mapnya ada di sini?" tanya Pak Carl lagi. "Kata Pak Jason, kalau enggak di sini, berarti di ruang guru. Tapi, coba Bapak cari dulu," kali ini Aleeya yang menjawab. Pak Carl pun mengerti. Beliau langsung mengambil ponselnya dan menelpon Pak Jason. Setelah itu, dia sibuk mencari sesuatu di laci laboratorium.
Melihat gurunya sibuk sendiri, beberapa anak kelas 12-B mendekati kami sambil tersenyum. Entah mengapa firasatku menjadi tidak enak. Sialnya lagi, kebanyakan dari mereka itu anak laki-laki. Hanya satu orang yang kukenal dari mereka, yaitu Vian. Dia yang pertama datang menghampiri kami bersama temannya yang mengenakan jam tangan berwarna oranye. "Hei, adiknya Stefan, ya?" tanya Vian sambil mencolek pipi kananku begitu dia di samping kami. Aku langsung menjaga jarak dan menggeleng pelan dengan tatapan datar.
"Katanya, adiknya Stefan?" tanyanya lagi. Cowok yang mengenakan jam tangan oranye pun membisikkan sesuatu di telinganya. Setelah itu, Vian menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar.
"Ooh, ada ceritanya," ujar Vian kemudian dia melirik jahil ke arahku. Sepertinya, dia mulai menggodaku. Aku lebih memilih diam daripada menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang ngaco.
"Kumohon, Pak Carl! Cepatlah!" gumamku dalam hati. Tanpa kuduga, Vian mendekatiku. Aku pun langsung mundur beberapa hingga punggungku menyentuh dengan dinding.
Aleeya mencoba mendekatiku, tapi sayangnya, cowok yang mengenakan jam tangan oranye itu menahannya. Vian semakin mendekatiku, sedangkan aku hanya bisa pasrah. Aku dapat merasakan napasnya Vian yang berderu kencang di wajahku. Aku menggigit bibir bawahku dan menutup mataku.
"Kau Zeline Zakeiresha itu, bukan? Kau baru kelas 8, sudah berani enggak jawab pertanyaan dari kakak kelas, ya?!" seru Vian dengan suara kecil.
Dari arah lain, aku dapat mendengar suara Aleeya yang berusaha melepaskan tangannya yang di cengkeram sama cowok yang mengenakan jam tangan oranye itu.
"HEY!" teriak seseorang dari arah lain. "Ngapain kalian?! Mau malak adik kelas lagi?!" teriak orang itu lagi. Rupanya itu Pak Carl. Dari raut wajahnya, tampaknya beliau sedang marah besar.
Vian dan teman-temannya pun pergi meninggalkan kami berdua, walau pun mereka sempat memberi tatapan jahil ke arah kami.
"Ah, Bapak ini. Enggak seru, lah. Kami cuma mau nanya sama mereka, ada apa gerangan kemari," jelas cowok jam tangan oranye itu.
"Udah! Lebih baik kamu squat jump sekarang. Bukan kamu aja, kalian berdua!" seru Pak Carl sambil menunjuk Vian juga. Vian dan cowok itu meringis.
"Bapak ini. Enggak pernah nengok kami bahagia," ujar Vian. Pak Carl terbelalak. "Bahagia apanya? Kalian lulus UN dengan nilai bagus, baru Bapak bahagia nengok kalian," sela Pak Carl.
"Maksudnya, bahagia godain yang seger-seger gitu, loh, Pak," sanggah cowok itu lagi. Pak Carl memegang keningnya. "Udah! Ziyad! Vian! Squat jump sekarang! Atau Bapak kurangi nilai kalian!" seru Pak Carl. Cowok yang bernama Ziyad itu kembali meringis.
"Usir dulu dua cewek manis itu, baru kami squat jump," ucap Ziyad sambil menunjuk ke arah kami berdua.
"Hah, malu dilihat sama adik kelas, tadi malak mereka. Heran Bapak nengok kalian, udah besar masih aja kayak gini," kata Pak Carl sambil menunjuk garis miring di keningnya. Vian dan Ziyad hanya meringis.
"Eh, kalian. Tadi Bapak udah cari mapnya, tapi enggak ketemu. Nah, berarti mapnya ada di ruang guru," jelas Pak Carl yang baru menyadari keberadaan kami.
"Ooh, begitu. Makasih, Pak Carl. Kami izin pamit dulu, ya," kata Aleeya. "Oh, ya, monggo," jawab Pak Carl dengan logat Jawanya.
Kami pun pergi dari laboratorium itu. Dengan sisa tenagaku, aku mencoba mengatur napasku. Aleeya pun menoleh ke arahku dengan tatapan khawatir. "Zel, mending kamu balik ke kelas aja, deh. Biar aku yang ambil mapnya. Kasihan, muka kamu udah pucat," kata Aleeya. Aku langsung menggeleng.
"Enggak, kok. Aku masih kuat. Aku enggak terbiasa deket-deket sama cowok, apalagi sampai bertatapan kayak tadi," jawabku sambil melambaikan tangan.
Kami pun tiba di depan ruang guru dan melihat Pak Gary yang hendak masuk ke dalam. "Permisi, Pak Gary. Ada map ujian IPA kelas 11. Kebetulan, Pak Jason memintanya," ucap Aleeya dengan sopan. Pak Gary melihat kami sambil tersenyum ramah.
"Ooh, jadi kalian yang di suruh? Tunggu sebentar, ya," kata Pak Gary sambil berlalu masuk. Kami berdua hanya mengangguk.
Aku dan Aleeya pun menunggu di depan ruang guru. Seperti dugaanku, Stefan dan Aldo datang menghampiri kami. Di belakang, ada geng N'Olls yang melihat kami dengan tatapan sinis. "Kalian berdua mau ngapain?" tanya Aldo. Kami berdua lebih memilih diam.
"Ini siapa? Kok mirip Rośe Blackpink?" tanyanya lagi seraya mencolek pipinya Aleeya. Aleeya hanya sedikit menjaga jarak darinya.
Stefan mulai mendekatiku. Aku dapat merasakan tanganku yang mulai dipegang dengan Stefan. Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan kesal. Gimana enggak kesal? Kemana pun aku pergi, selalu diikuti dengannya. Dan senyumannya yang memuakkan itu selalu berada di bibirnya. Aku tidak bisa diam. Walau pun, aku di cap 'Anak Nakal' di depan para guru SMP, tapi aku selalu menjaga imageku di depan para guru SMA dan kakak kelas. Akhirnya, aku membuka mulut dan mengeluarkan suaraku dengan lantang.
"Pak Gary! Ada kakak kelas jahat! Mereka usilin kami berdua terus!" teriakku dengan lantang.
Seketika, Stefan dan Aldo langsung lari masuk kelas dan membanting pintu kelas mereka dengan keras. Aku dan Aleeya pun mendengar tawa Via dan Olive yang begitu keras. Pak Gary keluar dengan membawa dua mapnya Pak Jason dan menunjukkan ekspresi wajahnya yang begitu marah.
"Kelas mana yang banting-banting pintu tadi?!" tanya Pak Gary. Beliau langsung memberikan masing-masing kedua map itu pada kami.
"Kelas yang ini," jawabku sambil menunjuk kelasnya Stefan. Sedangkan, kelasnya Stefan masih ribut dengan suara tawa yang keras.
Pak Gary langsung memukul pintu kelasnya dengan kuat. "Jangan ribut! Kalian udah besar, masih aja susah diatur!" teriak Pak Gary. Seketika, kelas itu hening. Aku dan Aleeya pun turun dengan membawa kedua map itu sambil cekikikan geli.
*****
"Ini, Pak, mapnya," kataku sambil menyerahkan kedua map itu pada Pak Jason. Pak Jason hanya tersenyum dan menyuruhku duduk.
Aku pun langsung menuju bangkuku. Rupanya, Pak Jason menyuruh kami belajar ulang beberapa bab yang sudah kami pelajari. Kami pun belajar dengan suasana tenang. Tapi, suasana itu hanya sementara. Tuba-tiba, Miranda datang dengan wajah ketakutan dan tangannya yang berdarah. Kami terbelalak melihat tangannya yang berdarah akibat...
"Loh? Kamu Miranda, kan? Kenapa?" tanya Pak Jason. "Itu... Itu..." Miranda terbata-bata untuk melanjutkan perkataannya. Kami hanya bisa menunggunya dengan tegang.
"Itu... SI MARIE!" teriak Miranda.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
The Virus Z
Mystery / ThrillerMereka berlarian. Dengan baju yang berlumuran darah sudah terkoyak-koyak, celana robek yang tidak beraturan, kaki yang entah beralas atau tidak, mereka terus berlarian dengan teriakan yang keluar dari mulut mereka. Momen itu.. adalah momen yang pali...