"Itu... SI MARIE!" teriak Miranda.
Kami pun terbelalak melihatnya. Miranda kembali menangis ketakutan. Pokoknya, yang membuat kami kaget, tangannya Miranda berdarah akibat sebuah gigitan. Gigitan itu bukan gigitan biasa, melainkan gigitan dalam bentuk mulut manusia.
"Udah! Tenang! Sekarang, Marie ada di mana?!" tanya Pak Jason. Miranda mencoba tenang.
"Dia langsung lari loncat pagar setelah gigit tangan saya! Sebelumnya, dia juga nyerang Bu Nari!" jawab Miranda. Memang, pagar di sekitar asrama perempuan sangatlah pendek dan masih dalam proses pembangunan, sehingga gampang dilompati.
"Yaudah, sekarang kamu tenang. Setelah itu, kita pergi ke klinik untuk menjahit luka yang di tanganmu," jelas Pak Jason sambil memainkan ponselnya. Beliau langsung menelpon pihak ambulans sekolah.
"Auuw! Sakit!" teriak Ney. "Ada apa lagi?!" tanya Pak Jason seraya membalikkan badan. Ney hanya cengengesan.
"Enggak ada, Pak. Saya usilin Miranda, makanya Miranda gigit jari saya," jawab Ney dengan wajah watadosnya. Pak Jason hanya menggelengkan kepalanya dengan heran.
"Nah, sekarang Miranda, kamu ikut Bapak. Kalian semua kembali belajar," kata Pak Jason. Beliau pun mengajak Miranda untuk mengikutinya dari belakang dan kami kembali ke aktifitas semula.
*****
"Jadi, murid yang bernama Marie itu kabur setelah menyerang temannya sendiri?" tanya Bu Evelyn yang selaku wakil kepala sekolah Ocide Bracmath Boarding School. Pak Jason hanya mengangguk. Mereka menatap kepergian ambulans yang membawa Miranda ke klinik.
Kami yang di kelas hanya fokus belajar. Aku melihat dari jendela, sepertinya Bu Evelyn dan Pak Jason berbincang dengan serius. Tak lama kemudian, Pak Jason mengangguk dan meninggalkan Bu Evelyn terlebih dahulu. Sedangkan, Bu Evelyn pergi menuju asrama perempuan.
Selang beberapa menit kemudian, Pak Jason datang ke kelas kami dengan membawa seluruh anak-anak kelas 11-A, kelasnya Stefan. Seketika, aku langsung memasang tampang bete begitu melihat Stefan masuk ke kelasku dengan senyumannya yang memuakkan.
"Perhatian dulu semuanya!" seru Pak Jason sambil menepuk meja dengan buku untuk mengalihkan perhatian kami.
"Begini, sekarang Bapak mau kalian semua kerjakan ulangan Bab III dan Bab IV. Dan kalau ada yang kesusahan atau enggak bisa, kalian bisa bertanya dengan kakak kelas kalian," jelas Pak Jason. Seketika, anak-anak laki-laki yang dikelasku bersorak, begitu juga yang anak-anak perempuan. Aku melirik ke Aleeya yang di sampingku. Aleeya hanya tersenyum maklum begitu dia melihat tampang beteku.
"Dua hal yang paling kubenci di sekolah, guru dan kakak kelas," bisikku. Aleeya tertawa kecil. "Vey! Ney! Rara! Kay! Michelle!" seru Aleeya dengan suara kecil. Yang dipanggil hanya menoleh dan menatapnya.
"Kita pilih Kak Via dan Kak Olive, ya?" tanya Aleeya. Mereka pun mengangguk, kecuali Ney.
"Terserah, aku pusing," balasnya sambil menaruh kepalanya di atas meja. Kami hanya mengangguk.
"Baiklah, silahkan dimulai. Bapak lagi ada sedikit pekerjaan," kata Pak Jason lagi. Beliau pun berlalu meninggalkan kelas kami. Melihat gurunya pergi, Stefan pun tersenyum penuh kemenangan.
"Ya, bisa kita mulai?" tanyanya seraya bertepuk tangan sekali. Mereka hanya membalasnya dengan bersorak gembira, kecuali aku dan Aleeya. Kami berdua hanya bertatap muka sekilas.
*****
"Ya, Bu Evelyn, sepertinya Marie menggigit tangan Miranda di sini," jelas Bu Sukita. Bu Evelyn hanya mengangguk-angguk saja.
"Kira-kira, ada saksi, tidak?" tanya Bu Evelyn. Bu Sukita pun mengangguk. "Siapa?" tanya Bu Evelyn lagi.
"Bu Nari," jawab Bu Sukita. Bu Evelyn pun kembali mengangguk.
"Tolong panggil Bu Nari!" pinta Bu Evelyn. Bu Sukita pun meninggalkan Bu Evelyn sendiri yang sedang memandangi kasur Marie yang sangat berantakan.
"Bu Nari! Ikut saya! Dipanggil sama Bu Evelyn!" teriak Bu Sukita. Bu Nari hanya mengangguk dan memegangi tangannya yang sakit.
*****
"Aduh, pusing," keluh Ney sambil memegangi kepalanya. "Kenapa?" tanya Rara. Kami sedang melakukan kerja kelompok dengan unsur menghindari Stefan.
"Kalo enggak ada guru, aku jadi males," kata Kay. Dia mulai memberesi buku-bukunya.
"Mau kemana?" tanyaku yang heran melihatnya. Kay hanya tersenyum. "Mau bolos," ucapnya kemudian dia berlalu begitu saja. Aku hanya melongo melihatnya.
"Kok temen-temen Kakak enggak ada yang negur dia?" tanya Aleeya ke Olive. "Karena gengnya Narisha lagi bolos sekarang," jawab Olive.
"Ck ck ck, tak patut dicontoh," kataku. Tiba-tiba, Stefan mendekatiku dengan senyuman jahilnya. Aku pun mulai merasakan firasat buruk.
"Zeline, ada yang susah dari soal-soalnya?" tanya Stefan. Aku hanya menggeleng. "Ada yang susah, enggak?" tanyanya lagi kali ini dengan mengambil buku latihanku.
"Enggak ada, loh, Kak. Lagipula, kalau Zeline kesusahan, ada Kak Via sama Kak Olive, kok. Manusia disini enggak cuma satu kali," kataku sambil merebut kembali buku latihanku. Stefan hanya tersenyum dan mengacak-acak rambutku kemudian dia pergi meninggalkanku.
Aku berdesis geram begitu dia pergi. "Ish! Dasar playboy!" desisku. Yang lain hanya tersenyum maklum melihatku.
"Aduh! Pusing banget!" keluh Ney lagi. Vey langsung beranjak. "Tunggu, ya. Biar kuambilin obat," ucap Vey.
Tiba-tiba, Bu Sukita datang sambil mengetuk pintu kelas kami. Vey pun terdiam di tempat. Aku langsung mengubah tatapanku menjadi tatapan savage. Bu Sukita mendongakkan kepalanya dari badannya yang pendek dan bungkuk. Seketika, Via dan Olive mencibirnya.
"Di sini ada yang satu kamar dengan Marie dan Miranda, kalau ada, tolong angkat tangannya!" pinta Bu Sukita. "Bau bangkai menyeruak!" sindirku. "Hush!" tegur Rara. "Aku tuh jijik sama dia!" seruku dengan suara pelan. "Hahaha! Ups!" Aleeya yang tidak kuat menahan tawa, akhirnya menutup mulutnya.
"Zeline! Aleeya!" panggil Bu Sukita. Kami berdua pun menoleh. "Kalian berdua satu kamar dengan Marie dan Miranda?" tanyanya lagi. Kami berdua pun kembali mengangguk.
"Tadi sebelum berangkat sekolah, mereka ada cerita-cerita sambil adu mulut gitu?" tanya Bu Sukita. "Ada! Ada!" jawabku dengan heboh. Michelle memukul pundakku. "B aja!" bisiknya di telingaku.
"Mereka cerita tentang apa?" tanya Bu Sukita lagi. "Cerita tentang tetangga mereka yang digigit anjing! Mata anjingnya warna putih, loh, Bu!" jawabku dengan cepat.
Bu Sukita pun langsung menutup mulutnya. "Kirain cerita apaan," kata Bu Sukita sambil berlalu meninggalkan kelas kami. Aku hanya tertawa dan high five dengan Aleeya. Olive dan Via pun tertawa. "Hobi banget, sih, manas-manasin dia," kata Olive di sela-sela tawanya.
"Aduh! Pusing! Gak tahan!" teriak Ney tiba-tiba. "Oh, ya! Ney! Tunggu sebentar, ya!" seru Vey sambil berlari keluar kelas.
Yamato, yang selaku ketua kelas 11-A, hanya bingung melihat Vey yang tiba-tiba berlari keluar kelas tanpa izin. "Kenapa dia?" tanya Yamato. Rambut cokelatnya terbang melambai-lambai tertiup angin, membuat pipi Via merona. "Dia mau ngambil obat buat adiknya," jawabku dengan pelan. Yamato hanya mengangguk saja.
"Eh? Kamu adiknya Stefan, ya?" tanya Yamato lagi. Spontan, Stefan langsung menoleh ke arahku. Aku pun langsung menggelengkan kepalaku dengan cepat.
"Sorry, ya, Kak. Zeline enggak pernah punya kakak laki-laki yang playboy macam dia!" seruku sambil melirik sekilas ke Stefan. Stefan hanya menggeleng dan tersenyum maklum.
Tiba-tiba, Ney mengerang kesakitan dan tangannya bergerak dengan aneh. Erangan dan desahan mulai terdengar dari mulutnya. Tangannya mulai memberantaki meja dan melempar buku yang berada di sekitarnya. Aku melihat urat-urat yang di wajahnya mulai terlihat dan menegang.
Yamato dan beberapa temannya mulai mengambil alih untuk menahannya. Sementara itu...
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
The Virus Z
Mystery / ThrillerMereka berlarian. Dengan baju yang berlumuran darah sudah terkoyak-koyak, celana robek yang tidak beraturan, kaki yang entah beralas atau tidak, mereka terus berlarian dengan teriakan yang keluar dari mulut mereka. Momen itu.. adalah momen yang pali...