Bagian 12

86 12 4
                                    

"Zeline!" pekik seseorang hingga membuyarkan lamunanku. Aku tersentak kaget. Rupanya itu hanya mimpi. Ya, aku melamun hingga tertidur. Dalam mimpiku, kulihat Aleeya memekik girang sambil memegang lightstick BTS dan seketika suasananya berubah menjadi merah mencekam.

Aku menghela napas karena telah mengingat mimpiku itu. "Hei!" panggil seseorang. Aku sedikit melirik ke arahnya karena aku sudah mengenali suara itu. Benar dugaanku, rupanya itu Stefan. Dia sedang menatapku dengan matanya yang sembab sambil memainkan tongkat pemukul kasti.

"Kau mimpi buruk? Kulihat, kau terbangun seperti tersentak begitu," kata Stefan. Aku hanya menghela napas.

"Iya, aku bermimpi buruk," jawabku dengan nada yang datar. Stefan hanya ber-Oh ria.

"Mimpi apa?" tanyanya lagi. "Kita tidak boleh menceritakan mimpi buruk," jawabku.

"Kata siapa?" sahut Stefan. Aku mulai sedikit jengkel. "Kata Ayahku," jawabku simpel. "Terus, kalo bermimpi baik dan indah, itu baru boleh diceritain dong?" sahutnya lagi. Aku bisa melihat senyuman jahil kecilnya di dalam kegelapan.

"Iya!" seruku dengan nada jengkel. "Berarti kalo kau mimpiin aku, boleh dong diceritain?" tanyanya lagi. Aku mengerutkan kedua alisku.

"Hah? Kenapa?" tanyaku balik. Dia hanya tertawa kecil. "Karena, kalau kau mimpiin aku, jadinya mimpi yang baik nan indah," jawabnya disertai tawa yang pelan. Aku hanya mencibirnya.

"Kalau aku mimpiin Kakak, yang ada malah mimpi buruk," ucapku. Stefan berhenti tertawa. "Kenapa begitu?" tanya Stefan.

"Karena kalau aku mimpiin Kakak, pasti peran Kakak itu seorang psikopat!" jawabku sambil tersenyum puas.

"Iya, aku akan menjadi seorang psikopat untuk membunuh orang-orang yang akan mencelakai seseorang yang sangat penting dalam hidupku dan menjadi seorang ksatria berbaju besi untuk melindungi orang itu juga," kata Stefan dengan santai. Aku membalas dengan menatapnya dengan bingung.

"Hah? Maksudnya? Seseorang yang penting? Dalam hidup Kakak? Siapa?" tanyaku yang masih menatapnya bingung. Stefan berjalan mendekatiku dan duduk di depanku begitu dia sudah berada di hadapanku.

"Kamu," jawabnya. Simpel, padat, dan jelas. Tapi menurutku itu terdengar sangat konyol. Aku pun mendorong pundaknya dan kembali masuk dalam selimut (sebenarnya itu hanya tumpukan baju yang dirobek dari kumpulan baju yang dijual). "Jijik," balasku sambil menutup kepalaku. Stefan hanya tertawa pelan mendengarnya.

"Ayolah, aku serius. Aku serius akan melindungimu, paham?" kata Stefan. Aku membuka selimutku dan menatapnya.

"Kak, kalau Kakak mau melindungiku, cukup dengan berhenti menggodaku! Karena setiap godaan yang keluar dari mulut Kakak itu terdengar sangat menjijikkan di telingaku!" seruku dengan suara pelan. Stefan hanya tersenyum.

"Wow, drama yang indah," sahut seseorang sambil bertepuk tangan. Kami pun menoleh ke arahnya. Ternyata itu Kevin dengan matanya yang mengantuk. Tangannya terus bertepuk.

"Aku terbangun dengan drama yang indah dari kalian. Sepertinya, kalian cocok untuk pemain drama sedih. Cobalah mendaftar di agensi Next World Entertainment," sahutnya lagi.

"Hei! Dilarang mengiklan!" seru Stefan. "Lagipula, untuk apa kita mendaftar di agensi Korea? Dari agensi negara sendiri aja belum tentu kita diterima," lanjutnya lagi.

"Emangnya Indonesia ada agensi khusus aktor juga?" tanyaku. "Entahlah, Zeline. Biarkan saja si Stefan itu," jawab Kevin sambil memasukkan dirinya ke dalam selimut.

"Hei, daripada tidur lagi, lebih baik kita bersiap. "Takutnya nanti kalau udah terang, zombie-zombie itu malah menyerang kita," kata Stefan. Dia mulai membangunkan Vian dan Ziyad.

The Virus ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang