10.

15 7 0
                                    

Andy berdiri dengan gelisah, kakinya di ketuk-ketuk dengan tak tenang, sesekali pandangannya mengarah ke kasur Noala segala doa ia rapalkan disertakan pula umpatan dan janji akan mencari sang peneror anaknya, ia mengurungkan niat untuk membawa Noala ke rumah sakit, walau sedari tadi di mobil tangannya gatal untuk membelokkan stir.

Ia khawatir, Andy sudah mengecek Noala, Noala hanya sesak napas, bukan asma. Ini biasa terjadi karena tubuh Noala yang lemah, gadis itu begitu rapuh.

Lengkuhan kecil keluar dari bibir tipis Noala, matanya mengerjap pelan berusaha menyesuaikan dengan lampu redup kamarnya.

Andy  cepat-cepat duduk disamping gadis itu, dengan kursi kecil disamping nakas, mengenggam tangan Noala memberi perlinduangan, tangan hangatnya mengenggam penuh tangan putih Noala.

Noala masih menatap langit-langit matanya tak sanggup menatap Andy yang kini menatapnya sendu, masih merutuki kenapa ia ceroboh.

Mengenai surat ancaman itu ia sudah hampir terbiasa 8 hari ditemani surat itu membuatnya kecewa, ia sudah berusaha yang terbaik tapi orang-orang tak mau tau.

Matanya memanas tak sanggup alihkan pandangan pada Papahnya yang masih saja menatapnya dengan rasa bersalah, ia tak sanggup. Noala menutup matanya pedih, kenapa ia lemah? Kenapa tak seperti yang lain? Ia anak dokter, tapi kenapa ia tak bisa sehat? Sedari kecil sudah rentan membuatnya berteman dengan vitamin, minyak ikan ataupun obat.

Tubuhnya diberi asupan makanan sehat, susu setiap pagi, buah segar, nasi dengan merk beras mahal di pasar sualayan yang bahkan masih diperiksa oleh Mamahnya saat akan dimasak, buah segar yang dibeli langsung dari supermarket, Papah dan Mamahnya terlalu menjaganya tak mau apa yang dimakan Noala membuat gadis itu sakit.

Tapi menurut Noala,ia sudah sakit sejak dulu.

Berteman dengan orang-orang tak nyata, entah karena Andy atau uangnya. Mereka tak tulus, Noala terluka.

Ia gadis lemah, walau otaknya pintar ia tetap gadis lemah. Sedikit-sedikit sakit yang menyebabkan dia diistimewakan bahkan di keluarga besarnya. Tatapan iri sepupunya atau bahkan kesal membuatnya terhempas jauh dari mereka, serasa asing, tak nyaman.

Menatap iri temannya yang bisa berlari bermain hujan bersama dengan yang lain sudah menjadi bagian dari masa kecilnya. Keberuntungan besar ia memiliki orang tua yang begitu tulus menyayanginya.

Kadang-kadang ia malu, mereka memberi segalanya padanya tapi Papah dan Mamah hanya hanya minta ia selalu sehat yang bahkan masih tertatih-tatih ia jalankan.

Segala perasaan marah, kecewa, sedih ia selalu rasakan entah pada siapa, yang jelas ia kecewa pada dirinya. Menangis lalu berakhir dengan menulis kata-kata syukur yang membuatnya kembali bangkit.

'Segenggam arang mereka genggam dalam tangan, bahkan ketika daku tawarkan sebuah pelukan teman.
Kutebas rasa marah, tatap mereka dengan ramah.
Tulikan indra dari segala resah, kulirik salah satu tangan sodorkan pisau tajam. Dengan senang hati kuterima layaknya itu barang berharga.
Lari kemana mereka mau, ku disini tak beranjak walau harap kian menjadi semu.
Tubuh lemas tak berkutik, lama-lama ditarik kutatap tangan itu dengan asik, Papah tersenyum lembut buat hati tergelitik.
Ya, aku masih memilikinya, perlahan tangan telulur campakan pisau, setidaknya ada Mamah dan Papah yang siap tarikku mundur dari para pendengkur.
Ketidak bisaanku mengejar mereka membuatku tau, ada Tuhan yang Maha Tau'

Sebuah tulisan saat duduk dibangku Sekolah Menengah Pertamanya dulu terngiang begitu saja, tulisan saat temannya perlahan menjauh berkata ia gadis lemah yang tak bisa menandingi mereka.

Hati Noala mencelos, bahkan ketika dari dulu mereka Noala bantu, tak ada rasa haru dalam diri teman-temannya dulu.

Dengan ramah Noala tersenyum dan mengucapkan maaf karena telah menyusahkan mereka lalu berlari menjauh meninggalkan teman-temannya yang masih terpaku. Ada Mala, sahabatnya yang bisa jadi sandaran.

RENOALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang