I Know, This is A Wrong Love.

1.3K 34 31
                                    

“Senekat itu Kamu, hah? Aku udah nurutin mau Kamu buat ke Bali, kan? Trus kenapa Kamu masih nekat kayak gini? Aku udah bilang kalau semuanya akan ada waktunya. Tapi gak kayak gini.”

Aku mendengar suara Bang Aldy yang tengah menggertak Carissa di ruang tengah. Beberapa menit lalu, Bang Aldy melepaskan genggamannya dari tanganku lalu dengan cepat menarik lengan Carissa dan membawanya ke ruang tengah. Dan mau bagaimanapun suaranya diredam agar tidak keras, Aku tetap bisa mendengarnya. Karena Aku cukup penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Dan Aku penasaran ternyata mereka saling kenal.

“Aku gak mau nunggu terlalu lama Kak! Oke kalau yang dulu itu memang kesalahanku. Aku ninggalin Kakak gitu aja. Tapi untuk kali ini Aku gak mau hal itu terjadi lagi. Dan sebelum terlambat, Aku mau yakinin orangtuaku juga oranguta Kakak lagi. Kita gak ada masalah untuk bisa kembali.” Jawab Carissa. Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Yang Aku tahu, tiba-tiba saja air mataku menetes. Ada sesuatu yang menikam hatiku.

“Ris, Aku udah nurutin Kamu. Aku datang ke Bali dan temuin Papa Mama Kamu. Seenggaknya Kamu juga bisa ngehargain keputusanku. Bukan seperti ini, Rissa! Apa yang mau Kamu katakan ke orangtuaku? Seenggaknya biarkan Aku yang ngomong ke Mereka duluan. Aku baru sampe rumah tadi siang. Dan sekarang Kamu sudah..., Akh!” suara Bang Aldy semakin tidak terkendali. Dia terdengar semakin geram. Ada satu poin yang Aku dapatkan dari ucapan Bang Aldy itu. Bahwa Bang Aldy ke Bali untuk menemui kedua orang tua Carissa. Tapi untuk apa? Dan tadi Carissa juga mengatakan bahwa tidak ada masalah bagi mereka bisa kembali. Maksudnya?

Tiba-tiba saja seseorang meraih tubuhku dari belakang. Sepertinya tubuhku terlalu lemas hingga tubuhku terhuyung begitu saja ke pelukannya. Bang Ariya. Dia memelukku sambil menutup kedua telingaku. Dan di saat itulah Aku tidak bisa memendam air mataku. Bang Ariya membawa tubuhku entah kemana. Yang Aku tahu, Aku mulai menjauh dari berdiriku tadi. Sekilas Aku melihat Mama Bang Aldy berdiri dan menatap Bang Ariya dengan penuh harap. Sedangkan Papanya hanya menunduk.

“Monica!” teriak Bang Aldy. Aku bisa meraskan Bang Aldy meraih lenganku sebentar sebelum Bang Ariya melepaskannya.

“Aku antar Monica pulang, Kamu urus urusanmu sama Carissa!” hanya itu yang Bang Ariya katakan, lalau tubuhku dibawanya pergi.

Bang Ariya membukakan pintu mobilnya untukku lalu membantuku untuk duduk dan memasangkan safety beltnya. Selanjutnya, Bang Ariya sudah siap membawaku dengan mobilnya. Untuk beberapa menit Kami tidak berbicara. Aku juga berusaha menenangkan perasaanku dan menghentikan tangisanku. Entah sudah berapa tisu yang Aku pakai dan buang di tempat sampah mobilnya Bang Ariya.

“Kamu tau Carissa?” Bang Ariya mulai membuka obrolan, dengan menanyakan sosok Carissa.

“Dia teman baruku di Kampus. Kita satu jurusan.” Jawabku seadanya. Bang Ariya hanya ber-o.

“Mereka ada apa?” tanyaku. Bang Ariya tidak langsung menjawab.

“Kamu sudah tahu kan kalau dulu Aldy pernah gagal tunangan? Carissa itulah mantannya, yang menggagalkan pertunangan mereka.” Jawab Bang Ariya. Dan semuanya jadi jelas. Juga, Aku mulai memikirkan ucapan Papa.

“Bang Ariya udah tahu kalau hal ini akan terjadi?”

“Waktu Kita ketemu di Bandara, begitu Kita sampai rumah, orangtua Carissa telepon Mama dan cerita kalau mereka mau kembali. Mama tunggu sampai Aldy cerita ke Mama, tapi ternyata Carissa duluan yang nemuin Papa-Mama.” Jawabnya.

“Sebenernya Papaku juga udah tahu.” Ucapku.

“Hah?”

“Selama Papa di Bali kemarin, Papa gak sengaja ngelihat Bang Aldy sama cewek. Katanya cewek itu adalah anak dari rekan bisnis Paoa di Bali, dan kata temen papa itu, Bang Aldy adalah pacar dari anaknya itu. Tapi Aku gak mau percaya, Bang. Aku lebih percaya kalau Bang Aldy gak mungkin ngelakuin hal itu ke Aku. Aku percaya sama Bang Aldy.” Dan detik itu juga Aku merasa rasa percayaku sudah sia-sia. “Dan sebenernya Aku udah dilarang sama Papa buat berhubungan sama Bang Aldy.”

Bang Ariya mengusap kepalaku.
“Yaudah, mungkin beberapa hari ini Kamu istirahat dulu. Nanti biar Aku yang ngomong ke Papamu.” Ucap Bang Ariya.

Aku langsung memasuki kamarku, tidak peduli dengan panggilan Papa. Mungkin Papa kaget kenapa Aku diantar oleh Bangn Ariya dan juga melihat wajahku yang sudah pasti terlihat sembab. Jelas. Bahkan Aku melewati Mama dan Mbak Sovy meskipun akhirnya Mbak Sovy berusaha mengejarku, namun Aku gagalkan dengan segera menutup pintu kamarku dan menguncinya. Aku segera melemparkan tasku ke lantai begitu saja dan membuang tubuhku ke kasur. Aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang Bang Ariya sampaikan ke Papa. Bahkan meskipun Papa akan marah kepada Bang Aldy.

Aku terbangun gara-gara ponselku yang terus-terusan berdering. Aku melihat ke arah jendela, hari sudah pagi. Dan kedua mataku masih berat gara-gara menangis semalam sebelum akhirnya Aku tertidur. Aku meraih ponselku dan melihat nama di layarnya membuatku bimbang. Tapi yang ada Aku hanya menatapnya hingga ponselku itu berhenti berdering. Dan kepalaku tiba-tiba saja terasa pening. Berat.

“Halo?” akhirnya Aku memutuskan untuk mengangkatnya.

“Sayang, Abang ada di dekat rumah Kamu.” Ucap Bang Aldy.

“Bang, Aku gak mau keluar dulu.” Jawabku.

“Yaudah, Abang yang ke rumahmu.”

“Jangan, Bang. Ada Papa di rumah. Papa pasti gak suka Papa ke rumah.” Cegahku.

“Abang gak peduli. Sekalian Abang ngomong sama Papa Kamu.”

“Bang, please jangan dulu. Papa pasti masih marah-marahnya ke Abang. Mending Abang pulang aja. Aku juga mau istirahat.” Aku masih mencoba untuk mencegah Bang Aldy mendatangi rumahku. Namun teleponnya tiba-tiba mati. Firasatku tidak baik.

Aku benar-benar ingin bangun. Tapi kepalaku terlalu berat. Seperti tidur di tumpukan jaurm yang besar. Tertusuk-tusuk dan sangat menyakitkan. Tidak ada posisi yang tepat untuk setidaknya meringankan rasa sakitnya. Setidaknya Aku bisa ke kamar mandi untuk mencuci mukaku.

“Om, Aldy juga sayang sama Monic, Om.” Baru saja Aku hendak membuka pintu kamar mandi, Aku mendengar suara Bang Aldy samar-samar. Beberapa saat lalu bahkan suara Papa terdengar jelas membentak Bang Aldy. Aku hanya menggelengkan kepalaku.

“Om tegaskan lagi, mulai sekarang hubungan Kalian hanya sebatas saudara! Tidak lebih, dan tidak akan pernah menjadi lebih! Om gak mau anak Om jadi sakit Cuma gara-gara cowok kayak Kamu!” teriak Papa. Rasanya kepalaku semakin tertusuk-tusuk.

“Om, Aldy mohon, Aldy mau ketemu sama Monic, Aldy mau ngomong sama Monic.” Bang Aldy masih berusaha. Tapi Aku segera menutup pintu kamar mandiku dari dalam dan Aku tidak lagi mendengar teriakan mereka dengan jelas. Cukup melegakan.

Aku berdiri di depan cermin wastafel, menatap kondisi wajahku yang sudah tidak karuan. Mataku benar-benar sudah bengkak dan memerah. Bahkan sedetik kemudian ada darah mengalir tipis dari hidungku. Jadi, apakah hubunganku dengan Bang Aldy berakhir seperti ini? Aku tahu, perasaanku kepada Bang Aldy sudah salah sejak awal. Dan tidak seharusnya Aku melangkahi hubungan yang sudah terjalin. Tidak seharusnya Aku menganggap saudaraku lebih dari saudara. Mungkin beginilah akhirnya. Aku yakin, Tuhan sudah tidak merestui sejak awal, jadilah sekarang tidak akan ada yang pernah merestui hubungan Kami.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Why Do We Love Eachother? 🔞 (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang