Jooheon tengah menegak Winenya. Duduk di atas sofa dengan latar gedung berselimut salju di belakangnya. Rambut merahnya membuatnya terlihat lebih liar. Tidak terbaca. Caranya menggenggam gelas Wine adalah sesuatu yang membuatnya terlihat luar biasa. Dia duduk sedikit menyerong ke kiri, menjatuhkan pandangan pada meja makan di kamar Changkyun.
"Dia datang?" Jooheon bertanya setelah menelan Wine di mulutnya. Dia menyilangkan kaki, merasa nyaman dengan kegusaran yang terlihat dalam mata Changkyun. Dia bukan orang jahat, tapi ketakutan orang lain membuatnya jauh lebih bahagia daripada melihat mereka tertawa.
Tidak jauh darinya. Changkyun duduk di kursi makan, mengayunkan kakinya dengan resah sembari memutar gelas Wine di atas meja makan. Dia tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menjawab sekaligus menjelaskan ketakutan yang dia rasakan. Akhirnya, Changkyun tidak melakukan apa pun. Jooheon tentu membutuhkan jawaban yang jelas, bukan sebentuk jawaban nonverbal yang hampir berarti ambigu. Itu pun jika diam memilki arti.
"Dia pasti mencarimu," Jooheon bergumam lalu menegak Winenya lagi. Bibirnya memerah, bukan karena Wine. Sepertinya memang alami semerah itu. "Setelah melihatmu, dia pasti akan datang," lanjutnya.
Changkyun melirik, ingin menjawab tapi lagi-lagi tidak menemukan kata-kata yang tepat. Semua itu memang kenyataan, buktinya pria itu memang datang. Untuk apa dia menukas. "Kupikir kau memalsukan kematianku," Changkyun berjengit dengan kalimat yang dia lontarkan.
Jooheon terkekeh, membuat Changkyun bingung bagian mana dari kalimatnya yang berupa lelucon konyol. "Aku tidak pernah melakukan apa pun," jawab Jooheon setelah tawanya mereda.
"Lalu, kenapa mereka tidak menemukanku?" Changkyun bertanya dengan dahi berkerut. Selama ini, dia menyakinkan dirinya bahwa ada seseorang yang membantunya untuk bersembunyi. Menghilang dari dunia yang bercampur dengan nama keluarga Im. Setelah bertemu Jooheon, dia pikir pria itulah yang telah membantunya.
Pemuda itu menuang Wine ke dalam gelasnya, "kupikir memang kau membantuku," sambung Changkyun.
"Mereka percaya padaku," Jooheon berkata. "Aku tinggal bilang kau tidak pernah kutemukan. Dan mereka percaya. Mudah," Jooheon tersenyum menang lalu menegak Wine di gelasnya.
Dahi Changkyun kembali berkerut. "Kau sudah tahu aku di sini?"
"Dari dulu."
"Dari dulu?" Changkyun bertanya tidak percaya.
Jooheon mengangguk. "Sejak pertama kali kau datang ke sini, aku sudah tahu. Kau pikir banyak yang menggunakan username I.M di internet?" Jooheon terkekeh. "Kau terlalu mudah kutemukan."
Changkyun seakan baru saja dipermalukan. Wajahnya terasa panas dan otot-ototnya menegang ingin menerjang pria merah itu dan memukulnya habis-habisan. Tapi, Changkyun tahu dia akan kalah telak jika berani melakukannya. Otot pria itu jelas lebih terlatih dibandingkan dengan miliknya.
"Apa yang kau katakan pada mereka?"
"Im Changkyun sudah mati."
--
"Dan Im Sangah sudah mati lebih dulu."
-
Changkyun menarik ujung selimutnya dengan jari kaki. Sungguh merasa malas untuk sekedar menegangkan punggung dan meraih selimut itu dengan jari tangannya sendiri. Dia membungkus tubuhnya rapat-rapat, berharap dengan itu udara dingin tidak bisa menyentuhnya.
Pria merah yang mengunjunginya telah pergi, mungkin kembali berbohong.
Changkyun merasa bodoh karena begitu saja percaya dengan Jooheon, meski nama itu pernah tergelincir dalam kehidupannya di masa lalu. Pria merah itu ternyata bisa mengalihkan hati dengan cepat. Tidak seperti Changkyun. Pemuda itu melirik ke seberang apartemenya, entah sudah berapa lama mengabaikan foto-foto mereka.
Bulan Desember telah berlalu, Changkyun tidak tahu kenapa dirinya tidak sadar. Mungkin karena dia yang terlalu sibuk dengan urusan bodoh ini. Dia kemudian memiringkan tubuh, menghadap apartemen di seberang dan menyapukan pandangannya pada setiap lantai apartemen. Changkyun menggumamkan jarak yang mereka miliki, lalu mengeluh kenapa kehidupannya tidak setenang bangunan di seberang sana. Membisu seolah tidak mengenal gangguan jenis apapun. Changkyun ingin kehidupannya yang dulu. Dia yang bergulat dengan kameranya sepanjang hari, dengan kucingnya yang mengeong di sudut dapur, Winenya, dan kadang-kadang Wonho yang muncul di jendela kamarnya. Entah kenapa kehidupannya yang seperti itu sudah lama berlalu. Sekarang, gua bersembunyiannya ini mulai diendus oleh sekawanan pemburu yang selama ini dia bodohi. Atau lebih tepatnya Jooheon yang membodohi mereka.
Mungkin, Jooheon sudah lelah menyembunyikan Changkyun, sehingga pria merah itu memutuskan untuk membawa salah satu manusia yang dihindari Changkyun ke dalam apartemennya dan mempertontonkan Changkyun seolah kejadian itu tidak sengaja. Benar-benar licik. Pria merah itu tidak sepenuhnya berubah, dia tetap seperti psikopat yang kelaparan. Dan Changkyun masih sama tololnya seperti dulu. Dia pernah menangis, dulu sekali. Ketika dia meringkuk di sudut kamar ini, menjepit kepalanya dengan dua lututnya, lalu meraung-raung sendirian. Dia menangis karena sebuah nama, lalu dia menyadari ternyata dia juga menangisi nama Jooheon entah untuk alasan apa. Dia meminum obatnya terlalu sering, ingatannya mengabur hingga Changkyun yakin dia overdosis tapi belum sampai mati. Dia mungkin sempat melupakan Jooheon dan semua tetek bengek yang dia tinggalkan, lalu ketika Jooheon kembali muncul di seberang sana. Berambut merah. Bodohnya Changkyun sampai pangling. Dia tidak mengenalinya dari balik kaca jendela mereka, mata minusnya juga tidak memperburuk kondisinya.
Changkyun menggigit bibirnya kuat-kuat.
Dia pernah mencintai pria itu. Diam-diam. Merebutnya seperti benalu yang membunuh inangnya perlahan-lahan. Lalu sosok berambut hitam panjang itu tahu. Janji pria itu membutakan Changkyun. Ketika dia terbangun tengah malam dan mendapati kamarnya tergenang air, dia akhirnya sadar janji pria itu adalah bisikan busuk. Dia melihat dirinya sendiri mati. Tenggelam. Bisakah dia menyebut itu sebagai balas dendam. Setelahnya, Changkyun sudah berlari seperti orang buta. Dia berakhir di sini. Berpikir masa lalu itu sudah membusuk di belakang sana. Perkiraannya salah. Pria itu, yang menjadi pria merah yang Changkyun -masih- inginkan akhirnya muncul dan lagi-lagi menghancurkan dinding kokoh yang Changkyun buat.
Apa-apaan ini?
Kenapa dia sempat merasa bahagia dengan kehadiran Jooheon.
Pria itu hanya akan menggiringnya kembali.
Changkyun meringsut ke pinggir tempat tidurnya. Lalu menjejalkan langkah kakinya untuk menggapai sudur kamar kecil di sisi tempat tidur. Mengaduk sana sini untuk mencari kotak hitam dan akhirnya menemukannya di pojokan. Terpencil. Terbungkus debu dan jaring laba-laba. Sudah berapa tahun? Changkyun gemeter. Jooheon akan menggiringnya ke sini. Ke dalam kotak ini dan memainkan boneka yang dia buat sendiri. Changkyun mengijinkan dirinya diinjak-injak. Dia membiarkan orang-orang itu berbohong, dia membiarkan semua itu terjadi. Di belakang punggungnya, Jooheon berdiri sambil menyeringai. Iblis macam apa pria itu? Dan selemah apa Changkyun?
Tangannya gemetar ketika membuka koper hitam yang dia jejalnya pada suatu waktu lalu. Dia tidak ingin membuka ini lagi. Dia sudah membuangnya. Changkyun sudah lupa. Kenapa Jooheon membawa ini kembali. Membuat Changkyun membukanya lagi.
Changkyun jatuh dan menangis. Meraung-raung seperti hari pertama dia datang. Di depannya. Koper itu telah terbuka. Semua mimpi buruknya ada di sana. Terlipat rapi. Jaket jins biru pucat, sepatu sniker putih, legging hitam. Semuanya masih di dalam sana. Changkyun meringkuk lebih dalam dan menangis hingga jatuh tertidur
Dan dia berharap, wajah putih pucat dan bengkak itu tidak menghantuinya lagi.
.
.
.
.
to be continue
Maaf. Saya menyerah untuk fanfic ini. Rasanya sudah terlalu jauh melenceng dan Bahasa saya campur aduk tidak jelas. Saya mohon maaf untuk semua pembaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Lens [end]
Fanfic"Apa yang mereka lakukan? bercinta? dengan korden terbuka? oh benarkah?" Changkyun adalah salah satu dari orang sinting yang masih hidup hingga detik ini, dan dia hanya punya satu kegiatan yang cukup menyenangkan. Mengamati tetangga barunya yang hom...