5 meters

1.4K 86 23
                                        


Seberapa jauh jarak yang Changkyun miliki lebih tepatnya?

Hanya lima meter. Benar, sedekat itu. Hingga rasanya jika Changkyun memiliki cukup keberanian, dia bisa saja melompat ke kamar di seberang sana. Harusnya, juga dengan cukup keberuntungan.

Pagi yang kemudian datang menyambut Changkyun dengan kegiatan yang biasa. Dengan kameranya, menjepret sepasangan suami-istri yang berciuman. Seorang pria tua yang kesepian. Kakak beradik yang duduk tenang dengan pekerjaan mereka sendiri. Pria kekar dan berbelnya, dan tentu orang-orang yang selalu menjadi oobjek pengamatan Changkyun.

Memang biasa seperti itu.

Changkyun baru saja mencuci korden putih kamarnya. Tentu saja itu menjadi keberuntungannya. Dia punya alasan membiarkan jendelanya telanjang sepanjang hari ini dan besok. Walaupun itu juga menjadi kebebasan untuk orang-orang di seberang menatapnya kasihan.

Changkyun mengamati mereka, dan mereka juga mengamati Changkyun. Kadang kala bertukar tatapan dengan senyum hambar. Segelas Wine terangkat dari tangan Changkyun, di seberang di balas dengan anggukan yang entah berarti apa. Changkyun tidak peduli.

Pada banyak kesempatan, Changkyun mencoba mengabaikan lambaian korden-korden mati di lantai lima. Gelap dan kesepian. Terkadang, Changkyun seolah melihat dirinya di balik korden-korden lusuh dan kamar gelap. Meringkuk di pojok kamar dan tidak berhenti menangis. Atau terdiam karena kelelahan menunggu. 

Dengan gelas Wine yang penuh, menekuk satu kaki dan memeluknya dengan tangan yang bebas dari gelas Wine. Menoleh kesamping dan kadang kala duduk menghadap jendela. Hanya itu yang Changkyun lakukan. Dia bisa melihat pantulan dirinya sendiri di kaca jendela di seberang sana. 

Kurus. Pucat. Kesepian.

Berteman dengan Wine, mengamati kehidupan orang lain dari balik jendela. Changkyun tahu, salah satu atau mungkin semua objek pengamatannya telah tahu siapa dia. Pemuda kurang kerjaan, kurang ajar, dan kesepian yang mengamati mereka seperti penguntit. Mungkin itu alasan pria tua di kamar 3.4 hanya membuka kordennya sesekali dalam seminggu. Dan mungkin, di balik salah satu korden yang masih tertutup pagi ini, seseorang tengah duduk berdoa untuk kematiannya.

Tenang saja. Changkyun memulai acara bunuh dirinya bertahun-tahun lalu dengan alcohol dan rokok. Kanker belum datang padanya, tapi cepat atau lambat, kematian itu akan datang. 

Selama menunggu, Changkyun akan mengabadikan semuanya.

Lengan kurus Changkyun meraih kamera kesayangannya. Mengambil gambar dari jendela-jendela di seberang sana. Changkyun bersimpuh di atas sofa abu-abu. Tangannya memfokuskan lensa pada pantulan dirinya di seberang. Sosok yang tengah duduk dengan kamera di depan wajah. Dengan kemeja putih kebesaran. Rambut gelap acak-acakan. Dia menatap dirinya. Sosok kesepian yang tidak siap untuk mati.

Sosoknya terlihat transparan, seperti nyawa-nyawa yang terbang meninggalkan raga yang rusak. Dia melihat dirinya sendiri dan merasa iba.

Changkyun menjepret beberapa gambar lagi. Korden berwarna pastel di depan sana masih tertutup. Changkyun bisa melihat pantulan dirinya dengan lebih jelas.

Pemuda itu menarik napas berat. Menahannya sepelan mungkin seolah napasnya yang terlalu cepat akan membuat bayangan dirinya di seberang sana akan hilang. Terbang ringan seperti daun kering yang disapu setiap pagi. Changkyun tidak ingin dirinya hilang. Di suatu hari yang lalu, Changkyun ingat dia memiliki senyum yang manis. Dua dimple kecil di kedua pipinya. Dia juga ingat deretan gigi putihnya ketika tersenyum. Pemuda itu juga memiliki tawa yang keras.

Dia tidak ingat kapan terakhir kali melihat senyumnya sendiri.

Changkyun menggeser kamera sedikit ke samping. Dia menatap pantulan dirinya yang buram dan kecil. Dia mencoba tersenyum. Menjaga napasnya tetap pelan.

Behind the Lens [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang