"Aku akan menjadi kopi dalam cangkirmuBukan pahit yang kutawarkan
Tapi rasa
Dengan begitu banyak frasa
Hingga ia kembali menyapa
Tak apa
Aku takkan kemana."
This ending is about:
Gibran Pahlevi
Rene DescartesAlso
The bitter of their own coffee.
•
RENA
Jakarta, December 2018.
Aroma bubuk kopi diseduh yang menguar ke setiap sudut La Luna sudah akrab di indera penciuman gue. Sehari saja tanpa mencium aroma ini pasti rasanya ada yang kurang.
Gue sempat tersenyum kepada manusia ganteng yang setiap harinya bertugas di balik coffee maker—sebut saja Kak Keanu—sebelum berbalik untuk mengantar secangkir kopi mahakaryanya menuju meja yang terletak di sudut kafe.
Meja di mana dia selalu duduk.
Bekerja selama tiga bulan di sini membuat gue selalu melihatnya berkunjung. Terkadang bersama beberapa mahasiswa populer dari fakultasnya—well, ternyata kami satu kampus!—, atau bersama pemilik kafe ini, tetapi tak jarang gue menemukannya duduk sendirian.
Sebenarnya bukan hanya dia satu-satunya pengunjung yang pernah datang sendirian. Banyak pengunjung solo yang menghabiskan waktunya di kafe ini, baik untuk mengerjakan tugas, atau sekadar memanfaatkan wi-fi gratis untuk bermain game online. Namun tidak seperti pengunjung kebanyakan, dia nggak pernah melakukan apapun ketika datang sendirian. Dia hanya diam dan menatap kosong pada jendela di sebelahnya selama berjam-jam. Kak Duta iseng menamai kegiatan tersebut sebagai 'meditasi ala batu'.
"Ini, seperti biasa. Kalau ada tambahan bisa panggil gue. Nama gue Rena." Ucap gue ramah ketika meletakkan cangkir yang gue bawa kehadapannya. Dia hanya melirik dan gue sudah tidak heran lagi. Dia hanya bersuara ketika sedang bersama orang lain. Selebihnya... Kak Duta benar soal meditasi ala batu.
Gue kembali ke meja barista seraya meniup kasar poni yang menutupi mata tanpa alasan. Kak Keanu terkekeh pelan menyambut kedatangan gue.
"Dikacangin lagi?"
Gue mengangguk lesu. "Dia tuh tunarungu, ya?"
Kak Keanu menyentil dahi gue pelan. "Eits, hati-hati. Temennya Bos Bagas itu."