"Waktu
Sudikah kiranya kau berjalan mundur
Mengembalikan apa yang telah kuabaikan
Memberikan apa yang kini kuinginkan
Waktu
Bilakah kau hendak berbalik
Bawa serta senyumnya
Dan semua yang pernah kugenggam
Waktu
Tak perlu kau beri jawaban
Cukup dengarkan
Lantas lakukan
Bila kau berkenan."
This ending is about:
Bagas Mahadri
Zevansha AmarishAlso
Another chance he never had.
•
BAGAS
Jakarta, August 2020.
Ada satu bait dari puluhan lagu Adele yang selalu gue ingat sampai sekarang—kurang lebih, bunyinya begini;
They say that time's supposed to heal ya
But I ain't done much healing.
Kenapa dari ratusan bait yang diciptakan Adele dalam puluhan lagunya, gue justru selalu mengingat bait tersebut?
Jawabannya sederhana.
Karena... lirik itu sangat menggambarkan keadaan gue selama ini. Orang bilang, waktu dapat menyembuhkan segala jenis luka. Waktu dapat melipur segala macam sakit. Tapi kenapa... kenapa luka gue masih juga belum sembuh?
Satu tahun terlewati.
Bahkan hingga memasuki tahun kedua, belum ada yang berubah. Rasa sakitnya masih sama seperti terakhir kali dia memutuskan pergi tanpa memberi sebentuk maaf—apalagi sebuah kesempatan untuk memperbaiki kebodohan gue.
Dia...
Iya, dia.
Potongan memori yang lenyap.
Susunan kenangan yang takkan pernah kembali.Dia... Zevansha Amarish.
Keindahan yang pergi sebelum gue miliki seutuhnya.
Jika hidup gue diumpamakan sebagai bentangan langit malam, maka gue ingin dia menjadi Amarish—yang dalam bahasa Sansekerta, berarti Bulan. Menjadi yang bersinar dan hanya satu-satunya. Walaupun sinar bulan tak seterang bintang-bintang, tetapi bulan selalu di sana menemani langit malam. Sekalipun tak seperti bintang yang akan meredup untuk menghilang, bulan tak kenal lelah. Sinarnya enggan meredup barang sejen—