01| Ketika Masa Lalu Menyapa

95 7 15
                                    

"Dan di sanalah Jinola terduduk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dan di sanalah Jinola terduduk

Ada binar yang meredup ketika

Matanya menatap lurus, berharap inilah akhir terbaik yang bisa ia berikan

Tanpa selamat tinggal, ia beranjak

Melepas bahagianya

Menatap dari jauh sang hebat kembali bangkit

Untuk dirinya

Untuk bahagianya yang lain."

This ending is about:

Jinola Tatsuya
Ellena Griselda

Also

The memories they had
And the future
Without each other.

JINOLA

Jakarta, March 2020.

Ketika memutuskan untuk hidup sendirian, gue pikir gue sudah siap dengan konsekuensinya.

Gue nggak pernah menyesal harus diusir dari rumah setelah menentang keinginan orang tua gue untuk melanjutkan sekolah bisnis dan berakhir menekuni apa yang gue suka sekalipun itu artinya gue nggak lagi dianggap menjadi bagian dari keluarga. Mungkin sedetik setelah gue angkat kaki dari rumah, mereka menganggap gue sudah mati—atau justru malah menganggap kalau mereka nggak pernah punya anak bernama Jinola Tatsuya?

Yah, terserah mereka. Gue nggak peduli.

Dengan keluar dari rumah itu, gue akhirnya bisa melakukan apa yang gue suka. Gue bisa menjalani hidup sesuai kemauan gue. Tanpa kekangan, apalagi aturan yang menjerat dan membuat gue nggak bisa bernapas.

Namun... yah, untuk mendapatkan sesuatu yang sangat kita inginkan, selalu ada harga setimpal yang harus kita bayar, kan?

Kehilangan Papi dan Mami yang seumur hidupnya nggak pernah mempedulikan gue ternyata belum cukup untuk membayar kebebasan yang gue inginkan. Setelah memutuskan untuk bebas, gue harus kehilangan seseorang yang berarti untuk gue dengan alasan paling klise yang mungkin akan kalian temukan dalam serial FTV yang tayang hampir setiap waktu di salah satu saluran televisi swasta kesayangan rakyat Indonesia.

"Buat apa kamu terusin hubungan sama cowok yang masa depannya nggak jelas begitu?"

"Kamu pilih Ayah atau cowok itu?"

Suara lantang itu kerap terngiang di dalam kepala gue saat sedang sendirian begini—nggak peduli sudah berapa tahun lamanya peristiwa itu tertinggal di masa lalu. Sebagai seorang laki-laki, rasanya harga diri gue seperti diinjak-injak. Tapi sebagai seseorang yang suatu saat akan menjadi Ayah, gue mengerti kenapa orang itu nggak ingin anak perempuannya berhubungan dengan gue. Karena kelak jika menjadi seorang Ayah, gue juga nggak ingin anak perempuan gue bersama laki-laki yang luntang-lantung nggak jelas seperti gue dulu.

STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang