11. That's Not Good First Impression (3)

1.3K 139 4
                                    

Shortlist Part
Naruhina
Masashi Kishimoto (Disc)
Hanaamj

.

.

.

.

Rate: T
Genre: Hurt
Alternate Universe
Third Point of View

.

.

.

.

"Mungkinkah rasa ini adalah hukuman untukku yang telah menyiakanmu?

.

.

.

.

Saat senja menyapa, bukankah itu adalah waktu terbaik untuk merenung---atau mungkin berteriak dan menangis ditemani angin. Air mata, sesaknya hati, kacaunya pikiran adalah suatu konflik yang meluapi jiwa. Bahkan, disore berhembuskan angin, masalah yang diteriakkan tidak akan selesai dengan begitu mudahnya.

Menangis tidak akan menyelesaikan masalah secara tindakan. Namun, menangis adalah cara awal untuk meringankan permulaan dari penyelesaian suatu masalah. Berusaha memperbaiki, dan menjalani hidup.

Tapi.... ketika orang yang kau cintai telah tiada, apa yang seharusnya terjadi?

Uzumaki Naruto mungkin mengalaminya.

Saat batin mengeraskan suara, Harus seperti ini, namun apa daya ketika terjadi Hal seperti itu. Mungkin lebih jelas kalau, Aku membencimu berganti menjadi sebuah fakta kalau, Aku mencintaimu.

Menghela nafas. Dari permasalahan yang satu ini---yang akan dihadapi, mungkin tidak terlalu berat. Sebab, yang ditangani sudah tiada.

***

Berminggu-minggu pemuda itu memikirkannya. Setelah susah-payah menepis dengan keras perasaan yang seharusnya tiada, akhirnya ia angkat tangan dan menyerahkan hati. Rasa benci seolah berganti cinta dan rindu setelah tiada. Mungkinkah ini hukuman dari-Nya karena tidak seharusnya kita membenci satu sama lain? Walaupun, kita merasa tersakiti?

Naruto merapikan bajunya sambil menatap cermin. Sesekali merapikan rambut dan bermonolog. Ia tengah mempersiapkan diri.

"Huh, Naruto. Pada fakta kali ini, kau tidak bisa membenci gadis itu. Tapi sekarang telah hilang...." ucapnya pada cermin. Sejenak ia menghela nafas dan tersenyum sendu. "Aku memang keras kepala. Tapi, kali ini cobalah meluluh. Tidak ada salahnya belajar dari pengalaman yang menyakitkan."

Setelah merasa cukup dengan tampilannya, ia mengangguk. Keluar dari kamar disertai bunga-bunga yang telah ia siapkan. Pergi, setelah berulang-kali memantapkan hati.

Begitu keluar kamar, Kushina---ibunya menyambut dengan senyum sumringah. "Akhirnya kau memutuskannya, Naruto."

Kushina telah mengetahui semua yang terjadi pada anak semata wayangnya. Mulai dari sebuah tragedi keterobsesian, kekasih yang sebenarnya bukan kekasih, sampai pada meninggalnya Hinata. Sebagai seorang ibu, ia sempat prihatin pada Naruto yang tidak pernah bercerita sebelumnya. Tapi di sisi lain, ia dengan sabar dan kasih sayang menemani Naruto dikala pemuda itu butuh sebuah keputusan dan dukungan. Dan, sebagai seorang ibu pula, ia tidak akan pernah menbenci seseorang karena kesalahan, hal itu ia ajarkan kepada anaknya.

"Ya. Kupikir itu akan jadi hal yang baik, Bu."

Kushina berjinjit sedikit untuk menepuk kepala anaknya. Tangan seorang ibu itu memberikan serangkaian bunga yang sudah ia siapkan. "Ibu titip bunga ini, dan berikan pada makamnya. Ibu masih sibuk, tapi lain kali ibu akan mengunjungi makamnya."

"Baiklah," ucap pemuda itu sambil melangkahkan kakinya keluar rumah.

Itu adalah hal yang terjadi beberapa saat yang lalu.

Sekarang, di sinilah Naruto. Menatap nisan bertuliskan nama mantan kekasihnya. Matanya memandang sendu. Beberapa rangkaian bunga, perlahan ia letakkan di atas makam tersebut.

"Hinata, sudah lama, ya?" Naruto berucap pelan. Ia berjongkok di tepi makam. Sejenak, ia merenung. "Mungkin aneh mengatakan hal ini sekarang. Kau telah pergi. Dan, mungkin ini hukuman untukku karena sebelumnya aku sangat benci padamu."

Pohon berdaun hijau yang rimbun tertiup angin. Pemakaman disore hari itu terasa teduh. Naruto bisa merasakan kedamaiannya. Namun, sunyi dan terasa berjuta kepiluan.

"Aku merindukanmu, mungkin aku membuka hatiku disaat yang tidak pantas. Mungkin juga, ini adalah hal yang disebut kehilangan." Pemuda itu menunduk, menyembunyikan raut wajahnya yang nampak terpukul. "Aku tidak pernah mengerti dengan semua yang terjadi. Tapi... rasanya aneh kalau aku bilang, aku mencintaimu."

"Naruto.... kau bisa dengar aku?"

Pemuda berhati keras itu meneteskan air mata. Senyum kecutnya terukir jelas. Setidaknya, sendiri bisa membuatnya berekspresi lebih luas.

"Rasanya menggelikan sekali. Kau mungkin tidak akan mendengar pernyataan bodohku tadi, kan?"

"Rupanya kau memang tidak bisa mendengarku. Tapi aku mendengarmu. Aku.... sangat berterimakasih."

"Hinata, maafkan aku, ya?"

"Tidak. Aku yang minta maaf."

Bagai terasa direngkuh angin. Naruto merasa angin tengah menyelimutinya. Ia mendongak. Semilir angin menyapa. Entah mengapa, ia merasa didekap. Ya, arwah Hinata merengkuhnya.

"Maafkan aku. Aku menyesal. Izinkan aku merengkuhmu sebelum aku benar-benar pergi. Aku tidak pernah tenang saat kau belum mengunjungi makamku."

"Yahh... semua memang bukan awal yang baik. Tapi, mungkin semua adalah pengajaran yang baik untukku."

"Semua benar-benar bukan pertemuan yang baik/Semua sepertinya bukan pertemuan yang baik, ya?"

END (3)

An Information:
-Words totaly: 663 Words (only story)

Shortlist Part | ɴᴀʀᴜʜɪɴᴀTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang