Chapter 1

1.5K 282 40
                                    

Sudah tidak terhitung berapa kali Collin melihat sepupu laki-lakinya keluar masuk kamar mandi hanya untuk menggosok gigi, hal demikian terjadi berulang-ulang selagi ia bermain games di ponsel. Normalnya sikat gigi tiga kali atau pun dua kali sudah cukup untuk menjaga kebersihan, tapi Dima Oktara Stefano melakukan sesuatu yang sangat berlebihan. Heran, Collin benar-benar tidak habis pikir. Satu kali lagi, Stefan terlihat masuk ke dalam kamar mandi kemudian keluar dalam beberapa menit. "Lo kenapa?"

"Hn?"

"Sikat gigi kok terus-terusan gitu, gigi lo banyak dugong?"

Dugong mbahnya!

Stefan mengumpat dalam hati menyadari kesalahan yang diperbuat Collin. "Bule senewen! Kalau belum fasih bahasa Indonesia mending nggak usah sok deh. Yang benar tuh jigong, bukan dugong!"

"Ya pokoknya itu lah, sebelas dua belas." Collin Dakota baru satu setengah tahun di Jakarta dan tinggal sementara di kediaman keluarga Stefan. Usut punya usut, cowok Kanada berusia dua puluh tiga tahun itu rupanya tertarik untuk mempelajari budaya Indonesia. "Why? Ada masalah?"

Pertama kali dalam hidupnya, dicium makhluk bernama cewek selain Ibunya sendiri. Stefan tidak pernah membayangkan jika sensasinya akan terasa seluar biasa itu, gejolak-gejolak aneh membucah sedemikian hebat. Kebanyakan anak-anak cowok di sekolah berkomentar jika Miyuki Sanae sangat seksi dan menggoda, berparas menarik, juga memiliki dua aset yang berukuran lumayan besar. Masih terasa jelas bagaimana efek yang diberikan, tubuh Stefan membeku menyadari bibirnya dikecup mesra. Selain itu, tubuh mereka yang tidak ada jarak membuat dada bidangnya tertekan dada bulat milik Yuki. Bajingan! Munafik jika Stefan mengatakan tidak terangsang.

"Gue nanya Stef, kok elo malah bengong?"

Sejujurnya ini berlebihan, tetapi Stefan sungguh tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana bibir hangat Yuki menempel. Tidak sampai di situ, selanjutnya giliran seluruh isi mulut Stefan yang menjadi obyek kenakalan Yuki. Cewek itu tidak hanya mengecup, tapi juga mengulum lidah hingga dengan seenaknya mengajak saling bertukar saliva. Maka dari itu Stefan berulang-ulang menggosok gigi agar segala bakteri di dalam mulutnya hilang, hitung-hitung untuk mengantisipasi jika saja Yuki memiliki penyakit menular. Dasar! Bibirnya sekarang sudah tidak perjaka lagi, semua karena tragedi sial yang diakibatkan Miyuki Sanae.

"Bro, gue mau tanya?"

"Lah barusan elo juga tanya."

"Bukan itu."

"Terus apa?"

Bilang tidak, ya?

Stefan menggulirkan pandangannya ke luar jendela di mana gerimis mulai membasahi bumi. "Lo pernah ciuman nggak?"

"Ya pernah lah, di negara barat hal semacam itu sudah biasa." Benar juga. "Kenapa? Lo baru nyium cewek lo?"

Cih! Cewek.

Menurut Stefan, cewek hanyalah sesuatu yang merepotkan. Seperti Yuki kasusnya, tidak pernah dalam satu hari tidak membuat Stefan naik pitam. "Nggak."

"Terus?" Mustahil doi mengaku kepada Collin jika menjadi korban. "Elo kan lagi pubertas, nyantai saja deh kalau cerita ke gue."

Bahasan menarik, tapi Stefan malas menjawab dan memilih keluar dari kamar. Mengingat-ingat kembali, bibir tipisnya telah tersentuh cewek menyebalkan itu. Stefan tanpa sadar menggosok-gosok bibirnya menggunakan ibu jari sembari melangkah ke lantai bawah. Lalu ia harus dikejutkan dengan keberadaan seseorang yang menjadi alasannya bisa seperti ini, benar-benar sinting! Stefan menampar pipi kanannya sendiri berusaha menyadarkan, hanya saja suara feminim Yuki sudah terlebih dulu masuk ke indra pendengarannya. Alhasil, Avril kakak ceweknya beserta cowok oriental yang Stefan yakini sebagai kakak Yuki ikut-ikutan menatapnya.

"Stef, elo kenal sama Yuki?"

"Nggak!" Loh kok?

***

Penampilan Yuki rupanya tidak jauh beda dari penampilannya di sekolah yang lebih suka mengenakan pakaian pres body hingga menonjolkan lekuknya, bawahan hotpans dengan atasan berbelahan rendah hingga mempertontonkan bagian payudara. Dia benar-benar masuk kriteria tipe cewek penggoda yang seharusnya Stefan jauhi. "Dari pada mempertontonkan benda nggak berguna, mending lo tutupin itu lo pakai pakaian yang lebih sopan."

Dasar kuno! Yuki hanya mendecih kecil sembari melipat kakinya. "Jadi gimana?"

"Apanya yang gimana?"

"Perasaan baru kemarin loh kita ciuman, masa' sekarang lo lupa?" Tidak waras.

"Lo jangan-jangan sudah biasa melakukan dengan banyak cowok ya?" Bukannya menjawab pertanyaan Stefan, Yuki malah terkekeh kecil sambil lalu memainkan ponselnya. Jujur saja, keadaan ini begitu buruk bagi Stefan. Ibunya lebih senang berbicara bersama Avril dan Zi Yue si mas pacar. Akhirnya, suka tidak suka Stefan terpaksa menemani Yuki di teras belakang. "Teh hangatnya diminum, jangan didiemin doang."

"Nggak di sekolah, nggak di rumah lo tetap saja kaku Stef. Pantas saja anak-anak pada kabur kalau berhadapan sama lo."

"Itu karena gue punya wibawa."

Wibawa yang membuat semua orang ingin menempiling kepala cowok menyebalkan itu, Yuki bersumpah jika dirinya termasuk salah satunya. "Tapi sayang deh, elo terlalu kolot untuk ukuran anak jaman sekarang."

"Terserah mau elo atau siapa pun bilang gue kolot, yang jelas gue nyaman dengan kehidupan yang seperti ini." Menjadi cowok baik-baik yang juga sangat berhati-hati menjaga pergaulan, itu sebabnya Stefan begitu bangga bisa menjadi penegak kedisplinan di sekolah. "Jangan karena kita remaja, kita bisa berbuat seenaknya."

Cerdas.

Yuki jadi memikirkan sesuatu yang pastinya akan sangat menyenangkan. "Gini deh, gimana kalau kita buat taruhan?"

"Nggak, jangan mimpi bisa melakukan hal aneh-aneh Ki. Sampai kapan pun gue punya alergi sama cewek nakal seperti lo."

Sempat merengut sebal, Yuki tetap ngotot memaksa. "Cemen."

Sampai kapan? Stefan sejak tadi ingin mengumpati sesuatu lantaran tiba-tiba kehilangan fokus ketika tanpa sengaja melirik belahan payudara Yuki. Serius nih, apa dia tidak kedinginan mengenakan pakaian seminim itu? Ditambah lagi urat malunya di mana? Stefan bersumpah jika dirinya berjenis kelamin perempuan maka pakaian yang akan ia kenakan paling tidak harus menutupi mulai dari leher hingga mata kaki. Persetan dengan trend ataupun style masa kini, kesopanan lebih nomor satu dari apa pun. Ya begitulah kurang lebih pemikiran Stefan yang dalam sekejap hancur lantaran wajah Yuki tahu-tahu berada di depannya di jarak beberapa senti.

"Oke kalau elo nggak mau, mulai detik ini gue bakalan semakin sering bikin elo kerepotan mengatasi kenakalan gue di sekolah."

"Gue nggak akan kerepotan selama ada Pak Yoga."

"Oh, tukang ngadu."

Bendera perang telah dikibarkan.

Stefan secara refleks sedikit mendorong bahu Yuki agar jarak intim mereka terhapus. "Heh, cewek! Mau lo apa sih sebenarnya?"

"Ayo, kita buat taruhan." Itu lagi.

"Jangan aneh-aneh!"

"Kalau elo yang menang, gue janji bakalan jadi cewek penurut. Tapi kalau gue yang menang, siap-siap saja jatuh ke pelukan gue."

"Tidur lo terlalu minggir, buruan ke tengah."

"Seriusan nih, lo mau nggak?"

Siapa pun orang yang mengiyakan tawaran Yuki, maka orang itu sudah pasti tidak waras. "Apa taruhannya?"

Termasuk Stefan sekaligus.
















To be continue...

02 Juni 2019

Annoying VibesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang