Chapter 10

1.4K 235 39
                                    

Kejadian tiga tahun lalu terulang kembali, Stefan lagi-lagi melakukan hal sama. Sudah tahu begitu, seharusnya dia tidak memaksakan diri masuk rumah hantu yang ada di taman hiburan semalam. Ibu Marrie sempat heran, tapi ia langsung menghela napas begitu Avril bercerita jika adik cowoknya itu habis baku hantam dengan si pocong penghuni rumah hantu. Ini persis sekali, bedanya dulu Stefan jitak-jitakan dengan tuyul. Ngeselin banget! Niat mencari hiburan, malah berakhir saling pukul. Sepertinya Stefan memang harus dijauhkan dari hal demikian, takutnya semakin menjadi. Lihat saja bagaimana wajahnya sekarang, mata kanan membiru hingga menciptakan bulatan besar.

"Mata kamu sudah diolesin salep?"

"Sudah." Stefan diam-diam melirik Collin dan kakaknya yang menyantam sarapan sembari menahan tawa. Dibanding yang lain, Ibunya yang paling pengertian.

"Padahal Papa baru kemarin loh nanyain kamu kena setan apa? Tahu-tahu sekarang malah jadi gini."

Asw! Doi makin tertindas.

"Aku nggak pernah tahu hantu Indonesia itu seperti apa Om, tapi ngelihat Stefan yang kayak gini aku jadi ngeri." Apaan?

"Masalahnya, hantu yang berantem sama Stefan itu bukan hantu beneran Lin."

Dengan ini, dimulailah obrolan pagi seputar hantu. Stefan malas mendengarkan hingga memutuskan untuk berangkat duluan ke sekolah, tidak lupa satu kacamata hitam pun dia kenakan. Sebodoh deh nanti jika ada yang mengatai, yang penting gaya. Doi dengan stay cool mengendarai motor, bernyanyi-nyanyi santai biar tidak mengantuk ketika perjalanan. Itu sih memang kebiasaan Stefan jika berkendara seorang diri, antisipasi katanya. Jarak dari rumah menuju sekolah bisa dikatakan lumayan, Stefan harus memakan waktu sekitar lima belas menit untuk bisa sampai di gedung yang dominan berwarna abu-abu itu. Melakukan apel pagi seperti biasa, mencari sasaran empuk alias anak-anak yang sedang membuat masalah.

"Oii, Stefan!"

Persis ketika Stefan baru turun dari motor, Median telah menyambutnya di dekat tiang listrik. Cowok itu terlihat kalem berdiri di sana sembari mengemut permen lollipop rasa jeruk. "Kenapa?"

"Lah elo yang kenapa? Tumben-tumbenan pakai kacamata."

"Lagi sakit nih."

"Sakit otak ya?" Aneh juga mendengarnya, Stefan hanya menatap Median sejenak kemudian berlalu menuju kelas. "Gue tebak, elo pasti benaran ada something sama si Jepang? Ngaku lo?!"

"Gosip."

"Postingan di Instagram lo membuktikan Le." Ini sih Median jelas-jelas sudah menjadi korban setan gepeng (red : ponsel), di mana pun telah memberikan dampak bagi umat sejagat. "Kamu tuh kayak skincare, anjirr."

Demi Tuhan Stefan tidak pernah menahu, semua itu ulah Yuki. Sialnya, cewek itu tidak juga memberi tahu bagaimana cara menghapus postingan di Instagram nya. Alhasil, foto-foto yang diposting Yuki jadi tanda tanya besar sekaligus bahan gosip anak-anak. "Bacot lo!"

"Omong-omong lo kemarin ke mana dah, kok nggak kelihatan di sekolah?"

"Bolos."

"Oh, ngibul."

"Seriuslah, ngapain juga bohong?"

"Pak Yoga tahu?"

"Ya jangan sampai tahu, kentut!" Koridor masih cukup sepi, hanya ada beberapa siswa-siswi berlalu lalang. Jadi ceritanya, dua cowok ini berjalan beriringan sembari membahas hal tidak penting. "Nanti deh Med kalau urusan gue selesai, semuanya bakal gue ceritain ke elo."

Median baru membuang lollipopnya dan berniat mengeluarkan suara, tetapi keberadaan Yuki yang tersenyum menggoda pada Stefan ketika mereka berdua melewati kelas cewek itu mendadak merubah keadaan. Ini Stefan loh, aneh sekali. Bukannya mengacuhkan, dia malah meladeni apa yang dilakukan Yuki.

"Bucin." Begitu komentarnya.

***

Bagaimana seharusnya bersikap pada seseorang yang dicinta? Lemah lembut dan penuh perhatian. Nyatanya, Stefan harus membuang pemikiran itu jauh-jauh karena menyadari apa yang dilakukan Yuki sekarang. "Aduh, pelan-pelan napa sih?"

"Perasaan ini sudah pelan deh, lembek amat?"

"Lo mau itu gue makin membengkak gede?"

"Ih, ambigu." Seharusnya itu diperuntukkan untuk otak Yuki, pikirannya jadi ke mana-mana. "Elo kalau mau ngebahas anu jangan sekarang Beb, pagi-pagi masa' bikin horny?"

Astagfirullah cewek!

"Lagian salah lo! Ngapain sih tuh tangan nganggur banget sampai bisa-bisanya nempiling pocong?"

"Refleks."

"Gue kalau takut paling-paling cuma teriak, nggak kayak elo." Layaknya Ibu tiri, Yuki terus mengomeli sembari menekan pelan mata Stefan yang membiru. "Sakit nggak?"

"Menurut lo?"

Maunya apa sih? Stefan sebenarnya sebal bukan main ketika tiba-tiba mulutnya dibekap. Tidak hanya itu, seenaknya sendiri Yuki mendorong tubuh Stefan hingga mereka berdua terjungkal ke belakang. Dari gelagat anehnya yang mengisyaratkan sesuatu, jelaga Yuki tidak juga berpaling dari karamel Stefan meski pun posisi mereka benar-benar tidak baik. Ini ruang penyimpanan alat olahraga, hanya digunakan di saat-saat tertentu saja. Bukan tidak mungkin jika ada yang memergoki, maka tamatlah sudah riwayat Yuki dan Stefan. Dijadikan bahan gunjingan satu sekolah, lalu mendapat hukuman dari Pak Yoga. Yuki sih mana peduli, tapi Stefan akan habis. Penegak kedisiplinan tidak mengikuti pelajaran, sudah begitu malah berduaan dengan cewek di tempat sepi.

Apa kata dunia?

Dunia nggak kenal elo, Stef.

"Jangan di sinilah, cari tempat lain."

"Kenapa?"

"Di sini rawan, bisa berabe kalau sampai kita ketahuan ngerokok."

Waduh.

Stefan tidak bisa mengontrol diri ketika mendengar itu, mendadak melotot garang pada Yuki yang masih setia duduk di pangkuannya. "Mau apa lo?"

"Cabut, cabut!" Tidak satu atau pun dua orang, Yuki memperkirakan jika mereka merupakan Martin dan kawan-kawan. "Buruan!"

Akhirnya usai, dalam sekejap suara mereka tidak terdengar lagi. Hal itu membuat Yuki bisa bernapas lega, mencoba membalas tatapan Stefan yang sepertinya masih diliputi kekesalan. "Kenapa?"

"Gue paling nggak suka perokok, apa lagi seperti mereka itu yang malah ngerokok di area sekolah." Eh, beneran? Yuki berekspresi aneh mengingat sesuatu. Dia dulu pernah mencoba merokok, hanya sedikit saja lalu tidak berlanjut karena takut membahayakan kesehatan. "Minggir Yuk, lo berat."

Dasarnya Stefan yang sengaja menjaga jarak, Yuki diam-diam melihat raut wajah cowok itu yang mulai memerah. Mungkin karena efek marah tadi, atau bisa juga karena malu menyadari posisi mereka yang terlihat intim. Stefan terduduk di lantai dengan Yuki duduk mengangkangi kedua pahanya, otomatis tubuh bagian depan mereka hanya terpisah beberapa senti. Masalah seriusnya, rok coconut selutut milik Yuki telah terangkat hingga mempertontonkan sebagian besar paha putihnya. Stefan menghela napas, berusaha mendorong tubuh Yuki agar terbebas dari belenggu dosa meski enak. Lah? Yang jelas dusta sekali jika doi bilang risih, yang ada kebalikannya.

"Kiss me, please."

"Jangan main-main, cewek." Stefan bisa saja langsung mendorong Yuki, tapi dia memilih tidak melakukan.

"Berapa hari lagi batas taruhan kita?"

"Tiga." Masih ada waktu untuk mengerjai Stefan, semua itu cukup memuaskan. "Kenapa memangnya? Lo berubah pikiran?"

Tentu saja tidak.

Yuki tersenyum sembari mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu melingkarkan kedua tangannya di leher Stefan. "Sebenarnya gue pengen sedikit bersenang-senang."

Ekspresi sekaligus bahasa tubuhnya yang menggoda, aduh.

Tapi tidak, Yuki kalah kali ini.

Sebelum dia berbuat gila, Stefan terlebih dulu membungkam bibirnya dengan ciuman.















To be continue...

30 Juli 2019

Annoying VibesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang