Chapter 11

1.2K 253 41
                                    

Yuki membayang sesuatu selagi merasakan ciuman yang diberikan Stefan, tapi ia tidak bisa berhenti tersenyum puas. Dengan situasi seperti ini, dengan posisi seperti ini, rasanya akal mereka akan hilang. Yuki merasa di awang-awang, Stefan juga merasakan gejolak demikian tatkala lidahnya menelusuri hampir seluruh isi mulut Yuki. Mengemut bibir menggoda itu tidak tahan, rasanya liat dan menggemaskan. Stefan tidak kuasa untuk tidak berdebar, aroma tubuh Yuki dengan fatal sanggup mengundang nafsu. Ia laki-laki normal, munafik jika tidak tertarik dengan semua lekuk itu ditambah lagi paras cantik Yuki. Sejak tadi bahkan lengkungan payudaranya yang indah terus-terusan menggesek dada bidang Stefan.

Ini candu, sial!

Stefan kemudian menggerakkan kedua tangannya memeluk pinggang ramping cewek itu, mengelusnya naik turun, sengaja menggodanya, merasakan setiap kelembutan teksturnya. Lantas, Yuki mencengkeram erat punggung tegap Stefan. Tidak setengah-setengah, Yuki membiarkan lidahnya menghangat. Dia bahkan hampir meleleh ketika cowok itu menyentuh seluruh bagian mulutnya dengan penekanan, mendorong-dorong kecil lidahnya. Lebih jauh lagi, Yuki merasakan ereksi Stefan menyentuh dirinya hanya dengan sebuah ciuman penuh nafsu. Mereka harus melakukan hal yang lebih gila lagi. Yuki berantusias, sungguh. Namun ia memutuskan untuk memberi jarak sejenak hingga Stefan mendecih marah.

"Gue mulai ragu pada asumsi orang-orang, gimana bisa elo nyium cewek dengan cara seperti ini seolah elo sudah berpengalaman."

"Shut up!" Stefan tidak suka kesenangannya diganggu. "Lo yang mancing, cewek."

"Dan elo nggak bisa nahan nafsu." Yuki dan segala sikap menyebalkan, sebuah kombinasi yang pas. "Semua cowok sama."

Persetan! Cewek ini yang sudah membuatnya lepas kendali.

Stefan menggeram rendah lalu mencium rahang Yuki, bergerak semakin turun hingga menyentuh leher, membuat Yuki tidak kuasa untuk tidak mendesahkan namanya. "Let's just say i'm a bastard."

Yuki tersenyum mendengarnya disela-sela jilatan yang cowok itu lakukan di lehernya. "Lo memang brengsek, Stefan."

Tiba-tiba sarafnya mengejang, Yuki dengan beraninya membimbing tangan Stefan bergerak naik turun di sisi pinggul dan punggung, hampir menyentuh kedua payudaranya. Sial! Testosteron, estrogen, sekaligus progesteron kian membuat adrenalin mereka meningkat. Memang telapak tangannya belum menyentuh bagian intim itu, tetapi Stefan sudah tegang bukan main membayangkan kelembutannya. Yuki memang cewek gila, saking gilanya sampai Stefan berasumsi jika dia mungkin telah salah mulai menaruh hati pada orang ini.

"Gue hanya perlu bibir lo, jangan bikin gue ngelakuin hal lain."

Langkah sekali, anak cowok kebanyakan sering memulai, memancing hal-hal negatif. Tapi Stefan seperti kebalikannya. Yuki tersenyum kian lebar, kembali memeluk kepala Stefan lalu menyatukan bibir mereka. Saling mencecap mesra, melumat intim. Dengan jarak yang sedekat nadi, Yuki menginginkan lebih kasar lagi. Ia ingin Stefan menghisap bibirnya sampai memerah. Ia ingin seluruh rongga mulutnya terjelajahi oleh lidah Stefan. Sayangnya, ciuman penuh nafsu antara mereka harus berakhir lantaran suara pintu ruang penyimpanan alat olahraga yang tiba-tiba terbuka. Yuki yang pertama menoleh, dan itu mengakibatkan senyumnya langsung meluntur.

"Wah ngebokep." Taek! "Pantesan di kelas nggak ada, tahunya di sini cipokan sama malaikat pencabut nyawa."

"Ini namanya menambah-nambah dosa."

Ngapain sih Adek dan Yasa ikutan masuk ke sini? Stefan terperangah sedangkan Yuki menautkan alisnya jengkel tanpa sedikit pun merubah posisi mereka. Duduk berpangkuan, sudah begitu kaki si cewek terbuka lebar seperti minta di anu.

"Es krim mochi dua belas varian."

Lah kampret si Yuki.

***

Stefan tidak mengerti mungkin ini menjadi hari buruk baginya, memiliki teman sekolah yang kelakuannya astagfirullah bikin pengen ngemplang. Niat awalnya kan hanya mentraktir Yuki, itu pun sudah pasti Stefan mencicipi sedikit. Tapi karena kejadian di sekolah tadi, Adek dan Yasa jadi ikutan-ikutan. Yuki benar-benar tidak tahu diuntung. "Abis lo?"

"Ya abis dong Beb, es krim mochi segitu doang kecil mah." Segitu katanya? Tadi itu dua puluh es krim loh. Yuki tidak jadi meminta dua belas, tapi dua puluh sekaligus untuk kedua komplotannya itu. Stefan yang malang, kena porot uang jajannya yang bisa dia pakai untuk satu minggu, habis dalam satu jam saja. "Thanks loh."

"Kalau tahu tuh es krim harganya segitu, ogah gue ngetraktir elo."

"Nggak ikhlas nih?"

"Nggak." Yuki tidak menggubrisnya, memilih naik ke motor cowok itu.

Stefan dengan tampang judesnya mulai menjalankan motor, sempat keki sendiri menerima tingkah menjengkelkan Yuki. Tapi ia tidak bisa juga melupakan ciuman tadi, mereka benar-benar melampaui batas. Di negara ini, hal-hal tersebut masih tabu dilakukan oleh remaja seusianya. Stefan menduga mungkin saja Yuki dulunya terkena pergaulan bebas, lalu menularinya. Halah. Stefan kan cowok, sedikit disentil lama-kelamaan akan jatuh juga. Lemah sekali dirinya ini. Sepanjang perjalanan menuju rumah Yuki, Stefan terus memikirkan. Ayahnya terang-terangan memperbolehkannya menjalin hubungan dengan seorang gadis, tapi Stefan juga tetap harus bisa mematuhi aturan.

"Stefan, gerimis nih." Apa dikata, hujan rupanya semakin bertambah deras. Bahkan ketika mereka telah sampai di depan rumah Yuki, kilat dan guntur saling bersahutan. Butuh dua puluh menit dari sini untuk pulang ke rumah, Stefan memandang Yuki dengan masih mengenakan helm fullface nya. "Hujannya makin deras, lo di rumah gue aja dulu tunggu sampai redah."

"Nggak enak ah."

"Apanya yang nggak enak?"

"Ya nggak enaklah sama orangtua lo. Gue cowok, lah elo cewek."

Dasarnya cowok kolot ya begini. Yuki sudah kesulitan membuka mata karena rintik hujan semakin deras menjatuhi tubuhnya. "Masuk ayo, buruan bawa motor lo ke dalam."

Alih-alih membiarkan Stefan pergi, dia justru membuka pagar rumahnya lebar-lebar. Stefan yang tidak memiliki pilihan lain terpaksa membawa motornya masuk ke pekarangan, lalu bergegas mengikuti Yuki yang sudah terlebih dulu melangkah menuju pintu. Seragam mereka tidak seluruhnya basah, hanya celana kotak-kotak Stefan saja yang sepertinya perlu dikeringkan.

"Tunggu dulu, cewek."

"Apa sih?"

"Di rumah lo ada orang nggak? Kalau nggak ada mending gue pulang saja deh."

Untuk kesekian kalinya, Yuki harus memutar mata bosan. "Kalau pun nggak ada memangnya kenapa?"

"Ya gue takut khilaf lah."

"Perasaan dari tadi elo banyak khilafnya tuh." Ciuman bibir dan sentuhan itu, di mana otaknya? "Ayo deh masuk, nyokap gue baik kok nggak galak kayak Pak Yoga."

Mulutnya minta dikuncir.

Stefan menghela napas sembari mrlihat Yuki membuka pintu. "Bokap lo nggak di rumah?"

"Lagi di laut." Lagi kerja maksudnya, jadi pelaut. "Kalau adik gue paling masih ada les sampai sore."

"Nggak nanya."

"Yuki." Cewek itu akan membalas ucapan Stefan, tapi keduluan mendengar suara Ibunya. "Kamu sudah pulang?"

"Iya Ma, baru sampai nih."

Tidak tahu bagaimana wujudnya, Stefan hanya diam melihat Yuki melepas sepatu. Tapi ia mulai mendengar suara perempuan tua itu kian mendekat. "Pulang sama siapa?"

"Sama teman, ini anaknya masih di sini. Nunggu hujan redah dulu baru pulang."

Begitu Stefan melihat ke pintu yang terbuka, Ibu Yuki tengah berdiri di sana sembari membawa handuk. Dia sempat terkejut namun buru-buru dirubahnya menjadi tersenyum tipis, roman-romannya membuat bulu kuduk Stefan berdiri. "Oh, ini nih pacarmu yang kamu bilang mirip pantat panci? Ganteng gini kok."

Asw!















To be continue...

Jan jadi silent readerslah, minimal kasih vote kek. Jangan enak-enakan ngebaca tapi nggak ngehargai sedikit pun.

26 Agustus 2019

Annoying VibesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang