Chapter 12

1.1K 244 41
                                    

Stefan duduk tenang sembari menyesap teh hangat, tapi cowok di depannya tidak bisa menunjukkan wajah biasa. Dia itu baru datang, berteriak memasuki rumah dengan menenteng jas hujan yang masih basah, lalu sekarang nongkrong di depan Stefan seolah mengintrogasi. "Jadi lo pacarnya kak Yuki?"

"Bukan."

"Kalau bukan, terus elo siapanya?"

Ya gusti kepo. "Teman."

"Teman doang? Kayak judul lagunya Pinkan Mambo dong." Apaan? "Kekasih yang tak dianggap."

Memang dasar anak setan. "Nggak apa-apa nggak dianggap, yang penting RAN!"

Dekat di hati.

Ya nggak perlu ngegas jancok!

Akio ini punya kebiasaan sering mengumpat. Setipelah dengan Yuki, tengil dan minta ditempiling. "Enak ya kalau punya pacar? Lah gue terakhir putus sama tali pusar."

Garing nggak sih? Tapi Stefan tidak dapat meresponnya dengan sebuah tawa. "So sad."

"Yang jelas lo tuh kalau pacaran sama kakak gue, jangan mau lah itu mainnya kayak PUBG solo versus skuad."

"Kenapa?"

"Berjuang sendiri cok! Berat."

Dari mulai melihat wajahnya, Akio sudah kentara menyebalkan. Stefan harus banyak bersabar demi menjaga harga diri. Kalau kata Ayahnya, legowo wae dari pada menggubris buntalan kentut.

"So sad." Itu mulu.

"Ngapain di sini Dek? Masuk ke kamar sana, ganti baju terus makan." Akhirnya ada yang mengusir bocah resek itu. Stefan bernapas lega selagi Ibu Yuki membawakan gorengan hangat dan langsung meletakkan di meja. "Sambil nunggu hujannya redah, makan ini dulu ya Stef."

"Iya Tante, maaf nih jadi ngerepotin."

"Nggak masalah, Tante justru senang kok kamu main ke sini." Beralih pada Akio, dia tidak juga mendengarkan perintah Ibunya, masih sempat-sempatnya memakan satu gorengan hingga habis setengah. "Kamu nggak dengarin Mama Dek?"

"IYA IYAAA!"

Tipikal bocah yang belum sepenuhnya dewasa. Stefan mendengus sesaat melihat Akio berlarian menuju kamarnya sembari melahap gorengan. Lantas, perhatiannya sekarang tertuju pada Ibu Yuki, mereka bertemu pandang dan langsung melepar senyum. Jujur nih, Stefan sebenarnya sedikit grogi. Bertemu orangtua teman sekolahnya baru kali pertama, sudah begitu temannya itu cewek pula. Layaknya bertemu calon mertua, Stefan bahkan tadi tiba-tiba menjadi gagu ketika Ibu Yuki mulai bertanya siapa dirinya. Yang jelas Stefan harus sombong dong, mengaku jika doi itu cowok blasteran Amerika, penegak kedisiplinan di sekolah, dan juga ketua club bela diri.

"Omong-omong kamu sama Yuki sudah berapa lama nih Stef?"

Lama apa dulu nih? Lama jadi musuh, lama saling menghujat, atau lama cipokan?

"Mama apa sih?" Benar-benar keluarga kompak, senang sekali dengan tiba-tiba menampakkan diri. Stefan spontan mendongak pada Yuki yang baru datang sembari membawa beberapa buku. "Yuki sama Stefan mau belajar."

"Iya deh, iya."

Lah ini beneran cewek gila itu? Yang biasanya tampil seksi dan juga bikin cowok-cowok terangsang. Stefan merasa aneh melihat tampilan Yuki sekarang. Dia dengan tampang juteknya ogah-ogahan membuka buku setelah kepergian Ibunya. Mumpung ada waktu, Stefan teringat dan akhirnya menyuruh Yuki mengambil bukunya agar dia bisa memberi bimbel. Di matanya, jauh lebih baik Yuki mengenakan pakaian yang sopan seperti ini. Kaos longgar bermotif garis-garis berlengan panjang dengan bawahan celana katun. Yang begitu tuh baru normal bagi remaja seusianya, bukan mengenakan tanktop seksi atau pun rok mini.

"Apa lo lihat-lihat? Pengen juga makai yang kayak begini?"

Stefan meliriknya sebentar. "Buku Biologi yang Bab tiga buruan lo buka."

"Gue anak IPS, sayang."

Anjay.

***

Niatnya berada di rumah Yuki hanya sampai hujan redah, tapi malah keterusan hingga malam. Untung saja Ayah dan Ibu Stefan bisa mengerti, berdalih ada tugas kelompok yang mengharuskannya selesai malam ini. Orang mah kalau sudah kebiasaan ngibul, maunya nagih mulu. Stefan meringis geli mengingat tabiatnya, hal itu juga dilihat Yuki.

"Lo beneran habis ini mau pulang nih? Nggak mau nginap di rumah gue?"

"Nggak." Setelah tahu bagaimana perbedaan Yuki, cewek ini benar-benar seperti memiliki dua kepribadian. Di depan Ibunya santun, tapi ketika di luar dia sungguh berubah seratus derajat. Yuki si cewek nakal, itu yang Stefan tahu. "Kok bisa sih?"

"Apanya?"

"Ya elo, di sekolah sudah persis seperti cewek nggak bener. Tapi di rumah kok elo jadi baik-baik begini?"

Halah, begini doang.

Teman-teman Yuki banyak yang sudah tahu kok, Stefan saja yang ketinggalan berita. Jadi cowok cupu kurang update, menghapus postingan di Instagram saja dia tidak mengerti caranya. Yuki tersenyum simpul melihat Stefan berujar sembari membenahi perlengkapan sekolahnya, memasukkan satu persatu buku dan beberapa alat tulis.

"Yang terpenting, di depan orangtua kita jangan sampai bikin mereka khawatir." Yuki memberi jeda pada ucapannya. "Kita boleh jadi bangsat di luar sana. Tapi di depan orangtua, lo tetap harus jadi anak yang mereka harapkan."

"Alangkah lebih baik lagi kalau elo bisa mengimbangi keduanya." Stefan jika diajak berdebat, maka muncul lambe turahnya. "Gue mau pulang, Nyokap lo mana?"

"Mau ngapain?"

"Ya pamit lah."

Dima Oktara Stefano si cowok santun dan santuy, dengan orang yang lebih tua harus selalu menerapkan sikap hormat. Tapi Yuki rupanya ingin bermain-main sebentar, dikitlah tidak banyak. Kemudian kesempatan itu kian terbuka lebar saat Stefan menerima telpon dari Median. Gasss dong Yuk! Mereka berbicara mengenai tugas Fisika. Fluida statis, fluida dinamis, apa lah itu Yuki tidak mengerti. Doi lebih memilih menyandarkan dagunya di bahu Stefan, tersenyum menggoda hingga cowok itu menatapnya tajam. Isyaratnya mengatakan, lo ngapain nempel-nempel gue? Maka semakin menjadilah tingkah nakal Yuki. Tidak hanya sekedar menyandarkan dagu, dia dengan iseng meniup-niup telinga kiri Stefan. Beruntungnya ruang tamu lagi sepi, bisa modar jika kepergok Ibunya atau pun Akio.

"Lo sebenarnya lagi sama siapa sih Le? Gue ngejelasin di sini enggak elo gubris."

Yuki bar-bar dan nakal. "Kalau elo masih ngomong sama teman lo yang mukanya gelap banget kayak abis maghrib itu, gue jamin dia bakalan horny dengarnya."

"WOI APAAN? LAGI SAMA SIAPA LO?!"

Taek!

Stefan tidak memiliki pilihan lagi selain menekan tombol merah, menatap Yuki jengkel, lalu segera berdiri sembari membawa tas ransel hitamnya. "Gue mau pulang, salam ke Nyokap lo."

Lah bisa gondok juga dia?

Yuki mengangkat kedua bahunya acuh, tidak juga berusaha mencegah Stefan yang telah menutup pintu dengan keras.

Suka-suka deh.















To be continue...

Yuki

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yuki

28 Agustus 2019

Annoying VibesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang