Chapter 14

1.3K 250 38
                                    

Topi hitam, kaca mata hitam, dan juga masker hitam. Untung saja pakaian cowok itu tidak hitam sekalian, karena semua orang akan mengiranya pergi melayat bukan ke Bioskop. Yuki menghela napas berkali-kali, sedikit melirik Stefan yang tengah memainkan ponselnya. "Lo tuh sok misterius banget. Pakai topi, pakai masker, pakai kaca mata. Sudah kayak trainee JYP."

Bacanya jewaipi, jangan jeyepe. "JYP apaan?"

"Jutek Yandere Parnoan." Ngawur banget. "Tuh kaca mata lepas deh, film nya sudah mau mulai nih."

Meski menolak, ujung-ujungnya doi ikut nonton juga. Yuki mulai hafal bagaimana Stefan, wajah tenangnya bisa ia lihat dari samping. Seluruh ruangan menggelap, lalu layar besar di depan sana mulai memutar film. Sebagian besar penonton mengerti dan langsung diam. Tetapi, Stefan baru menyadari sesuatu yang langsung membuatnya berbalik pada Yuki, mempertanyakan sesuatu.

"Katanya kita nonton film KKN di Desa Ponari, lah ini kok yang tayang malah film Dua Centang Biru?"

"Lo nggak suka film horror kan?"

"Hn."

"Ya sudah kita nonton ini saja." Dua centang biru sebenarnya lebih mengerikan, pesan dibaca tapi tidak dibalas. "Gue sempat baca sinopsisnya, ini bakalan menarik."

Film Dua Centang Biru menceritakan perjuangan cowok bernama Bambam dalam mengejar cinta cewek bernama Rebecca. Malang nian, ternyata jalan yang dia lalui terdapat banyak kerikil. Sudah banyak mengorbankan segalanya, nyatanya yang ia dapat hanyalah dua centang biru. Pesannya tidak terbalas sampai kapan pun, begitu pula perasaannya. Untunglah Stefan ganteng, tidak dekil seperti wajah kusam Bambam di film itu. Kasihan. Yuki sampai tanpa sadar meneteskan air mata, ikut merasakan kesedihan tokoh cowoknya. Seharusnya Rebecca tidak seperti itu, hanya membiarkan mencintai namun tidak memberikan kesempatan untuk bersama. Mirip-miriplah kelakuannya sama seperti Stefan.

"Jangan nangis, bibir lo memble." Dan bibir seperti itu sungguh menggoda minta dikecup. Stefan tersenyum miring, memasukkan popcorn rasa durian ke dalam mulutnya sembari terus menatap layar lebar. Seperti durasi film kebanyakan, Dua Centang Biru berakhir dalam waktu dua jam. Sukses membuat Yuki menangis sesegukan. "Alay banget sih lo, gitu doang nangis."

"Ya kan gue kasihan lihatnya. Sial banget, mana nggak ada tisu di sini lagi. Masker lo mana biar gue pakai buat ngelapin ingus?"

Cakep, tapi jorok.

Stefan lantas menyerahkan sapu tangan pada Yuki. Mereka berdua berjalan menuruni anak tangga, lalu keluar dari ruangan itu. Tidak ada hal-hal romantis, berciuman mesra atau kegiatan intim lainnya. Sisi gelap dalam Bioskop dapat tertembus oleh CCTV infrared, pengunjung di sana harus berpikir dua kali dulu jika akan melakukan hal tidak senonoh.

"Mau ke mana lagi nih?"

"Gue laper, pengen makan chicken katsu. Tapi yang dilumuri bumbu curry nya."

Permintaannya ini justru membuat Stefan mengerutkan dahi. "Ribet amat, sudah kayak Ibu hamil lagi ngidam."

"Ya kan anggap saja lo belajar ngehadapi ngidamnya Ibu hamil."

Sengaja memang, Yuki ingin tahu bagaimana reaksi Stefan. "Masalahnya lo nggak hamil."

"Ya sudah kalau gitu buruan lo hamilin gue."

Fakyu lah jancok!

Stefan memasang ekspresi malasnya, merangkul Yuki sambil melirik kanan kiri takut-takut jika ada yang mendengar ucapan gila cewek satu ini. "Lo butuh asupan yang banyak, biar pikiran lo balik normal. Ayo."

"Pokoknya Mommy mau chicken katsu tapi pake bumbu curry loh Dad."

"Diam napa sih? Gue geli dengarnya."

Yuki terbahak sesaat, jangan sampai doi ngambek untuk yang ke dua kalinya.

***

Katanya, ada sisi indah tersembunyi di tengah kota metropolitan. Yuki mencoba menemukan itu, tetapi nihil. Kemudian yang didapat justru senyum tipis Stefan. "Gelap-gelapan gini ngapain sih, mau cipokan?"

"Jangan mengada-ngada, jelas-jelas di atas kepala lo ada bohlam pijar."

Sudah pukul tujuh malam, mereka berdua masih enak-enakan keluyuram sejak siang. Sesuai menonton film di Bioskop dan mengisi perut, Yuki kembali memaksanya nongkrong di Cafe. Bilangnya ngopi, tapi yang dia pesan justru jus mangga. Makanannya sih biasa, hanya saja suasana Cafe yang membuat Stefan merasa jika mereka berdua benar-benar sedang dating. Mbak-mbak waiters bahkan sempat menawarkan beer, katanya agar semakin romantis. Hilih! Yang ada justru hal negatif yang dikhawatirkan akan terjadi. Mereka masih muda, masih banyak yang akan mereka wujudkan ke depannya. Dari pada melakukan seks sesaat, Stefan sebisa mungkin menghindari hal tersebut.

Lagi pula, mereka ini sebenarnya apa?

Bukan sepasang kekasih.

"Lo memang pintar banget Beb. Nyari tempat yang sunyi begini, remang-remang, paling pojok pula." Lah? "Gue suka."

"Terserah."

Yuki melihat hidangan yang tersaji cukup menggugah, anggap saja ini sebagai hidangan penutup setelah ia memakan chicken katsu tadi. "Lo nggak pesan?"

"Gue masih kenyang."

Terus terang Stefan terkadang heran. Nafsu makan Yuki banyak, tapi tubuh cewek itu tetap stabil meski tidak melakukan diet. Tubuhnya alami seksi, setiap lengkungannya sangat feminim. Payudara besar, dan juga bokong yang seringkali memantul indah. Aduh apa sih?! "Omong-omong mumpung suasana lagi romantis begini, lo nggak mau bilang apa pun ke gue gitu?"

"Bilang apaan?"

Kok goblok?

"Ya mana gue tahu." Yang jelas, tipe cowok seperti Stefan ini perlu dipancing.

Sejujurnya sulit mengakui, sampai saat ini pun Stefan terus menampik. Ada kalanya ia sangat menginginkan Yuki, tapi terkadang sikap cewek itu sendiri yang membuat Stefan mundur. Yuki terlalu jauh dari impiannya, terlalu mudah lunak dalam benaknya.

Berkali-kali menelan ludah, si cowok akhirnya memiringkan wajahnya memandang Yuki yang tengah mengunyah kentang goreng. "Gue suka sama lo."

Asw! Masa gitu doang? Tidak ada romantis-romantisnya.

"Tapi..." Ada banyak pertanyaan di kepala Yuki sekarang. "Tapi gue nggak bisa menjanjikan apa pun."

Mereka tidak seharusnya bersikap naif.

"Kita nggak perlu jadi sepasang kekasih, kita nggak perlu juga untuk selalu dating setiap weekend."

"Jadi intinya apa?"

Hanya cowok ini saja yang mengatakan hal demikian. Yuki menyadari dirinya terpesona pada wajah Stefan, matanya terlihat jernih karena cahaya remang-remang. "Intinya gue suka sama lo, dan gue nggak akan pernah ngelampaui batas yang sudah gue putuskan."

Stefan bersumpah akan menahan diri untuk tidak merusak Yuki, sekali pun cewek itu sendiri yang memulai.

Yuki menatap Stefan jengkel, terus terang merasa heran. "Apaan sih? Gajetot banget."

Tuh kan, belum apa-apa sudah bilang 'Tot'.

"Kalau elo suka gue beneran, cium sini."

Yuki bukan tipe cewek pasrah, pasif ketika bibirnya dicium dan juga tubuhnya dipeluk erat. Untuk kesekian kalinya Stefan menggeram, tampaknya hari-harinya akan sulit jika bersama cewek modelan begini. Senang melakukan skinship, brutal dalam berciuman, tapi tetap harus menahan diri agar tidak sampai ke tahap itu.

"Dasar trouble maker."

"Elo annoying."















To be continue...

Satu chapter menuju ending.

31 Agustus 2019

Annoying VibesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang