Chapter 4

1.2K 254 30
                                    

Siapa pun cewek di dunia ini yang menganggap jika Dima Oktara Stefano merupakan pangeran berkuda putih, maka kepala cewek itu mungkin telah terbentur sesuatu. Yuki merutuki dirinya sendiri yang juga menjadi salah satunya, terjerat dengan pesona Stefan diawal. Alih-alih semakin tergugah, demi apa pun di dunia ini Stefan merupakan salah satu makhluk yang semestinya dimusnahkan. "IQ lo berapa sih sebenarnya? Gini doang banyak yang salah, pantas saja rangking lo jeblok melulu."

Kok?

"Sotoy lo Beb! Akrab juga baru, nggak usah ngata-ngatain IQ gue deh."

"Gue nggak ngata-ngatain, faktanya begitu." Sialan memang. "Lagian siapa juga yang akrab sama lo? Ingat Yuki, taruhan kita tinggal satu minggu. Gue sudah melewati satu minggu sebelumnya tanpa hambatan, jadi untuk satu minggu ke depan gue minta elo mau bekerja sama dengan sebaik mungkin."

Yuki sewot bukan main mendengar ajakan kerja sama Stefan, diam-diam dia melirik beberapa orang yang hilir mudik melewati tempat nongkrong mereka. Heran, seharusnya mereka bimbel di rumah saja bukannya di Cafe seperti ini. Tidak masalah jika sepi, lah ini di mana-mana banyak orang. Terus terang Yuki kurang bisa fokus, ditambah lagi wajah galak Stefan benar-benar membuat Yuki ingin menggeplak kepala cowok itu. Harinya sungguh sial, mau lari tapi gengsi. Ulangan di sekolah tidak bisa Yuki hindari lantaran Stefan resek sudah stand by memberi omelan. Rasanya Love Potion di game Sakura School Simulator yang terinstal pada ponsel Zi Yue sangat Yuki butuhkan, agar Stefan bisa takhluk padanya.

Ngimpi!

"Apaan nih? Sejak kapan Atta Halilintar jadi pencetus teori alam semesta? Ngaco lo."

"Gue belum lahir waktu itu, ya mana tahu."

Kesabaran Stefan diuji, mulut Yuki sejak awal tidak berhenti memancing. "Ganti, buka buku lo sekarang."

"Aduh Beb, kepala gue pusing banget nih. Kayaknya gue mau amnesia saja buat melupakan segalanya."

Doeng!

Kena, buku setebal tiga senti mengenai kepala akibat perbuatan Stefan. "Seluas-luasnya alas masih lebih luas alasan lo."

Tidak ada pilihan lain, Yuki cemberut sembari mengeluarkan bukunya dari dalam ransel. Stefan hanya bisa tersenyum tipis sesaat, kemudian memperhatikan cuaca di luar sana yang diselimuti mendung. Hanya beberapa menit berlangsung, gerimis mulai berjatuhan dari atas langit. Kembali, Stefan melihat pergerakan Yuki yang sok-sokan membaca buku. Rasanya sampai saat ini pun kehidupannya penuh liku. Apa iya hanya demi mengerti isi hati cewek, Stefan harus melakukan konsultasi ke psikiater? Study banding ke Harvard? Bertanya kepada orang pintar? Merukiah diri? Bahkan ikut pesantren kilat? Benar-benar deh, cewek memang sulit dimengerti.

"Wah, di luar hujan." Dari tadi. "Dingin nih."

"Terus?"

"Kali aja gitu elo mau hangatin gue."

Yuki yang absurd.

Bagaimana tidak kedinginan jika seragam yang Yuki gunakan selalu press body, sudah begitu dia tidak mengenakan kaos dalaman. Stefan bukannya sengaja mencari tahu, tetapi keteledoran Yuki yang senang skinship membuat cowok itu mau tidak mau menyadari bra merah yang samar-samar terlihat dari seragam putihnya. "Seragam lo masih juga nggak diganti?"

"Nggak."

"Mulai besok atasan lo harus longgar, rok harus selutut, pakai dasi, terus hilangin lipstick merah lo yang kayak tante-tante itu."

"Gue kira elo suka yang merah-merah gini." Yuki sepertinya sengaja, gelagatnya yang berani membusungkan dada membuat Stefan menghela napas. "Gede ya?"

"Gede, tapi kalau nggak berguna buat apa?"

Astagfirullah manusia.

***

Hujan boleh menghantam bumi dan seisinya, tetapi hal itu tidak juga bisa menyurutkan senyum Yuki. Pukul empat sore, dia baru sampai di rumah dengan diantar Stefan. Setidaknya, cowok muka tembok itu mau bertanggung jawab memulangkan anak gadis orang. Sebenarnya Yuki penasaran akan perasaan Stefan, rugi sekali jika doi tidak menyukai wajah cantik dan tubuh seksinya. Tapi jika memang benar begitu, cowok seperti Stefan patut didapatkan.

"Baru pulang kok sudah senyum-senyum sendiri, kenapa hm?"

"Itu tuh, baru diantarin pacarnya. Makanya jadi senyum-senyum gak jelas."

Tidak Ibunya tidak adik cowoknya, dua orang itu sama saja. Yuki menanggapi dengan senyum aneh kemudian meletakkan sepatu yang baru dia lepas di dalam rak. Setelahnya, Yuki mengikuti perempuan cantik berdarah Jepang yang sudah melangkah duluan ke dapur. "Mama lagi buat apa?"

"Dijawab dulu dong, tadi senyum-senyum kenapa?"

"Nggak kenapa-napa kok."

"Terus yang ngantarin pulang tadi siapa?"

"Teman sekolah."

"MA! REMOT TV MANA?" Namanya Akio Sanae, usia empat belas tahun dan sedang dalam masa pertumbuhan. Yuki sebenarnya sangat dekat dengan adiknya itu, tapi Akio terkadang bisa sangat berisik. "MA!?"

"Kenapa Dek?"

"REMOT TV MANA?"

"Di meja." Ampun deh.

"Bukannya Kiki harusnya ada les?"

"Libur katanya." Yuki manggut-manggut menanggapi. "Eh, dilanjut lagi dong yang tadi sayang?"

"Apanya?"

"Itu, si pacar dong."

"Mama ih, dia cuma teman bukan pacarnya Yuki."

"MAMA!"

"Apa Dek??" Tampaknya sudut siku-siku mulai muncul di kepala Ibunya, Yuki meringis.

"REMOTNYA NGGAK ADA!"

"Ada! Cari yang benar!" Akio sangat mengganggu suasana. "Terus-terus, dia anaknya ganteng nggak?"

"Jelek, mirip pantat panci."

"Mama nanya serius, Yuki."

"Yuki juga serius."

"MA! REMOTNYA NGGAK ADA BENERAN!"

Tidak ada lagi kesabaran, Ibunya jengkel bukan main. "Kalau sampai Mama yang nyari terus ketemu, kamu minta diapain Dek?"

Baiklah, Yuki tidak mau ikut campur setelah ini. Drama yang terjadi, Ibunya dengan mudah menemukan benda yang dicari Akio. Sudah begitu mereka berdua akan adu mulut hingga remaja tanggung itu hanya bisa meratapi nasib ngenesnya yang selalu salah di mata si Ibu. Jadi cowok sih, makanya mau tidak mau harus merasakan ribetnya cewek. Yuki kembali tersenyum, berlalu menuju ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua. Kalau dipikir-pikir, menerima bimbel yang diberikan Stefan sama sekali tidak ada ruginya. Mereka bisa lebih berlama-lama menghabiskan waktu bersama, dan Yuki tidak akan pernah bosan mengerjai Stefan sampai kapan pun.

Ah, Yuki jadi ingat tadi.

Stefan keceplosan bercerita jika dia tidak memiliki akun social media Instagram, kolot sekali. Alhasil, Yuki tidak berhenti mengejek hingga cowok itu membuat akun Instagram saat itu juga.

Nurut dong.

Lebih menyenangkan lagi Yuki mengetahui email dan kata sandi akun Stefan, pesta besar nanti.

"Tuh kan, lo benar-benar jadi bucin deh kayaknya? Dari tadi senyum-senyum gak jelas." Akio lagi, dengan tampang polosnya dia berdiri di pintu kamar yang terbuka. "Jatuh cinta boleh, jadi bucin jangan."

"APA SIH LO BOCAH?!"













To be continue...

26 Juni 2019

Annoying VibesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang