Titik Lemah

160 6 0
                                    

Setelah beberapa hari, akhirnya Musda mendapatkan kesempatan untuk bicara dengan Kara. Di jam istirahat itu, Kara masih terlihat malas beraktivitas.

"Kemarin kamu kemana aja sih?" Tanya Musda.

"Setelah ulangan aku ke UKS, aku langsung ke UKS tidur."

"Emang kamu kenapa sih, selesai ulangan langsung hilang. Padahal banyak loh yang mau aku bicarakan sama kamu. Kak Anggar, juga khawatir sama kamu."

Tidak banyak basa-basi, Kara menyandarkan kepalanya di meja. Tidak sadar, Kara menjatuhkan air matanya.

"Aku cape . . . ." Keluh Kara.

Kara merasakan seseorang mengelus kepalanya. Semakin lama, Kara semakin banyak menjatuhkan air matanya. Usapan di kepalanya membuat Kara semakin cengeng.

"Aku takut mama kenapa-napa, aku nggak punya siapa-siapa lagi selain mama. Bagaimana dengan Alia, bagaimana aku bisa mengurus dia. Aku benar-benar takut ada apa-apa sama mama."

"Sini." Pinta orang yang mengelus kepala Kara.

Setelah sempurna bersandar pada orang tersebut, Kara mendengar suara Anggar.

"Kamu kenapa?"

"Mama masuk rumah sakit."

"Terus kenapa kamu ada di sini? Bukannya merawat mama." Tanya Anggar lagi.

"Kemarin mama minta aku pulang. Aku nggak mau pulang, tapi kalau aku terus di sana, mama mengancam akan keluar dari rumah sakit."

"Ya udah kamu sabar aja, mungkin mama kamu baik-baik aja, hanya saja dia tidak mau kamu khawatir."

Kara menyadari suara itu bukan Musda, tapi suara Ayu. Kara langsung menghapus air matanya.

"Bagaimana dengan Alia?"

"Mama bilang setelah keluar dari rumah sakit, dia akan pulang sama Alia. Tapi sebelum itu, ada banyak yang harus aku lakukan untuk mama dan Alia, sebelum mereka pulang ke sini."

"Kamu anak sulung?" Tanya Ayu.

"Dia itu bocah kecil mamanya. Bungsu dari adiknya sendiri." Anggar mendahului Kara.

"Ingat bocah kecil, aku jadi ingat sama sahabat aku dulu. Dulu dia waktu masih ada dia, aku sama Afkar, berasa anak kecil banget. Padahal aku sama dia sama." Musda tiba-tiba bicara.

Perkataan Musda langsung membuat Afkar menatapnya. Bukan hanya Afkar, tapi Ayu juga turut menatap Musda. Menyadari tatapan untuknya, Musda menutup mulutnya.

"Emang sekarang dia kemana? Kenapa dulu doang dia jadi sahabat kamu?" Tanya Kara.

Musda tersenyum.

"Maaf ya, aku nggak bisa ceritain itu. Dia adiknya Kak Ayu, kita udah sepakat menutup semua pembahasan tentang itu. Tapi aku tiba-tiba keingat aja."

"Kayaknya aku bisa nebak deh."

Kalimat Kara membuat empat orang di hadapannya menatapnya.

"Mungkin nasib sahabat kamu itu malang karena dia jadi adiknya kak Ayu. Nggak beruntung dia punya kakak kayak Kak Ayu."

Ayu berdiri yang diikuti oleh Anggar.

"Apa maksud kamu? Kenapa kamu berfikir aku yang salah? Darimana kamu tau tentang adik aku?"

"Tenang kak, tenang." Kara ikut berdiri menyejajarkan dirinya dengan Ayu.

"Musda pernah cerita tentang sahabat masa kecilnya. Aku fikir mereka sahabat terbaik, tapi kak Ayu? Ada apa kak? Kenapa aku lebih melihat rasa kehilangan itu lebih terlihat dari Musda, daripada kakak. Lebih terlihat dari sahabatnya dan tidak dari kakaknya."

Anggar sudah ingin ikut campur. Anggar tidak mungkin membiarkan Kara bertindak kelewatan apalagi kepada seorang Ayu.

"Kara, ada apa sama kamu?"

"Itu kenyataan yang aku lihat kak."

"Tunggu Anggar, ini bukan tentang ada apa sama Kara. Tapi yang mau aku tau, ada masalah apa yang Kara simpan buat aku."

"Kara jawab aku, ada masalah apa kamu sama aku?" Tanya Ayu sekali lagi.

"Mungkin kak Ayu lupa kalau kita baru bertemu beberapa bulan lalu. Musda yang mempertemukan kita, di kantin ini. Lupa?"

"Aku hanya mendengar tentang cerita lama yang selalu Musda ceritakan. Aku menilai dari sana. Aku yakin Musda tidak akan membohongi aku, dia orang baik yang tidak mungkin sengaja menjelekkan nama kak Ayu. Tapi dia hanya terlalu tulus menceritakan masa lalunya yang malah tidak sengaja menunjukkan kenyataan sama aku."

Sebelum Ayu bicara lagi, bel masuk mendahuluinya.

"Maaf, sepertinya kita tidak perlu melanjutkan pembicaraan ini. Lagian ini sudah masuk jam pelajaran, kita tidak mungkin melanjutkan ini dan berujung pada pertengkaran yang berujung mempermalukan diri kita sendiri. Aku jalan ke kelas dulu." Kara meninggalkan kantin yang perlahan mulai ditinggalkan oleh penghuni lainnya.

Setelah pamit, Musda mengikuti Kara. Afkar berjalan mengikuti mereka dari jarak yang agak jauh. Saat Musda dan Kara masuk ke kelas mereka, Afkar sempat berhenti di depan pintu kelas dua gadis itu. Afkar menatap heran, ada apa dengan kisah yang baru dimulainya.

"Kenapa harus kak Ayu yang kamu temani cek-cok. Kamu sahabat aku, aku dan Musda sepakat tentang itu. Tapi kak Ayu itu kakaknya. Aku bisa melihat jelas bagaiaman dia menganggap aku dan Musda adiknya karena aku sahabat adik kesayangan kak Ayu. Kamu hanya mendengar, tapi aku bersama Musda tanpa kamu, kami tanpa kamu yang mengalami semuanya. Kami mengetahui lebih dari apa yang selama ini kamu dengar."

Afkar memperhatikan dua orang sahabatnya yang berbaring di meja dan saling membelakangi. Tidak ingin ia melihat pemandangan itu berlanjut. Tapi bukan sekarang waktunya, dia harus menunggu momen yang tepat untuk dua orang yang menjadi tokoh kisahnya baik kembali.

Sebelum menjauh, Afkar sempat tersenyum.

"Senyum liat siapa Afkar?" Tegur Syam.

"Ribet kalau perempuan yang ngambek, lama-lama jadi ribut." Afkar memberikan anggukannya ke arah Musda dan Kara yang tidur saling membelakangi.

"Lo beruntung Afkar, berada di antara gadis-gadis yang sempurna seperti mereka. Kadang iri gue liat lo ada di antara mereka."

Afkar tersenyum mendengar pujian Syam. Tanpa berniat bertanya pada Syam.

Saat jam pulang sekolah, Kara sudah memesan taksi online untuk mengantarnya pulang. Sebelum benar-benar meninggalkan sekolah, Kara berpapasan dengan Anggar dan Ayu. Awalnya Kara mengabaikan keduanya. Untuk kejadian di kantin, harusnya Ayu memang marah. Tapi malah justru Kara yang marah tidak jelas pada Ayu.

"Kara tunggu . . . ." Teriak Anggar.

Kara hanya menatap keduanya lalu berlalu meninggalkan mereka. Dari kejauhan Afkar memperhatikan mereka.

"Kenapa harus kak Ayu sih Kar, dia kakakku. Aku tidak mungkin membela kamu, tapi aku juga tidak bisa membela kak Ayu di antara kalian."

Saat memperhatikan mereka, Musda datang menepuk bahu Afkar.

"Kara sudah menggantikan Nia ya Afkar."

Afkar berbalik, Musda sepertinya tidak salah memilih Kara.

"Nia tidak akan terganti, tapi Kara seakan mengisi semua kehilangan kita selama ini."

"Kara juga mengisi tempat yang sudah lama kamu simpan untuk Nia, iya kan Afkar."

"Kamu salah, Kara memang mengembalikan semua yang hilang dari kita. Tapi kamu salah kalau berfikir aku suka sama Kara. Dia mengembalikan kehilangan aku terhadap Nia, tapi Kara sama sekali tidak bisa menggantikan Nia."

"Jadi dugaan aku benar kalau sejak dulu, dari sejak kita masih kecil kamu sudah suka sama Nia. Sampai kamu yang merasa paling kehilangan dia."

Kalimat Musda dicerna baik-baik oleh Afkar. Mungkin benar kalau Afkar yang paling kehilangan Nia. Tapi tentang perasaan Afkar, bahkan dirinya sendiri pun tidak bisa mengartikan rasanya sendiri.

* * *

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang