Part 38 | Membantu

91 17 0
                                    

"Jangan bicara apapun soal Eve tentang ini," ucap Rose setelah mereka berada lumayan jauh dari posisi Eve dan yang lainnya. Dia sengaja, dia tidak ingin Eve mendengar ataupun bagaimana jika melihatnya.

"Tentang apa?" tanya Diven.

Rose berbalik dan beralih menatap Diven yang kala itu tampaknya sangat bingung.

"Soal kita," ucapnya lagi.

"Memang nya apa yang tidak ia ketahui?" Diven semakin penasaran, sejak awal, dia memang tidak banyak bicara pada Eve. Karena dia juga tidak ingin membicarakan hal itu. Itu sama saja seperti basa-basi baginya.

"Soal berasal dari mana kita, dan apa sebenarnya kita." jawab Rose yang langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain. Matanya sedikit berbinar jika mengingat bagaimana akhir dari semuanya. Terutama pada reaksi Eve nantinya.

"Kenapa kau tidak memberitahunya?" tanya Diven lagi, seakan memancing seluruh jawaban dari mulut Rose.

Dia menggeleng, tatapannya masih menuju ke arah lain, "Akan sulit untuk dia mengerti, dan kekuatannya.. Dia pasti akan berubah pikiran," ucapnya.

Diven terdiam sejenak, mencoba menganalisis keadaan. Terutama sejak tadi yang membuat dia penasaran adalah tentang kekuatan Eve. Kekuatan apa sebenarnya?

"Jadi kau melakukan semua ini hanya karena kekuatan nya yang sama sekali tak kau mengerti?" tanya Diven, sontak membuat Rose menatap sinis serta tidak mengerti.

"Tidak. Hanya Eve yang bisa menghentikannya. Kita bisa kembali hanya jika Eve bisa mengendalikan kekuatannya." jawab Rose dengan tegas.

"Ku pikir dia sudah menemukan kekuatannya," ucap Diven.

Sebelum Rose menjawab, terdengar suara reruntuhan dari balik sana. Membuat Rose dan Diven cepat-cepat untuk kembali agar tidak terpisah dari sahabat lainnya.

"Suara apa itu?" tanya Kevin yang sama-sama terkejut. Rose dan Diven tampak berlari dari kejauhan. Membuat Ryan dan lainnya yang berada di sana menatapnya dengan tidak mengerti.

"Kita harus lari!" teriak Rose.

Langsung saja Ryan menyuruh yang lainnya lari. Eve tampaknya masih bingung. Belum lagi dia sangat penasaran tentang apa yang di bicarakan Rose dan Diven.

"Ayo!" teriak Ryan seraya menarik lengan Eve dengan paksa. Secara, gadis itu sejak tadi hanya diam saja. Dia tau, Eve sangat penasaran tentang pembicaraan Rose dan Diven. Tapi ini bukan saat nya untuk membicarakan hal itu.

Mereka berlari menjauh, posisi mereka yang bisa di bilang berada di atas, harus membuat mereka berhati-hati ketika hendak menuruninya.

Dari atas sana, sepertinya Ryan bisa melihat gunung itu. Gunung yang akan membuat mereka mendatanginya. Disana lah mereka bisa aman dari serangan yang datang tiba-tiba seperti ini. Tapi sayang, tidak boleh ada kekuatan apapun disana. Bahkan teleportasi sekalipun. Oleh karena itu Rose tidak bisa menggunakannya.

"Cepat! Kita akan menuju ke sana saja!" teriak Ryan yang mengarahkan pada gunung itu.

Saat itu Rose sudah berada di belakangnya. Dan langsung membantah perintah Ryan itu.

"Tidak bisa, Ayahnya Diven pasti akan mengetahui keberadaan gunung itu," ucap Rose membuat Diven mengerutkan keningnya sesaat karena kata -Ayahnya yang dikatakan Rose tadi.

Mereka berhenti sejenak. Dirasa tidak ada tanda-tanda dari suara itu yang sepertinya sejak tadi mengejar mereka tak henti-henti.

Sesaat, suara reruntuhan kembali terdengar. Saat itu Eve menatap kebelakang, tepatnya ke arah Diven. Sepertinya gadis itu sangat penasaran, tapi entah kenapa dia tidak menanyakan pada Diven.

Getaran terasa di bawah kaki mereka. Tak sampai beberapa menit, tiba-tiba tanah yang mereka injak hancur begitu saja. Posisi mereka masih berada di sisi gunung. Sehingga jika di lihat dari kejauhan, maka terlihat sebagian gunung itu yang hancur.

Mereka berteriak tat kala mereka semua terjatuh, Eve masih menatap Diven. Dengan pasrah, dia tidak tau apa yang akan terjadi nanti. Dia terjatuh, dan mungkin ini akhirnya. Perasaan Eve mulai kacau. Terlihat sedikit genangan di matanya. Entah dia sedih karena dia terjatuh atau ini akhir baginya, atau karena Diven?

Eve memejamkan matanya, dia tidak bisa melihat degan jelas tentang apa yang tengah terjadi. Dia mengapung di atas reruntuhan tanah dengan posisi terjatuh.

Tak lama, Es membentang di bawah mereka, membuat semua nya terjatuh ke hamparan Es itu.

"Ark..," suara itulah yang kini terdengar dari beberapa mulut. Mereka merintih kesakitan, walau tak seberapa jika di bayangkan dengan di bawah sana.

Eve tampaknya terjatuh dengan posisi pingsan. Rose langsung menghampirinya. Diven yang berada di sisinya hanya menatap tidak mengerti pada apa yang terjadi dengan gadis itu.

"Eve..," Rose mencoba untuk membantu Eve terbangun. Ia masih tampak seperti sadar tidak sadar.

"Kita hampir sampai. Apa kita bisa sampai ke gunung itu?" tanya Kevin saat sejak tadi dia menatap gunung itu.

Diven menatap bingung, gunung apa yang mereka maksud? Dia sama sekali tidak melihatnya.

"Gunung apa?" tanya Diven setelahnya.

Ryan menatap Diven, tampaknya laki-laki itu tidak bisa melihatnya. Mungkin karena dia tidak memiliki kertas itu.

Apa seperti itu? Jika Diven tidak memiliki kertas itu dan dia tidak bisa melihat gunung itu. Maka, bagaimana dengan Ayahnya?

"Kau tidak bisa melihatnya?" tanya Emelie terkejut.

Diven hanya menggeleng.

Ryan menatap Emelie sesaat, seperti memberi sebuah tanda yang langsung di mengerti oleh Emelie.

Eve saat itu berhasil terduduk, Rose masih di dekatnya untuk membantu. Sambil mengkondisikan keadaannya, dia juga sejak tadi mendengar apa yang dikatakan Ryan pada Diven.

"Apa kalian akan ke gunung gitu?" tanya Diven.

"Tentu saja. Memang itu tujuan kami," jawab Kevin.

Diven tampaknya tengah berpikir setelah tadi tidak sengaja dia menatap Ryan yang juga sama menatapnya. Namun tatapan Ryan seperti ada salah satu alasan tersembunyi yang tersimpan.

Diven menggerakkan tangan nya, dia kembali membuat benteng. Namun kali ini lebih besar dari perkiraan. Tidak lupa dia juga membuat sebuah jalan untuk mereka turun. Lebih mirip seperti seluncuran memang.

"Kalian pergi saja, aku akan mengurus semua yang ada disini," ucap Diven, membuat semuanya terkejut.

"Diven..?" Eve juga sama terkejutnya, dia tidak menyangka Diven akan melakukan sejauh ini. Padahal dia baru saja kenal. Walapun dia sahabat kecil Ryan. Tapi, tidak bisa menjadi alasan jika Diven berniat melakukan hal itu.

"Cepatlah!" ucapnya lagi saat suara reruntuhan itu kembali terdengar.

Mereka semua langsung menuju ke bawah melewati seluncuran yang di buat Diven. Eve berjalan di akhir, namun dia masih menatap Diven tidak percaya.

"Thanks," ucap Eve untuk terakhir kalinya. Dia tidak tau apakah dia masih bisa bertemu Diven atau tidak setelah ini. Yang pasti, menurutnya, Diven adalah orang terbaik yang pernah ia temui. Bukan hanya baik, namun dia memiliki sisi yang unik juga.

Eve menatap Diven sekilas, sampai akhirnya dia turun untuk menyusul sahabat lainnya. Diven hanya diam, setelah Eve tidak terlihat lagi di depannya. Dia hanya tersenyum tipis.

AIR BLAZE [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang