Prolog

407 96 85
                                    

     YUKI     

Apa kamu pernah bermimpi ada di suatu hutan terpencil di dalam kegelapan?

Sunyi. Hingga hembusan angin takut untuk berbisik pada celah pepohonan yang mengurungmu dari dunia luar.

Gelap. Sampai bayanganmu sendiri enggan menemani.

Aku pernah ada di sana. Dan sepertinya aku tidak bermimpi. Aku benar-benar ada di sana. Di tempat yang tidak tersentuh oleh orang lain.

Jiwaku sudah terjebak di dalam kegelapan selama bertahun-tahun, jauh sebelum peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang menimpaku pada pukul 15.30 di pertengahan bulan Juli.

Sore itu aku duduk bersebelahan dengan Bimo, pacarku. Kami berdua sama-sama menyaksikan dua orang satpam sekolah yang sedang marah besar. Mereka berjalan mondar-mandir sambil menunjuk wajah kami berkali-kali.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku tidak terlalu ingat.

"Kamu nggak malu?" tanya salah satu satpam sambil melotot ke arahku dan Bimo bergantian. Kedua bola matanya sangat besar dan menyeramkan.

Hal itu tidak membuatku takut sama sekali. Namun, pertanyaannya tadi berhasil mengirimku kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Ketika ada banyak pasang mata yang mengelilingi dan menatapku sinis.

Aku ingat tatapan siapa saja itu. Mereka adalah anak-anak cewek dari kelasku, yang—entah apa penyebabnya—rela menghabiskan waktu untuk mengganggu anak baru sepertiku di sekolah. 

"Kamu nggak malu?" tanya Rita sambil menggebrak meja. "Masa kamu suka sama Yusuf?" Senyumnya terlihat manis, sekaligus menyakitkan.

Aku mengangkat wajah dan membalas tatapannya. "Aku nggak pernah bilang kalo aku suka sama Yusuf," tepisku dengan tegas.

"Terus, kenapa kamu jahat sama Siti? Mau sok jagoan?"

Jahat? Aku yang jahat?

"Bukannya kalian yang mulai, ya?" Aku meremas salah satu kertas di buku, melampiaskan rasa sakit yang mulai menghujam jantungku. "Aku cuma ikut-ikutan nanya kalo Siti suka sama Yusuf atau enggak. Kenapa jadi aku yang salah?!" bentakku.

Rita membalasnya dengan tawa, membuat anak cewek lain otomatis ikut menertawakanku.

Aku benar-benar marah. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Ini bukan kali pertama mereka memperlakukanku secara tidak adil. Sejak awal aku datang di semester dua sebagai anak baru, mereka sudah berperilaku jahat padaku. Dan perlakuan jahat mereka tidak akan berhenti, kecuali ada anak baru lain yang menggantikan posisiku sebagai si target bully.

Sewaktu Siti datang ke sekolah kami, secara ajaib Rita langsung merangkul dan mengajakku main bersama. Tapi setiap kali ikut-ikutan mengganggu Siti, orang pertama yang akan disalahkan adalah aku.

"Heh, Ki. Kok malah bengong? Kamu dengerin nggak, sih?"

"Neng, dengerin nggak?"

"Ki..." suara Bimo berhasil membuyarkan lamunanku.

Aku mengerjap, kemudian satpam itu melanjutkan perkataannya. "Kalian mau dilaporkan ke wali kelas, atau kita bicarakan baik-baik saja dengan orang tua kalian?"

Aku menoleh pada Bimo, dia pun langsung menjawab semua pertanyaan yang terus diajukan dua satpam tersebut. Jika sebelumnya aku masih mau menjawab beberapa pertanyaan sederhana, sekarang aku memilih untuk diam dan mengembalikan pikiranku pada kegelapan lalu mengunci diri di dalamnya.

Kenangan pahit dari sepuluh tahun silam yang baru saja terlintas benar-benar menggangguku. Aku merasa sakit. Aku berdarah. Aku tidak mengerti kenapa kenangan itu akan semakin sering muncul disaat aku coba membuangnya jauh-jauh. 

Dan, sekali lagi, aku tidak terlalu ingat apa yang sebenarnya terjadi pada pertengahan Juli.

Atau mungkin, aku berusaha untuk tidak mengingatnya.

Yang aku ingat dari hari itu cuma satu; aku tidak bersalah.

Haru BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang