5: Willy dan Permainannya

180 50 22
                                    


YUKI

CELLO, Willy, Cindy, Via, Rendi, dan aku kali ini sedang duduk bersila mengitari Rio, yang tengah memandangi layar ponselnya. Ngomong-ngomong, aku cuma ikut-ikutan saja, bahkan enggak paham apa yang sebenarnya terjadi. Willy bilang, sih, ini sangat penting. Maka dari itu, Rio harus menunda sejenak latihannya denganku untuk membicarakan hal ini terlebih dahulu.

"Nggak usah dempet-dempet bisa, kan?" Rio menyikut Cello dan Willy yang saling berdesakkan di sampingnya.

Aku mengintip sekilas ke layar ponsel Rio yang kini jadi bahan tontonan. Sebuah pesan BBM dari Putri Maharani tertulis di sana. Pesan tersebut berbunyi, "Kak Rio, besok latihan bareng Kak Yuki, kan? Aku nonton, ya. Sekalian liat Inversion latihan". Menurut Rendi, Putri cuma gabut, makanya setiap Inversion latihan di sekolah, dia ada di sana. Maklum, terkadang rapat OSIS diadakan jam dua siang dan enggak akan langsung dimulai. Jadi Putri memilih mengisi waktunya dengan menonton Inversion latihan.

Cello tentu enggak setuju dengan pendapat Rendi. "Gue yakin si Putri itu caper sama Rio. Setuju 'kan, Le?"

Leo mengangkat bahu. "Itu waktu gue belum tau kalo Putri udah sering nonton Inversion latihan," jawabnya santai, dan dibalas oleh dengusan Cello.

"Masa iya, cuma gabut doang?" tanya Via. "Ini udah terlalu sering, lho. Rapat OSIS aja enggak digelar setiap hari."

Cindy menatap Via seolah melihat sesuatu yang mencurigakan. "Setuju. Gue masih sependapat sama omongan Leo kemaren. Soalnya gini, loh, si Putri keliatan salting waktu itu."

Aku mengangguk. "Mungkin bener, emang ada yang Putri suka. Cuma gue rasa orangnya bukan Rio, tapi Rendi."

Rendi terbatuk mendengar ucapanku yang tiba-tiba. "Demi apa pun, Ki. Jangan bercanda," tampiknya.

"Ini nggak bercanda. Gue udah sering lihat dia senyum-senyum sendiri kalo lagi sama elo," ujarku dengan penuh keyakinan. Karena sejauh ini, yang aku lihat memang seperti itu, Putri selalu tersenyum lebar setiap kali melihat Rendi dan akan terdengar bersemangat saat bersamanya.

"Oke," Rio menyingkirkan ponselnya dari tatapan kami. "Berarti yang Putri suka bukan gue. Jadi, kalo besok Putri datang buat nonton latihan, jangan ledek gue sama Putri."

"Tapi," Willy akhirnya membuka suara. "Kita nggak akan tau siapa yang Putri suka, kalo kita nggak coba cari tau sendiri."

Semua sepakat dengan Willy, kecuali Rio dan aku. Karena dari awal aku memang enggak mau ikut-ikutan.

"Sebenernya, mau kalian apa, sih?" tanya Rio heran. Alis kirinya terangkat. "Ini, tuh, bukan hal penting, dan nggak perlu dianggap serius."

Semuanya menatap Rio, kemudian sama-sama menghela napas.

"Rio, sahabat gue yang kasep (ganteng)," ujar Cello, dia memasang ekspresi prihatin. "Alasannya sederhana, kita cuma mau elo ketemu sama pujaan hati lo. Emangnya nggak capek jadi jomblo terus?"

Kini kedua alis Rio tertaut. "Nggak," jawabnya singkat, membuat yang lain ber-yah-ria.

"Fine, let me handle this." Sepertinya kesabaran Willy sudah mulai habis. Dia menepuk pundak Rio dan memasang wajah serius. "Buat sekali aja, Yo, gue minta lo ajak Putri pulang bareng besok. Kalo dia mau, berarti ada sinyal buat lo."

"Kalo Putri nggak mau?" tanya Cindy.

"Berarti dugaan kita salah." Willy menatap kami satu persatu, lalu tatapannya berhenti tepat pada kedua mataku. "Bisa jadi apa yang Yuki bilang itu bener. Jadi, besok Rio harus ajak Putri pulang di depan Rendi."

Haru BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang