7: Danvers Fun Fest

109 30 15
                                    


Orang Ke 3 - Hivi

YUKI

BESOKNYA, aku berangkat ke sekolah lebih awal untuk membantu di stan bazar. Sekarang masih pukul setengah tujuh pagi, namun seluruh stan di lapangan telah disiapkan oleh siswa kelas 12 serta para sponsor. Pendopo yang biasanya kosong pada pagi hari pun terhias rapi dan semua anak kelas 10 mendadak menjadi pengusaha restoran Betawi di sana. Sementara kelas 11 yang bertugas menggelar pertunjukkan rumah hantu juga mulai memenuhi aula.

Di stan 12 IPA 1 kini hanya ada aku dan seorang penanggung jawab konsumsi, yang  masih dijabat oleh orang yang sama seperti tahun lalu, yaitu Ina atau lebih akrab disapa Kanjeng Mami—kami memanggilnya seperti itu bukan karena tubuhnya yang gempal, melainkan karena sifatnya yang memang sudah seperti ibunya IPA 1. Nah, perlu kalian ketahui juga, kalau kedua tangan Ina mampu menciptakan mahakarya yang luar biasa lezat. Setiap menu makanan dan minuman yang Ina buat selalu membuat semua orang ketagihan. Itulah alasan mengapa kami selalu menobatkannya sebagai penanggung jawab konsumsi.

"Cappucino Cincau?" tanya Leo saat menghampiri stan kami. Kedua matanya terlihat sangat lelah dan terdapat lingkaran hitam muncul di sana. "Nggak ada kopi?"

Ina berkacak pinggang. "Nggak usah cari yang nggak ada di sini."

"Gue ngantuk, Mam."

"So, what?"

Leo tersenyum manis. "Enaknya, sih, pagi-pagi begini ada yang seduh kopi buat gue."

"Bukannya gue pelit, Leo. Tapi kita emang nggak jual kopi."

"Nggak jual atau nggak mau bikin buat gue?" tuduh Leo dengan enteng.

Ina melotot.

"Ssst, udah," ujarku, melerai keduanya. "Kalo mau kopi, biar gue beli di warung Bang Komet aja sini." Aku menjulurkan tangan pada Leo, meminta uang darinya.

"Nggak pa-pa, Ki?" sang ketua OSIS menatap kedua mataku.

"Nggak pa-pa, kok. Gue juga sekalian mau pinjam pompa galon punya Bang Komet."

Leo kembali tersenyum. "Kalau gitu, gue ikut."

Aku hanya mengangguk setuju. Dan ketika kami berdua mulai melangkah, Cello tiba-tiba datang mengendarai motornya melewati kami.

"PAKEEEEET!" serunya sambil berhenti mendadak tepat di depan stan.

Sedangkan Cindy yang duduk di belakang mengomel, "Ya Tuhan! Bisa pelan-pelan nggak, sih, Cell?!"

Cello membalas omelan pacarnya dengan tawa, lalu melambai pada Leo. "Heh, balehom! Bantuin dong!"

Leo menghampiri pasangan yang membawa dua buah galon itu. Satu galon diapit oleh kedua kaki Cello, dan satunya lagi dipangku Cindy. "Ciee, kayaknya ada yang begadang di sekolah lagi, nih," ledek Cello. 

Leo merespon perkataan itu dengan senyuman, lalu mengangguk sambil menurunkan galon dari motor satu-persatu. Dasar Cello aneh. Temennya kecapekan begitu, malah dicie-in.

"Lo berdua mau ke mana?" tanya Cello.

"Mau beli kopi," jawab Leo.

"Titip satu, atuh (dong)."

"Beli aja sendiri." Leo berbalik menjauh dengan santai, dibarengi senyuman yang masih setia menghias wajahnya.

"Yuki. Titip, atuh."

"Beli aja sendiri." Aku menyalin ucapan Leo dan menyusul cowok itu dari belakang.

Selama berjalan menuju warung Bang Komet—yang letaknya di seberang sekolah dan di sebelah kedai mie ayam—aku mendapati Leo menguap berkali-kali. Tampaknya dia benar-benar terjaga semalaman. Kalau boleh jujur, ini adalah pertama kali aku melihatnya dalam balutan kaus lengan pendek tipis dan celana training panjang di sekolah. Dan, ya, aku akui, penampilan santai Leo sama sekali enggak melunturkan auranya sebagai seorang ketua OSIS.

Haru BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang