YUKI
Sudah pukul tujuh malam, dan Bimo masih belum juga memberi kabar.
Seingatku kami enggak bertengkar. Semalam pun dia masih bersikap wajar. Sebelum pulang dari rumahku dia hanya berkata, "Sampe rumah aku mau langsung tidur. Ngantuk banget, mau istirahat." Namun paginya, ketika aku bertanya apakah dia bisa mengantarku ke rumah Rendi atau enggak, dia malah menjawab, "Ki, aku tuh capek, lagi nggak enak badan. Emangnya harus banget aku antar? Kamu minta jemput Rendi atau temen yang lain aja, ya. Aku mau istirahat."
Setelah aku beri jawaban iya, Bimo pun menghilang.
"Kenapa? Mikirin Bimo?" Rio datang dengan membawa nomor meja.
"Bisa dibilang begitu," jawabku.
"Oh..." Rio sepertinya enggak tertarik jika aku membahas tentang Bimo. "Maaf, mungkin gue nggak bisa kasih saran apa-apa. Tapi kalo lo mau cerita, silahkan," jelasnya.
Ternyata dugaanku salah. Rio bukan cowok yang enggak peduli terhadap orang lain. Mungkin kalau dilihat dari luar, dia memang cuek dan enggak banyak bicara. Tapi nyatanya, dia juga mempunyai rasa simpati.
Aku jadi merasa bersalah.
"Rio," mulaiku. "Gue mau minta maaf, deh, sama lo."
Dia mengangkat alis kirinya. "Buat apa?"
"Jadi gini..." Aku memberi jeda sejenak, menimbang-nimbang harus dari mana memulainya. "Gue mau minta maaf, karena selama ini gue anggap lo sebagai cowok jutek dan sok keren. Walau sebenernya, bukan sepenuhnya salah gue, sih," dalihku. "Soalnya, lo itu nggak pernah sapa gue. Padahal kita sering papasan dan nongkrong bareng sama yang lain. Tapi lo cuek seakan gue bukan orang yang ada di circle lo."
Rio bergeming. Aku menelan ludah, enggak percaya semua kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Mungkin karena aku sudah memendam semuanya sejak lama. Entah apa yang akan dipikirkannya sekarang, aku hanya bisa menunggu cowok di hadapanku ini bersuara.
"Maaf, Ki," tuturnya halus. "Gue nggak bisa cepet akrab sama orang, terutama sama cewek. Dan selama ini, gue kira lo takut sama gue, jadi, gue nggak pernah berani ajak lo ngomong duluan. Sorry." Dia menatapku dengan fokus. Ada kejujuran di sana.
Yang selama ini dibilang Rendi ternyata benar. Rio itu baik dengan caranya sendiri. Aku sudah berkali-kali mendengar Rendi memuji sahabatnya dengan mengatakan, "Rio itu songong, tapi baik." Atau ketika dia mulai mengomel, "Rio itu sok cool banget, anjay! Yah, tapi emang keren, sih. Dikit." Lalu sesekali Rendi akan membahas tentang bagaimana dia tergerak menjadi anak band. "Kalo bukan karena si Rio, gue nggak akan ada di atas panggung ini," ujarnya.
Sst! Kata Rendi, Rio jangan sampe tahu soal ini.
"Gue emang takut sama lo," ucapku jahil.
"Beneran?" Wajah Rio tiba-tiba terlihat serius.
"Beneran. Soalnya muka lo jutek banget, Yo. Nggak ada ekspresinya," jawabku jujur.
"Ah elah." Kedua alis Rio tertaut. "Gue nggak jutek, cuma, muka gue emang udah lempeng dari lahir."
Aku tergelak melihat wajahnya. Beneran, deh, tadi Rio bilang muka gue emang udah lempeng dari lahir, sambil memasang ekspresi yang super datar. Kok ada, ya, manusia selempeng dia?
"Life aja never flat, Yo. Eh, muka lo malah super flat," ledekku.
"Hah? Apa?" Rio memicingkan mata, berpura-pura enggak mendengar ucapanku.
"Utuk-utuk, ngambek..." Aku berlagak seperti seorang Ibu yang sedang membujuk anak bayinya.
"Geli. Lo nggak jelas banget, asli."
KAMU SEDANG MEMBACA
Haru Biru
Teen Fiction[⚠️ʙᴀꜱᴇᴅ ᴏɴ ᴛʀᴜᴇ ꜱᴛᴏʀʏ & ᴍᴀʏ ᴄᴏɴᴛᴀɪɴ ᴀ ᴅᴇᴘʀᴇꜱꜱɪᴠᴇ ᴀɴᴅ ʙᴜʟʟʏ ꜱᴄᴇɴᴇ !!] Bagi Yuki, semua terasa menakutkan saat berbagai masalah datang bertubi-tubi ke dalam hidupnya. Ketika remaja lain melangkah menuju dunia yang baru, Yuki terpaksa harus kem...