9: Rahasia Untuk Rahasia

64 16 11
                                    

 Secret - Maroon 5

     RIO     

Ini adalah pelajaran hidup. Jangan mengendarai motor dan berlarian di halaman rumah sakit yang luas dengan keadaan perut kosong. Atau lebih baik jangan keluar rumah sama sekali.

Begitu sampai di depan meja resepsionis, orang-orang mulai berkerumun. Dan bukan karena langkahku yang sempoyongan atau napasku yang tersengal-sengal akibat dehidrasi dan kelaparan. Maksudku, beberapa detik yang lalu aku sempat berpikir kalau mereka akan menghampiri dan menyelamatkanku dari dunia yang mendadak terlihat berputar-putar. Tapi ternyata enggak.

Beberapa pengunjung rumah sakit itu berdesakkan untuk mengerumuni seorang cewek yang baru saja pingsan di tengah lobi. Termasuk diriku, yang dengan langkah selamban siput mencoba memecah kerumunan hanya demi mendekati tubuh seseorang yang terduduk lemas di sana.

Ini terasa agak aneh. Karena biasanya aku enggak peduli. Biasanya aku sangat menjauhi kemurunan. Tapi ada hal yang aku kenali dari si cewek yang pingsan, yaitu tas serta celana training-nya.

Demi Tuhan, celana itu bertuliskan SMA Dharma Bakti.

Dan tas itu... milik Yuki.

Ketika kedua tanganku berhasil meraihnya, salah satu wanita yang membantu memegangi tubuh Yuki bertanya, "Kamu kenal dia?"

Aku cepat-cepat mengangguk dan menjawab, "Ini temen saya, Bu. Mamanya salah satu pasien di sini. Kalo boleh tau, dia kenapa tiba-tiba pingsan, ya?"

"Wah, saya juga kurang tau. Dia barusan mendadak jatuh begitu aja. Apa perlu kita panggilkan perawat?"

Aduh, mampus. Aku enggak berpengalaman dengan keadaan darurat seperti ini. Apa yang harus aku lakukan?

"Gini aja, Bu..." Aku berpikir sejenak, mencari cara terbaik untuk menolong Yuki. Antara mengiyakan tawaran dari wanita di hadapanku, atau menghubungi pihak keluarganya terlebih dahulu. "Kita panggil perawat, dan nanti—"

"Ini... ada apa?" Begitu selesai menentukan opsi, Yuki mendadak tersadar. "Kenapa banyak orang?" tanyanya lirih seraya membetulkan posisi tubuh.

"Barusan lo pingsan," jawabku.

Dia menoleh perlahan. "Kenapa lo ada di sini?"

Saat hendak menjelaskan, wanita tadi sudah terlanjur mendahuluiku. "Kamu tiba-tiba pingsan, Mbak. Awalnya, sih, kamu jalan biasa ke lobi sebelum mendadak jatuh. Dan temen kamu ini baru aja datang ke rumah sakit."

"Sebelum lo bangun, kita berniat manggil perawat." Aku menambahkan.

"Tapi..." Yuki tampak masih kebingungan dengan situasinya. "Gue nggak pernah pingsan sebelumnya. Gue ... berapa lama gue nggak sadarkan diri?"

"Berbarengan sama kedatangan temen kamu ke sini," sahut wanita itu.

Aku menepuk pundak Yuki dan dia kembali menoleh. "Mau kita panggil perawat?"

Dia mengedip, kemudian menggeleng dengan cepat. "Nggak usah, gue nggak pa-pa. Makasih banyak," balasnya. "Makasih juga buat semua yang udah nolongin aku."

Aku mengangguk pada semua orang yang mengelilingi kami. "Sekarang nggak ada yang perlu khawatir lagi karena temen saya baik-baik aja."

Wanita tadi membisikkan sesuatu pada Yuki, lalu pergi mengikuti kerumunan. Setelah semuanya meninggalkan kami berdua, mulut Yuki membentuk sebuah senyuman. "Jadi, Rio..." mulainya. "Bisa bantu gue berdiri?"

Aku menggeleng. "Nggak bisa," kataku.

"Kenapa?"

"Kaki gue kesemutan."

Haru BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang