8: Gelap

130 25 14
                                    

"I remember how much it hurt, seeing my mother hurt."

❃❃❃

鱗(うろこ)/Scales-Motohiro Hata

     RIO     

"Lo yakin nggak mau nginep di rumah gue?" tanya Willy dari belakang kemudi. "Nanti Cello nyusul juga kok."

Aku menggeleng. "Gue udah janji sama nyokap."

"Ya udah, okay. Hati-hati kalo gitu."

"Thanks, Will," kataku sambil membuka pintu mobil.

"Sama-sama, Yo. Selamat buat malam ini, ya." Willy menyeringai. "Lo sama Yuki...." Dia sengaja menggantung perkataannya.

"Kenapa?"

"Nggak pa-pa. Kalian berdua keren." Aku enggak tahu apa yang sedang dipikirkan otak licik miliknya itu. Dan aku enggak peduli. "Le, pindah depan dong."

Leo pun keluar, menutup pintu mobil di belakangnya dan tersenyum padaku. "Jangan lupa bawa oleh-oleh, oke?" ucapnya seraya pindah ke kursi depan.

"Oleh-olehnya buat lo atau sekalian buat Lea juga?"

Leo tergelak. "Nggak usah, Yo. Abang gue bisa kasih dia oleh-oleh yang lebih mahal."

"Kayaknya dia juga lebih suka pulang naik taksi mewah daripada ikut bareng kita."

"Gue tau kok mobil gue emang nggak mewah," sahut Willy, membuat kami berdua menertawakannya.

Setelah aku menutup pintu untuk Leo, mobil Willy mulai melaju. Dan aku melangkah masuk ke dalam rumah saat mobil itu sudah menghilang di kegelapan malam.

Sesampainya di ruang tengah, aku mengucap salam. Ayah dan Ibu sedang duduk berdampingan di sofa seperti biasa. Dengan tangan kiri Ayah merangkul pundak Ibu, sementara Ibu bersandar di dadanya.

"Gimana lombanya? Lancar, kan?" tanya Ayah seusai menjawab salam.

"Lancar kok." Aku berjalan mendekat dan salim pada Ayah dan Ibu. "Kenapa belum tidur?"

Ibu tersenyum. "Ini mau tidur, Mas. Tapi kamu harus cerita tentang hari ini dulu sama Ibu."

Melalui gesturnya, Ayah memintaku untuk duduk diantara mereka dan aku menurut. Tubuhku yang kelelahan aku sandarkan di sofa selepas Ayah dan Ibu memberikan ruang. Rasanya sangat hangat, berada sedekat ini dengan mereka. Hanya aku, Ayah, dan Ibu.

"Coba cerita dari awal," pinta Ayah.

Pelan-pelan, aku menghela napas kemudian bercerita, "Awalnya gugup, pasti. Karena ini pertama kalinya aku tampil dan malah dapat nomor urut terakhir. Aku juga nggak tau kenapa bisa dapat giliran terakhir, mungkin karena pasangan duetku itu vokalis terkenal di sekolah. Tapi... tadi justru Yuki yang paling kelihatan gugup di atas panggung."

"Oh, gitu," Ibu bergumam.

"Kenapa?" tanyaku.

"Nggak pa-pa, lanjut aja," sahut Ayah.

"Waktu Yuki gugup, aku coba meyakinkan dia supaya percaya diri. Terus, ya udah, semuanya lancar," ujarku.

"Mas," panggil Ayah santai. "Yuki itu rambutnya panjang atau pendek?"

"Panjang, Yah," kataku. Aku jadi tersadar bahwa pertanyaan Ayah agak sedikit janggal. Namun ketika aku melirik kedua orang tuaku bergantian, Ibu mengangkat bahu dan berbisik di dekat telingaku.

Haru BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang