♪ Al Green - How Can You Mend a Broken Heart
YUKI
MAKAN bersama keluarga harusnya menjadi momen favorit bagiku. Kalau saja Mama dan Yuri-adikku-enggak saling mengomel, mungkin waktu sarapan pagi ini akan terasa lebih nyaman. Tanpa ada suara pintu terbanting atau suara teriakan tentunya.
"Makannya sedikit banget, emang udah kenyang?" tanya Mama saat melihat Yuri membalik sendok dan garpunya di atas piring.
"Ini tuh udah siang, nanti aku terlambat berangkat ke sekolah." Yuri beranjak dari meja makan dengan wajah yang ditekuk.
"Nggak usah cemberut begitu, bisa? Emangnya kalo kamu terlambat ke sekolah, itu salah Mama?!"
Yuri semakin cemberut. "Mama 'kan nggak bangunin Yuri!" bentaknya sambil pergi begitu saja.
"Nggak bangunin?" Mama ikut beranjak, lalu mengambil piring kotor yang Yuri tinggalkan di atas meja makan. "Udah Mama bangunin berkali-kali, tapi Yuri sendiri yang nggak bangun. Kamu anggap Mama apa, sih? Radio butut?"
Radio butut.
Aku mendengar Yuri membanting pintu depan cukup keras.
"Kok sepatu aku nggak ada, sih?!" Kali ini dia berseru dari luar rumah. "Kemarin aku simpen di rak sepatu!"
Enggak lama setelahnya, Mama pergi keluar sambil menjinjing sepasang sepatu hitam. Masih dengan wajah penuh amarah, Mama menghampiri adikku dan menaruh sepasang sepatu itu tepat di hadapannya.
"Nih, kemarin habis kamu lap. Terus kamu simpen gitu aja di dapur, bukan di rak sepatu." Mama mengatakannya dengan cukup keras.
Karena Yuri enggak merespon, Mama pun kembali ke dapur. Aku hanya bisa menghela napas dan berjalan menuju wastafel.
"Mah! Ikut berangkat bareng nggak?" Papa buru-buru menghampiri Mama, membawa dasi di tangan kanannya.
Mama langsung memasangkan dasi di leher Papa dan menggeleng. "Nggak usah, Mama belum selesai masak," jawabnya, masih terlihat kesal. "Liat Yuri. Dia yang bangunnya kesiangan, malah dia yang marah-marah. Adeknya Teteh, tuh." Mama menatapku.
"Kalo gitu Papa berangkat duluan, takut Yuri tambah ngambek." ujar Papa setelah merapikan tas.
"Oh iya, Ma, Pa," panggilku tiba-tiba. "Nanti sore aku izin nggak masuk les, ya? Aku ada latihan buat besok, jadi nggak akan keburu."
Papa yang sudah menggendong tas pun kini saling bertukar pandangan dengan Mama. "Ya, nggak pa-pa, sih. Nanti Papa coba hubungi Bu Emi, deh, buat tanya pergantian jadwal."
"Nggak usah, jangan." Aku menyelak perkataan Papa. "Aku bisa hubungi Bu Nancy langsung kok, jadi nggak perlu melibatkan Bu Emi lagi, oke?"
Papa mengangguk, lalu berbalik.
"Tapi jangan sering izin," ucap Mama dari balik pintu kulkas. "Teteh harus jaga perasaannya Papa. Jangan sampe bikin Papa jadi nggak enak, karena guru-guru di sana itu kenal sama Papa."
Aku membisu sejenak. Mama sudah mengatakannya padaku kira-kira seribu kali.
"Kalo aku harus jaga perasaan Papa, terus yang jaga perasaanku siapa?" lirihku akhirnya. "Kalian aja nggak pernah tau 'kan, aku sebenarnya suka belajar piano di sana atau nggak."
Mama menutup pintu kulkas dan menoleh ke arahku. "Kenapa, Teh?" tanyanya. "Kamu ngomongnya kurang jelas, Mama nggak denger."
Pada saat yang bersamaan, Papa berteriak dari luar rumah. "Teteh! Bimo udah jemput, nih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Haru Biru
Teen Fiction[⚠️ʙᴀꜱᴇᴅ ᴏɴ ᴛʀᴜᴇ ꜱᴛᴏʀʏ & ᴍᴀʏ ᴄᴏɴᴛᴀɪɴ ᴀ ᴅᴇᴘʀᴇꜱꜱɪᴠᴇ ᴀɴᴅ ʙᴜʟʟʏ ꜱᴄᴇɴᴇ !!] Bagi Yuki, semua terasa menakutkan saat berbagai masalah datang bertubi-tubi ke dalam hidupnya. Ketika remaja lain melangkah menuju dunia yang baru, Yuki terpaksa harus kem...