3: Rio dan Yuki

207 72 62
                                    

RIO

MALAM sabtu starter pack:

1. Laptop (baterai harus terisi penuh)

2. Earphone

3. Kantong berisi makanan ringan

Aku menatap ketiga benda di hadapanku seraya menghela napas. Malam sabtu kali ini akan berbeda dari sebelumnya. Sebab aku terpaksa meninggalkan laptop dan earphone di tempat tidur, mengabaikan makanan ringan yang aku beli tadi siang di warung depan sekolah, serta menunda jadwal menontonku.

Sungguh hari yang aneh. Siapa sangka aku mau melakukan semua ini demi lomba Danvers Fun Fest? Biasanya aku enggak peduli dan memilih berdiam diri di kamar. Tapi sekarang, aku mesti keluar malam-malam dan latihan band di studio yang sama sekali asing untukku.

Asli, ini bukan gue banget.

"Mas, ada Leo di depan." Ibu tiba-tiba masuk ke dalam kamar dengan beberapa tumpuk baju di tangannya. "Mau ke mana, sih? Tumben kamu keluar malam-malam."

Aku berbalik sembari mengenakan jaket. "Mau ke studio, Bu. Ada latihan band," jawabku.

"Latihan band?" Ibu menaruh tumpukkan bajuku di atas kasur. "Biasanya abis maghrib kamu langsung masuk kamar, terus nonton Naruto. Kok sekarang tiba-tiba jadi anak band?"

Aku tersenyum. "Aku nggak nonton Naruto, Bu. Aku nonton yang lain."

"Tapi, Ibu taunya kartun Jepang, tuh, Naruto doang."

"Iya juga, ya." Aku tertawa melihat ekspresi Ibu yang lucu. "Ini latihan buat lomba tanggal 31 doang kok, Bu. Aku mau ikut lomba akustik buat jadi pengganti Cello sama Willy."

Ibu mengangguk dan merapikan jaketku. "Hati-hati di jalan. Jangan sampe pulang terlalu malam," jawabnya sambil menatapku teduh.

"Siap, Bu!" Aku memberi hormat padanya. "Kalau gitu aku berangkat dulu, ya."

Aku salim pada Ibu, sementara Ibu masih berdiri di tempatnya. Aku merasa malam ini Ibu sedikit berbeda. Seperti sedang memikirkan sesuatu, tapi Ibu mencoba menutupinya dariku.

"Oh, iya, Mas." Suara Ibu tiba-tiba mengurungkan niatku untuk melangkah. "Tanggal 1 September nanti, Ayah sama Ibu mau datang ke acara reuni SMA-nya Ayah. Kamu ikut, ya, temenin Ibu."

Aku mengangguk. "Insya Allah, Bu."

Ibu tersenyum. "Ya udah, kamu berangkat sekarang, kasian Leo udah nunggu."

Seusai kembali berpamitan, aku bergegas menemui Leo dan berangkat ke tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya.

Sepanjang perjalanan, aku enggak bisa berhenti memikirkan Ibu. Di balik nada suaranya, di balik sorot matanya, aku yakin Ibu sedang merahasiakan sesuatu. Terakhir kali aku melihat Ibu seperti ini, ketika usiaku masih sangat kecil. Tapi saat itu, ekspresi Ibu enggak semuram sekarang.

Atau ini cuma perasaanku saja?

Aku terlalu sibuk menerka-nerka sampai enggak sadar kalau sudah tiba di tempat yang dijanjikan.

"Bima Music Studio." Aku membaca sebuah plang berwarna putih di depan studio yang dicat serba hitam. "Bima itu siapanya Bimo?"

Leo ikut menatap plang tersebut dari sampingku. "Nggak tau, mending kita masuk aja," ajaknya. Aku pun menurut.

Kami berdua menaiki tangga yang terletak tepat setelah pintu masuk. Sambil terus menatap layar ponsel, Leo memimpin langkah. Tampaknya dia sedang membaca pesan dari Cello atau Willy. Aku cuma bisa mengikutinya dari belakang sambil menatap foto-foto yang terpajang di sepanjang dinding koridor studio.

Haru BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang