02. Manusia Berkepribadian Ganda

651 35 2
                                    

           Seperti yang telah kurencanakan, semangkuk bakso dan segelas susu coklat dingin telah siap menjadi teman terbaikku siang hari ini. Langkahku telah bersiap menuju kamar. Video masak di laptopku sudah menanti kedatanganku.

"Buatku mana?" suara itu pasti dari Arzendi. Tuhkan, dia merusak ketenangan hidupku di rumah.

"Kamu kira ini restauran yang nyediain makanan untuk kamu? buat sendirilah! ngrepotin aja!" jawabku jutek tanpa melihat wajah manusia menyebalkan itu.

Tak ada jawaban yang kudengar darinya. Bagus, sepertinya dia cukup mengerti dan semoga selalu mengerti.

Kubuka laptopku yang tergeletak di atas meja. Dan kumulai play video masak dari chef terbaik dunia yang aku idolakan. Seperti chef Nik Michael Imran, Edwin Lau, Zulkarnain Dahlan, Felix Budisetiawan, Gilles Marx, Sezai Zorlu dan masih banyak lagi chef-chef lainnya yang menjadi idolaku.

Aku juga sering bermimpi mempunyai jodoh seorang chef. Bisa memasak bersama, tertawa mencicipi masakan hasil berdua, ah mesranya. Pasti menyenangkan.

Tanpa sadar aku memeluk erat guling milikku. Ya Allah, aku sangat sering berkhayal.

Kuhilangkan khayalan-khayalanku yang mulai liar. Kembali fokus dengan cara dan teknik memasak chef Felix. Aku juga akan terkenal dan sukses sepertinya nanti.

Beberapa kali aku juga mengisi acara arisan ibu-ibu sebagai chef abal-abal yang mengajari mereka resep-resep terbaru. Kukira aku cukup berbakat dan hebat. Ya, setidaknya itu yang kupikirkan.

Suara ayah dan bunda sudah kudengar dari luar. Pasti mereka sudah pulang.

"Giska... !!" suara merdu bunda Agiswaraku yang cantik terdengar menggelora dari kamar. Entah, apalagi kesalahan yang kuperbuat.

Langkah kakinya kudengar sudah berada di depan pintu. Siap membuka knop pintu dan mengomeliku entah tentang apa. Tentu saja aku tahu, dia bundaku. Aku hafal semua gerak-geriknya.

Pintu terbuka dan menampilkan wajah wanita berusia 52 tahun itu. Masih terlihat cantik seperti masih berusia 30 tahunan. Bundaku memang awet muda dan mengagumkan. Dan hal itu yang membuat ayah memilihnya, ya setidaknya begitu pendapatku.

"Kenapa nggak buatin Arzen makan?" tanya bunda dengan nada halus.

Aku mematikan video yang kutonton. "Soalnya Arzen udah gede, bisa masak sendiri."

"Giska.. dia itu tamu kita. Bunda yakin kamu pasti tau hukum memuliakan tamu," tutur Bunda yang kini telah duduk di sampingku.

Oke, aku kalah. Bunda selalu menang dalam segala hal. Aku akui aku memang salah. Tapi, manusia menyebalkan itu juga salah, dia sudah menghinaku.

"Iya, Bun... Giska minta maaf."

"Minta maaf sama Arzen!" Bunda tidak menerima bantahan. Aku bisa mengerti dari nada bicaranya yang penuh penekanan.

Bunda keluar dari kamar dan aku menghembuskan nafas kesal. Kehadiran manusia menyebalkan itu sangat mengusik ketenangan hidupku.

Dengan langkah berat aku berjalan menuruni anak tangga. Kedua tanganku ada mangkuk dan gelas bekas makanku tadi. Dan jika diperbolehkan aku ingin melempar mangkuk ini kewajah Arzendi yang saat ini berlaku hangat dan sok manis pada ayah. Gaya bicaranya santun, sorot mata yang bersahabat dan senyum yang kulihat dimanis-maniskan. Sangat berbanding terbalik ketika berbicara denganku.

"Giska, ngapain berdiri disitu? Sana minta maaf!" suara halus bunda membuyarkan lamunanku tentang manusia berkepribadian ganda itu.

"Iya.." rasanya sangat berat minta maaf pada manusia menyebalkan itu. Apa salahku? Bahkan, dia yang lebih banyak berdosa padaku.

Salam Untuk Arzen [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang