BAB 22

17.9K 1.6K 258
                                    

Bab 22

"Bisa diam, nggak?"

Ola berdecak saat mendengar celetukan sahabatnya. Laki-laki itu sedari tadi sudah sibuk dengan kamera juga laptopnya. Entah apa yang dikerjakannya, pasalnya Raza terlihat sangat serius. Huh, menyebalkan! Padahal, niat Ola mengunjungi apartemen sahabatnya ini supaya dapat menghilangkan penat. Tadinya, dia ingin mengajak Raza untuk pergi jalan-jalan. Tapi yang terjadi, dia malah ikut mendekam di sini.

"Bosan sumpah, Za."

Sekilas, Raza melirik sahabatnya yang sudah berbaring di sofa dengan kaki yang ditekuk. Jemari lentiknya tengah memainkan ponsel dengan lincah.

"Terus?"

Ola bangkit dari posisinya. "Masalahnya, di apartemen lo nggak ada makanan sama sekali. Ya ampun, betah banget lo mendekam di sini seharian." Kemudian, perempuan itu pun beranjak dan berjalan menuju dapur mini yang tak jauh di depannya dengan ogah-ogahan, dengan mengentak-entakkan langkah kakinya.

Kata Raza, apartemen ini adalah bekas mama dan papanya dulu. Berarti, cukup banyak kenangan yang telah terjadi di sini, bukan?

Satu jam yang lalu, tanpa kabar apa pun Ola datang ke apartemennya, sesudah perempuan itu menanyakan keberadaannya. Semula, Raza memang berniat untuk pergi ke rumah Ola. Hanya saja, setelah pekerjaannya selesai, minimal tidak terlalu banyak yang harus dia selesaikan. Beberapa waktu lalu, mereka mendapat proyek untuk membuat katalog salah satu brand sepatu yang cukup ternama di kalangan mahasiswa. Brand lokal yang tak kalah keren dari produk luar.

"Delivery order aja, La. Kerjaan gue dikit lagi selesai, kok."

"Siapa, ya, yang bilang 'dikit lagi' terus mulai dari setengah jam yang lalu?" ucap Ola seraya menenteng segelas air di tangannya. Raza tentu menyadari perempuan itu tengah menyindirnya. Masih dalam posisinya, laki-laki itu pun hanya mengedik tak acuh seraya berusaha menahan bibirnya supaya tak menyunggingkan senyum.

"Nggak ada kerjaan banget, La?" Raza bangkit dari posisinya, lalu masuk kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Ternyata, terlalu lama berhadapan dengan laptop membuat matanya terasa mengantuk.

"Nggak ada, makanya gue nyamperin lo ke sini. Tadinya ada janji makan siang bareng Mbak Dila, tapi entah kenapa tadi pagi Mbak Dila batalin, terus sekarang nomornya malah susah buat dihubungi."

Raza mengernyit, satu tangannya mengusap wajah basahnya dengan handuk, kemudian melempar handuk itu ke sofa yang langsung dikomentari Ola, "Ya ampun, Za, itu handuknya jangan main lempar sembarangan gitu. Jorok banget, sih."

Raza yang akan berucap pun mengurungkan niatnya saat mendengar kalau bel apartemennya berbunyi. Keduanya lantas saling berpandangan sebelum akhirnya menggeleng. Hingga akhirnya, Raza berjalan menuju pintu dan begitu dibuka, ternyata mamanya yang berkunjung. Adiknya pun ikut di belakang sambil berkutat dengan ponselnya.

Double sial. Kenapa mamanya datang di saat waktu yang tidak tepat?

Semenjak mamanya tahu tentang perasaannya pada Ola, Raza selalu berusaha menghindari godaan sang mama mengenai hal tersebut. Lalu, di saat mereka bertemu seperti ini, apa yang akan terjadi padanya? Raza berharap, mamanya tidak bertindak macam-macam.

"Nggak nyuruh Mama masuk, hm?" ucap sang mama membuyarkan lamunannya.

"Ha? Eh, masuk, Ma. Tumben ke sini, ngapain?"

Sang mama berdecak. "Mama ke sini mau jenguk anak Mama yang sering nggak pulang. Baik, kan, Mama ini?"

Dia dibuat mati kutu. Sementara itu, Raza dapat melihat adiknya yang memeletkan lidah padanya, mengejek. Semalam, setelah mengantar Aksel, Raza memang memutar arah kembali menuju apartemennya dan bermalam di sini bersama Fajar dan Baz. Bahkan Rio dan beberapa temannya pun sempat berkumpul hingga tengah malam.

[Not] FellowshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang