BAB 51

34K 1.8K 524
                                    

Bab 51

Lima bulan kemudian....

"Iya, Papa, aku pulang bentar lagi. Ini lagi beli camilan dulu," ucap Ola pada ayahnya yang tiba-tiba menelepon, seraya mendorong troli belanjaannya.

"Baru aja jam delapan, ih, Papa, nggak usah khawatir. Bawa mobil sendiri juga," jawabnya dengan gemas, saat lagi-lagi papanya menyuruhnya untuk segera pulang.

Ya, akhirnya setelah merengek dan memohon pada sang ayah, akhirnya Ola diizinkan untuk menyetir sendiri dan Ola sungguh merasa bebas karenanya. Apalagi atas bantuan bundanya. Ah dia semakin tambah sayang pada Dila. Ya, dua bulan yang lalu keduanya telah sah menjadi pasangan suami istri dan Dila resmi menjadi bundanya. Kini, Ola tak lagi kesepian lantaran Dila selalu ada di rumah, karena tak diizinkan bekerja oleh Adinata.

"Iya Papa, iya. Aku juga ini beliin pesanan Bunda dulu. Iya, aku bakalan hati-hati. Dah, Papa."

Setelah panggilan berakhir, akhirnya Ola bisa bernapas lega. Uh, papanya ini sangat cerewet setelah Ola bisa menyetir dan selalu pergi ke mana-mana sendirian.

Ola mendorong troli belanjaannya menuju rak cokelat. Seperti biasanya, meski sudah berusia dua puluh satu tahun-tepatnya satu bulan yang lalu, cokelat tetaplah makanan favoritnya nomor satu dan sepertinya tak akan pernah tergantikan. Entahlah, suasana hatinya selalu membaik setelah memakan makanan manis ini. Tak peduli jika pipinya akan semakin berkembang, Ola masih akan sangat menyukainya.

Tiba di rak minuman, seseorang menyapanya, membuat Ola menoleh. "Eh, Bang Fajar."

"Wah, belanja apa tuh setroli penuh gitu."

Ola hanya cengar-cengir. Meski hubungan dia dengan Raza telah selesai, dan bahkan benar-benar kembali seperti orang asing, sosok Fajar tetap baik seperti biasa dan laki-laki itu akan selalu menyapanya jika mereka bertemu. Termasuk Sesil, perempuan itu masih sama baiknya dengan Fajar.

"Masih doyan cokelat, La?" tanya Fajar saat laki-laki itu melihat troli belanjaan Ola.

Ola mengangguk dengan semangat. "Nggak bakalan pernah bisa tergantikan kayaknya."

Fajar tertawa kecil. "Bikin toko cokelat nanti, La, biar bisa makan cokelat sepuasnya."

"Boleh dipertimbangkan," balas Ola, lalu tertawa.

"Lo sendirian, La?"

Ola mengangguk. "Seperti yang lo lihat, Bang. Emangnya kenapa?"

"Nanya doang. Sumpah, gue nggak niat mau nebeng, kok," ucap Fajar, jelas-jelas hanya bercanda karena setelahnya laki-laki itu tertawa kecil sebelum berdeham dan berkata, "Eh, iya, kenapa gue nggak pernah lihat lo di rumah sakit, ya?"

"Rumah sakit? Ngapain?" tanya Ola seraya mengernyit bingung. Perempuan itu jelas-jelas tak mengerti dengan arah pembicaraan Fajar.

"Lah, lo nggak tahu, La?" Alih-alih menjawab rasa penasarannya, Fajar malah balik bertanya, yang semakin membuat Ola pusing. Ada apa sebenarnya dengan rumah sakit?

"Nggak tahu. Apa, ya, Bang?"

Fajar menggeleng dramatis. Laki-laki itu menepuk-nepuk jidatnya sendiri. "Dih, parah. Gue kira lo sama Za masih saling kontak, ternyata nggak, ya?" ucapnya pelan, membuat Ola hanya tersenyum tipis. Fajar yang menyadari semua itu pun merasa bersalah dan tak enak. Laki-laki itu merutuki mulut embernya. Ya Tuhan, sepertinya dia salah bicara!

Memang sudah lama kalau temannya itu tak pernah menyinggung soal Ola. Dia sendiri tak pernah menanyakan soal itu. Fajar pikir, mereka sudah baikan dan berteman seperti dulu lagi. Namun ternyata, tidak. Wah, sepertinya ini adalah rekor terlama mereka bertengkar. Padahal Fajar diam-diam sering memperhatikan Raza yang menatap Ola dari jauh. Cih, dasar manusia gengsian! Apalagi kalau diingat kembali, keduanya putus hubungan sudah hampir satu tahun yang lalu dan belum membaik sampai sekarang? Ya Tuhan, si bodoh Raza itu ....

[Not] FellowshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang