BAB 24

16.4K 1.9K 330
                                    

Bab 24

Raza yang baru saja sampai di meja makan untuk sarapan pun segera menyapa sang ayah, yang ternyata sudah pulang. Padahal, semalam sewaktu dia pulang, papanya belum berada di rumah.

"Kapan pulang, Pa?"

"Lho, kamu di rumah?" balas sang ayah, agak terkejut saat melihat putra sulungnya, membuat Putra yang berada di antara mereka pun berdeham keras dengan sengaja dan mengalihkan perhatian sang kakak yang menatapnya malas. Masih sepagi ini, dan adiknya sudah menyebalkan saja.

"Papa kapan pulang?" ucap Raza lagi, mengabaikan adiknya yang kini tersenyum mengejek.

"Sampai rumah pukul satu. Kamu ada kuliah sepagi ini?" tanya sang ayah, begitu menyadari putranya yang sudah berpenampilan rapi dengan ransel yang tersampir di bahu kanannya. Padahal jam baru saja menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Si bungsu saja belum berangkat sekolah.

"Oh, nggak, mau mampir dulu ke kosannya Fajar."

Sang ayah mengangguk, hingga tak lama kemudian mamanya datang bersama ART mereka, membawa beberapa menu makanan untuk sarapan.

"Abang udah mau berangkat kuliah sepagi ini?" tanya mamanya. Raza langsung menjawab persis seperti apa yang telah dia katakan pada sang ayah.

"Kalau gitu, anterin Adek dulu, ya. Kasihan Papa."

Raza terdiam selama beberapa saat, kemudian menoleh pada adiknya yang tampak acuh tak acuh. Padahal biasanya, Putra akan menolak dengan mentah-mentah dan memilih untuk meminta Reksa menjemputnya. Lalu pagi ini? Entahlah, kesurupan jin mana lagi adiknya itu.

"Oke, Ma," jawab Raza akhirnya.

Menuju perjalanan ke sekolah, adiknya sangat cerewet seperti biasa. Untuk ukuran laki-laki, Putra memang terparah. Entahlah, Raza sendiri heran kenapa mulut adiknya itu lebih senang berceloteh di saat dia sendiri sama sekali tak menanggapi. Kalau bukan adik, sudah diturunkan di tengah jalan.

"Berisik, Put. Gue nggak mau tahu soal band lo," ucap Raza akhirnya, merasa bosan dengan ocehan sang adik yang membangga-banggakan band kesayangannya. Ah, sudahlah, suka-suka Putra saja. Dia tidak mau ikut-ikutan. Berbicara soal permusikan, pikiran sialannya ini entah kenapa selalu mengarah pada Ola.

"Ah, lo mah nggak seru! Masa di mobil diam-diaman terus. Tipikal cowok yang sangat dihindari cewek. Lo tahu, nggak, cewek itu lebih suka cowok yang humoris kayak gue daripada cowok Kanebo kering macam lo. Kalau gue, ogah banget sumpah punya pacar kayak lo."

Raza mendengkus menanggapi. "Lo tuh bukan cowok humoris, tapi cowok receh. Nggak ada kalem-kalemnya lo jadi cowok. Lagian, siapa yang mau jadi pacar lo? Emang laku?"

Putra mencebik, kedua bibirnya bergerak tanpa suara, mengumpati sang kakak secara diam-diam. "Enak aja lo kalau ngomong. Gue itu ganteng, ya pasti banyak yang maulah. Masih untung Kak Ola betah temanan sama lo. Belagu banget lo jadi cowok."

Mendengar nama Ola disebut, seketika Raza yang akan menimpali ucapan adiknya pun urung. Ah, dia lemah sekali. Sampai-sampai, rasa sesak itu kembali muncul ke permukaan hanya mendengar nama wanita itu disebut. Ya, Ola seberpengaruh itu pada suasana hatinya sekarang.

"Kenapa diam? Nggak berani jawab? Halah, cemen!"

"Anak SMP kayak lo tahu apa, huh?" balas Raza tak ingin kalah. Di situasi seperti ini, Raza berusaha untuk mengenyahkan Ola dari pikirannya sebisa mungkin. Jangan sampai adik rombengnya ini mengendus kegundahannya.

"Dari segi usia, lo emang udah dewasa. Tapi, Bang, pada dasarnya kalau kedewasaan itu nggak diukur sama umur."

"Emang. Tapi jangan dewasa sebelum waktunya juga kali. Lo masih SMP, Put, belajar yang benar, bukan tebar pesona. Kalau Papa tahu, bisa digorok lo."

[Not] FellowshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang