BAB 36

17.1K 2K 325
                                    

Bab 36

Tangannya menggantung di udara. Rasa ragu itu ada, tetapi dia harus segera meluruskannya. Ingin langsung membuka pintu pun, rasanya tidak sopan. Namun, suara isak tangis itu menyita perhatiannya hingga tanpa sadar Ola pun membuka pintu yang syukurnya tidak terkunci. Bisa Ola lihat setelahnya, kalau mamanya duduk di lantai seraya menyandar pada ranjang. Kepalanya menunduk, isak tangis itu terdengar memilukan. Ola tak pernah melihat mamanya menangis sebelumnya dan sekarang Ola tahu karena siapa mamanya menangis. Karena dia. Ya, mamanya menyalah-artikan maksudnya.

"Ma?" panggilnya pelan. Sontak saja mamanya terperanjat. Bahkan Martha segera mengusap kedua pipinya yang basah dengan cepat sambil memalingkan wajah.

"He—hey, Sayang. Kenapa?"

"Maafin Ola," ucapnya setelah bersimpuh di depan sang mama. "Ola nggak marah sama sekali. Kenapa Ola kabur dari rumah pun bukan karena marah sama Papa. Ola kangen Mama. Ola memang sempat kaget waktu lihat Papa berdua sama Mbak Dila di restoran jepang itu. Apalagi posisinya saat itu Ola yang belum tahu apa-apa tentang alasan kalian berpisah. Ola kaget, tapi Ola nggak marah. Ola nggak boleh egois, kan, Ma? Ola harusnya ikut berbahagia atas pilihan kalian. Maafin Ola, maafin Ola, Ma," jelasnya sambil terisak di depan mamanya. Rasa bersalah pun menguasai dirinya. Ya, seharusnya dia tak boleh egois dan mementingkan kesenangannya sendiri.

Menjalin sebuah hubungan itu tak bisa dipaksa, itu memang nyata. Bodohnya, Ola baru menyadari semua itu. Terlepas dari apa yang telah terjadi pada keluarganya, harusnya dia sadar kalau hubungan orang tuanya sudah berada dalam fase tak bisa dipaksakan untuk bersama.

Ola mengulas senyum sambil menatap mamanya yang ikut terisak, lalu keduanya berpelukan selama beberapa saat. Menyalurkan rasa kasih juga sayang mereka lewat pelukan hangat itu.

"Ola sayang Mama."

"Mama sayang kamu, sangat."

"I love you, Mama."

"Love you, Princess."

"Ola nggak marah. Jadi, Mama harus bilang apa yang mau Mama sampaikan tadi sama Ola," tuntutnya, memandang mamanya dengan bola mata cokelatnya meminta penjelasan.

Martha terkekeh kecil melihat menggemaskannya putrinya itu. "Nggak ada, udah nggak penting. Pokoknya yang harus kamu tahu, Mama sayaaang sama kamu."

"Ma, please."

"Nothing, Honey. Udah malam tuh, hampir jam sebelas. Tidur, gih, nanti kesiangan. Mama juga udah ngantuk." Martha menguap, beranjak dari posisinya kemudian mengulurkan tangan pada sosok putrinya yang masih betah duduk di lantai.

Walau dengan ogah-ogahan, Ola menyambut uluran tangan mamanya. "Ola nggak bakalan ngizinin Mama tidur sebelum Mama bilang sama Ola. Titik, nggak pakai koma. Ayolah, Ma."

Martha tetap menggeleng, kekeh dengan pendiriannya. Malahan, wanita itu berlalu ke kamar mandi membuat Ola yang melihatnya pun membuang napasnya dengan berat. Dugaannya benar, sebelumnya mamanya itu akan berbicara mengenai hubungannya Om Bram. Dan kabar buruknya, dia telah mengacaukan momen itu. Ya Tuhan...

"Ma, please." Ola masih memohon, begitu mamanya keluar dari kamar mandi. Tampaknya, mamanya itu usai mencuci muka "Soal Om Bram, kan?" tanyanya akhirnya, membuat gerakan sang mama yang baru saja naik ke tempat tidur pun terhenti.

"Please, Ma."

"Mama tidur," balas Martha, lalu berbaring memunggungi Ola yang menatap sedih pada sang mama.

Reaksi tak acuh sang mama pun membuatnya menyerah. Akhirnya, Ola pun keluar dari kamar sang mama setelah mengucapkan selamat malam. Dan tanpa sepengetahuan Ola, nyatanya Martha belum tidur. Wanita itu hanya memejamkan mata guna menghindari putrinya. Tepat seperti dugaan putrinya, kalau sebelumnya dia akan mengatakan mengenai rencananya bersama Bram.

[Not] FellowshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang