BAB 42

17.1K 1.7K 848
                                    

Bab 42

"Coba aku lihat, cantik nggak, Za?" Ola bertanya dengan riang. Berkebalikan dengan sosok Raza yang mengernyit sambil menatap pacarnya itu dengan heran.

"Cantik, ya?" gumam Raza, yang sontak saja dibalas dengkusan pelan oleh Ola.

"Ya iyalah! Masa aku nanya, 'Gimana? Ganteng, nggak?'," gerutunya, Raza terkekeh kecil karenanya. Bibir tipis yang dimanyun-manyunkan itu selalu tampak menggemaskan bagi Raza.

Saat ini, mereka sedang berada di kafe milik ayah Raza, setelah mereka jalan-jalan bersama di Taman Suropati yang berada di kawasan Jakarta Pusat. Tak hanya mereka berdua saja, ada teman Raza lainnya, termasuk Fajar dan Sesil yang ikut duduk di meja yang sama dengan keduanya. Mereka baru saja datang setelah memesan minuman. Sebenarnya, ini adalah ide Fajar yang meminta mereka untuk datang ke sini. Jujur saja, Raza sangat malas. Dia selalu malas untuk diperlakukan khusus karena kafe ini adalah milik sang ayah. Makanya, dia lebih senang pergi ke tempat lain.

"Untuk kalian berdua," ucap Fajar seraya memberikan dua cup cappucino untuk Raza dan Ola.

"Makasih, Bang Fajar," ucap Ola yang diangguki laki-laki itu.

"By the way, Za, tadi si mbak pelayan tanya gue, katanya, 'Mas Raza putra sulungnya Pak Arga, bukan?'"

"Terus?" tanggap Raza tak acuh, sambil mengeluarkan laptop dari tas ranselnya.

"Gue jawab bukan. Awalnya mereka nggak percaya, cuma gue bilang gini aja, 'Mukanya pasaran kali, Mbak'," ucap Fajar, lalu terbahak sendiri. Sementara itu, tiga orang lainnya menatapnya dengan ekspresi yang berbeda-beda. Raza hanya menatapnya sekilas disertai dengan dengkusan pelan. Ola menatapnya geli, tetapi tidak sampai tertawa. Sesil yang duduk di sampingnya hanya memutar bola mata. Pasalnya, perempuan itu memang menjadi saksi bagaimana kelakuan luar biasa Fajar tadi. Sekurang-kurangnya, bersama Fajar memang harus menebalkan muka. Setidaknya itulah tips dari Sesil.

"Lagian lo mah aneh, masa nggak mau datang ke sini gara-gara nggak mau diperlakukan khusus?"

"Risi," balas Raza.

Sesil mengangguk-angguk. "Benar banget," gumamnya.

"Ha? Gimana, Yang?" tanya Fajar.

Sesil menggeleng. "Geli, Fajar, jangan panggil gue begitu!"

Fajar mendengkus. "Lo mah gitu. Ini tuh bukti kalau gue sayang sama lo."

"Bodoh amat!" balas cewek dengan rambut sebahu itu, seraya mengedik tak acuh. Jika dilihat-lihat oleh Ola, perempuan yang memiliki lesung pipit itu agak tomboi.

Di sisi lain, Ola menyunggingkan senyum melihat interaksi keduanya. "Kalian pacaran?" tanyanya.

"Ya."

"Nggak."

Jawaban berbeda yang keluar dari Fajar dan Sesil secara bersamaan membuat kening Ola mengernyit. Lalu dia menatap Raza yang juga tengah menatapnya.

"Jangan dipikirin. Mereka emang aneh."

Selanjutnya, pertengkaran kecillah yang Ola saksikan di antara Fajar dan Sesil. Keduanya saling menguatkan pendapat masing-masing.

"Lo nggak anggap gue pacar lo?" tanya Fajar.

"Kenapa gue harus anggap lo sebagai pacar gue?" balas Sesil tak ingin kalah.

Fajar mengusap wajahnya dengan kasar. "Terserah!"

"Ya, bodoh amat."

Di depan mereka, Ola saling berpandangan dengan Raza, lalu keduanya menggeleng. Selang beberapa menit kemudian, Raza mengajak Ola untuk naik ke lantai atas daripada harus menyaksikan kegilaan pasangan di depan mereka. Tentu saja Ola setuju. Dengan gerakan pelan, mereka pun akhirnya pergi tanpa disadari keduanya yang masih saling melempar seruan.

[Not] FellowshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang