Malu

33 8 8
                                    

Entah mengapa semua orang merasa pagi datang lebih cepat. Rani mengucek matanya hingga sedikit berair. Lagi-lagi dia terbangun sebagai orang terakhir. Melihat sekeliling, semua nampak sibuk tanpa suara. Memakai seragam, mengikatkan dasi, hingga melipat mantel.

"Astaga!" Rani mengelus dadanya, sekarang semua perhatian beralih padanya. "Kau belum juga bersiap? Bagaimana jika kita terlambat? Hari ini pelajaran individu, jika kau tak bersegera aku tak tahu apa yang akan dilakukan pengajarmu nanti." 

Rani mendengus, salahkan saja matanya yang tidak mau diajak kompromi. Cia dengan seenak jidat menarik lengannya lalu mendorongnya segera memasuki kamar mandi.

Tentunya tak perlu waktu lama baginya untuk mandi. Tak ada sabun kesukaannya yang tak pernah gagal membangkitkan nafsu mandinya. Tak ada juga make up yang biasanya membuatnya terduduk di depan kaca selama berjam-jam.

Lagi-lagi ia mendengus, lihat siapa yang lama? Kay dan Astor bahkan sudah meluncur lebih dulu ke ruang makan. Lima belas menit--waktu perkiraannya--setelah menunggu, akhirnya mereka selesai juga. Tampilan mereka tak begitu memusingkan sih ketimbang cabe yang berada di sekolahnya dulu. Lebih sederhana.

Helaian rambut Rani berkibar. Dia sengaja menggelung rambutnya lalu menguncinya dengan sebuah sumpit yang kebetulan ditemukannya di lemari. Dia menenteng sebuah sarung pedang yang kemerin diambilkan Cia dan Freya ketika ia memasak. Tentu saja isinya pedang miliknya sendiri. Mana mau ia menggunakan samurai yang sudah terkikis? Membayangkan saja membuatnya begidig.

Sesampainya di ruang makan semua sudah berkumpul, hanya minus lima orang. Keempat dari orang tersebut adalah mereka dan seorang lagi--

"Sebaiknya kalian meninggalkan jubah kalian di sini. Karena cuaca di luar mulai terasa panas." Astor menarik kursi tempatnya biasa duduk.

Seorang anak perempuan di sampingnya dengan rambut tergerai mengerutkan kening menatap Astor dengan mata berbinar, "Kenapa musim panas datang lebih cepat?"

"Mana kutahu," Astor hanya mengedikkan bahu membuat gadis itu mengerucutkan bibir. 

Jika dilihat dengan seksama, gadis itu jelas-jelas menyukai Astor. Siapa sih yang tidak tertarik dengan tampang Astor? Hanya orang bodoh yang tidak menyukainya. Rambut coklat yang ditatanya bagai tsunami, mata biru langit, bahu lebar, dan tinggi. Oh, jangan lupakan selera pada fashionnya sangat tinggi membuat penampilannya semakin menawan.

"Ehem," seseorang anak lelaki di ujung meja berdeham untuk menyita seluruh perhatian. Dia bangkit, "Maaf, selaku ketua dari tim satu aku meminta maaf yang sebesar-besarnya karena tidak bisa menyambut kalian di sini. 

Sungguh, jika bisa aku dan yang lainpun akan memilih tetap tinggal dan merayakan kedatangan kalian." Nada yang digunakannya dibuat semanis mungkin membuat orang yang mendengarkan memerlukan kantung muntah utuk mengeluarkan isi perut.

Tak ada yang menjawab. Keadaan masih hening. Semua mata masih terpusat padanya. Bahkan belum ada yang menyentuh makanan sama sekali.

"Perkenalkan namaku Eros, aku berasal dari Kerajaan sebrang." Anak itu melanjutkan, "Aksa, Cetta, Vanya, Maure, dan Ava."

Dia menunjuk dua laki-laki yang berada disampinnya dan tiga orang perempuan di hadapan ketiganya. Dia masih berdiri, "Boleh kami tahu nama kalian?"

"Aku Andrea, Roy, Ryu, Dylan, Zani, Kara--" Suaranya tersendat di akhir kalimat. Hampir saja ia memanggil nama Rani. Rani yang mendengar hanya tersenyum tipis, menyadari namanya sudah tak ada diantara nama mereka berenam.

Astor ikut berdiri, "Dia anggota timku yang terakhir, Rani."

Senyum sinir terukir di sudut bibir Cetta, "Berdoa saja, dia tidak mengacau hingga harus dikeluarkan seperti Tera."

Pahlawan Kastel TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang