Kay

29 4 0
                                    

Yang ditatap hanya diam, memang salah apa dia?

"Bagaimana caranya kau mendapatkan info itu? Kau kan gak suka bicara." Roy terbahak. 

Zani mendengus, meremehkan sekali mereka. Jika kemampuan dipolomasinya tak baik, untuk apa orangtua mereka menunjuknya sebagai pemimpin salah satu perusahan mereka? Tentu saja dia tidak mengungkapkan kalimat itu.

Ryu yang ikut tertawa menambahi, "Katakan saja apa rencanamu. Kami yang akan mengorek informasinya," 

Dylan keluar kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya. "Ada apa?"

Zani menampakkan smirknya, "Aku yang akan mengurusnya."

"Mengurus apa?" Dylan kembali bertanya, tapi tak ada satupun yang menjawab.

Semuanya diam tidak berkutik. Smirk itu. Tanda bahwa Zani serius dengan ucapannya barusan dan akan terwujud tak lama lagi.

 Andrea meneguk salivanya, bukannya takut. Sangat jarang Zani menampakkan smirknya, tentu saja karena Zani jarang melakukan sesuatu dengan serius. Kali ini pasti benar.

Zani melewati mereka begitu saja. Masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan sesuatu lagi.

"Zani cepat mandinya, kita harus turun!" 

Hanya Kara yang berani berteriak pada sosok Zani yang sedang marah. Karena satu hal, Zani selalu patuh dengan Kara.

Tak ada sahutan tapi semenit kemudian pintu itu terbuka. Zani lantas mendekat meja belajar, mengambil secarik kertas menuliskan beberapa hal lalu memasukkannya ke kantong.

Tepat sepuluh menit kemudian semua orang sudah siap. 

"Ayo," ajak Kara mengulurkan tangan pada Zani agar menggandengnya.

Saat Zani hampir meraihnya sebuah tangan kekar lebih dulu membungkus tangannya. Zani melirik kesamping. Keningnya berkerut.

Kara tersenyum sekilas. "Kita duluan saja," Bisiknya kepada tiga orang lainnya. Salah satu diantara mereka menggeleng. Kara memakluminya.

"Ada apa?" 

Wajahnya berubah melas, "Sungguh aku tak bermaksud meremehkanmu. Jangan marah."

Zani mengerutkan kening, "Memang siapa yang marah?"

"Kau."

Zani menggeleng, "Aku tak marah sama sekali."

"Benarkah?!" wajahnya berubah ceria. 

Zani mengangguk. 

"Ayo turun," tangannya kembali meraih.

"Eitss, aku yang akan membawanya turun." seseorang lebih dulu meraih tangan itu ke dalam genggamannya.

"Roy! Aku dulu!"

Roy terbahak, "Berusahalah lebih gesit, Ryu!"

Zani terkekeh melihat interaksi mereka. Tapi langkahnya tak berhenti, terus mengikuti tarikan pada tanganya.

Ryu mendengus. Dia ditinggal. Sambil menghentakkan langkah dia menyusul Roy dan Zani.

Dalam hatinya dia mengumpat. Sesekali menggerakkan tangannya untuk menyalurkan emosinya. Hatinya panas begitu pula kepalanya. Ia tak bisa berpikir jernih.

tinggal beberpa langkah lagi kakinya menapak pada lantai satu. Bibirnya masih mengerucut kesal. Tapi setidaknya sudah lebih baik. 

Matanya menyipit. Tiba-tiba saja hatinya memanas kembali. Dengan terburu dia menuruni tangga yang tersisa. 

Pahlawan Kastel TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang