Hai Cinta!

41 6 0
                                    

Roy menggaruk tengkuknya. Harusnya ia langsung tahu, rambut Rani itu pirang bukan coklat. Bodohnya.

"Maaf ya, ini-"

"Gak papa kok," gadis itu mengambil sumpit yang disodorkan Roy.

Roy ingat, gadis ini bernama Vanya. Salah satu teman dari tim satu. Tim yang mulai pagi ini dibencinya.

Roy tersenyum dipaksakan, "Aku pergi du-"

"Nanti aja, ayo duduk temenin aku. Kamu tadi juga mau liat duel kan?" Vanya menunjuk Ryu dan Rani di arena.

Roy melotot, bagaimana ia tak bisa melihat Rani yang sedang berduel dengan Ryu? Ingin sekali ia mengumpati Zani. Dia memberi saran dengan menatap punggung seseorang yang sudah pasti dikiranya Rani.

Ia ingin sekali langsung meninggalkan tempat ini dan mengganti mukanya. Malu setengah mati dia. Tapi gadis ini malah memegang tangannya menatap penuh harap, memintanya untuk duduk kembali.

Menghela napas, "Hm."

Roy kembali bersila setelah melepaskan genggaman tangan gadis itu. Sesekali ia memergoki Vanya mencuri pandang ke arahnya.

Ah, sekarang dia jadi canggung kan?

Duet kali ini dimenangkan Rani. Entah kenapa tadi Ryu sedikit tidak fokus hingga Rani dengan mudahnya membelit kakinya mendorong bahu Ryu. Akhirnya sekarang Ryu terlentang dengan sebuah benda tajam berada dua centi dari dadanya.

Dengan terengah Rani mengulurkan tangannya, membantu Ryu berdiri. "Berat sekali."

Ryu tak menjawab, menggapai tangan itu lalu beranjak. Tentunya tak seluruhnya menggunakan bantuan itu. Bisa-bisa Rani ikut terjatuh.

"Kali ini kau menang karena aku tiba-tiba merasa lapar," Ryu mendengus tak terima dengan kekalahan.

Rani memutar mata, "Bilang saja kemampuanku meningkat, apa susahnya?"

Roy bangkit menuju kedua sejoli itu, "Aku pergi, Van."

Rani membeku, tiba-tiba saja pundaknya terasa berat. Ia mendelik pada sosok yang menjadi dalangnya. "Jauhkan tanganmu!"

"Roy, aku lelah," Rani memberikan muka memelas.

Roy melepas kalungannya, "Ah, kau tak asik."

"Lepaskan juga dariku," Ryu melirik sinis tangan yang menggantung di lehernya itu.

Roy menggeleng, "Ayo. Aku masih punya dendam."

"Tak baik menyimpan dendam," Rani menggerakkan jari telunjuknya, tangan yang sebelah digunakannya untuk berkacak pinggang.

"Becanda, hehe." Roy membentuk tanda damai dengan jarinya.

Mereka berjalan beriringan melewati Vanya begitu saja. Sosok itu hanya menganga menyadari kehadirannya tak dianggap. 

Roy membimbing keduanya mendekati Zani yang masih menebas dan menghindar, walau kali ini tanpa lawan. Aksa dan Astor? Keduanya tampak berbaring di rerumputan dengan napas yang terengah. 

Rani mendekat, "Siapa pemenangnya?" 

Astor hanya melirik, tak mampu menjawab. 

"Kau bisa lihat siapa yang masih berdiri tegak," Aksa mendengus. "Kuakui dia hebat, lebih hebat dariku. Aku berniat menjadikannya guru kedua."

Roy mengalihkan tatapan pada orang yang dibicarakan, nampaknya masih asik dengan benda tajam di tangannya. Tatapan matanya tak menunjukkan apapun, menyorot tajam ke semua arah. "Dia tak akan mau."

Aksa tersenyum miring, "Lihat saja nanti."

"Jangan ganggu dia, atau kau juga berurusan denganku." Ryu menggeram, dia paham betul Zani tidak suka dipaksa.

Pahlawan Kastel TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang