10

30.1K 1.6K 11
                                    

10

Alven salah jika berpikir bisa menjelaskan semuanya pada ibunya hari ini. Saat ia baru tiba di kantor, telepon masuk dari kakak perempuannya yang histeris dalam euforia sudah berdenging di telinganya. Sarah mengatakan sangat senang dengan berita pernikahan Alven yang akan di-langsungkan bulan depan.

Sama seperti ibunya, Sarah sama sekali tidak membiarkan Alven bersuara menjelaskan situasi yang sebenarnya.

Kejutan kedua datang tiga puluh menit kemudian. Ibunya masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Senyum seindah bunga matahari mengembang di wajah setengah bayanya yang masih tampak cantik.

“Ibu? Apa yang Ibu lakukan di sini pagi-pagi begini?” Alven menatap heran ibunya yang berjalan anggun ke arahnya.

Karlin tiba di depan meja kerja Alven, lalu meletak tas mahalnya ke meja.

Alven yang sedang duduk di balik meja kerjanya menatap ibunya dengan kegelisahan yang disembunyikan. Menilik senyum lebar dan wajah ceria ibunya, Alven tahu, ibunya sedang merencanakan sesuatu yang lebih dahsyat.

“Ibu hanya ingin mengajakmu ke toko perhiasan sahabat ibu. Ibu takut kalian lupa harus memilih cincin kawin dari sekarang.”

Alven tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

“Ibu—”

Karlin mengangkat tangan mencegah Alven bersuara. “Fabella sekretarismu, ya? Tadi malam ibu belum sempat mengobrol tentang pekerjaannya. Omong-omong, ibu bertemu dengannya di luar tadi dan kami mengobrol singkat. Dia gadis yang manis.”

“Ibu, kami tidak—”

“Sekarang telepon dia, kita akan pergi bersama-sama memilih cincin kawin kalian.”

Alven menghela napas pendek. “Ibu, ini tidak seperti yang ibu pikirkan. Aku dan Bella tidak—”

“Ibu tidak sabar melihat kalian menikah dan segera memiliki anak. Bayangkan, Sayang, jika kau memiliki bayi yang mewarisi warna rambutmu, atau mungkin mata dan bentuk alis sepertimu. Rasanya menakjubkan sekali, bukan?”

Alven tersentak mendengar itu. Seluruh keinginannya untuk menyangkal seketika luruh. Menguap tanpa bekas. Beberapa tahun terakhir ini—tepatnya setelah Grace pergi—ia tidak pernah membayangkan akan me-nikah dan memiliki bayi.

Tapi saat ibunya mengingatkan kembali impiannya yang telah ia kubur-kubur dalam-dalam, ada emosi aneh menyerang dirinya. Emosi di mana satu waktu dulu ia sangat menginginkan bayi yang mewarisi warna matanya, atau tulang pipinya yang kukuh. Atau...

“Fabella akan jadi istri yang sempurna untukmu. Dia akan memberikan ibu banyak cucu-cucu yang tampan dan cantik.”

Alven seperti disetrum listrik mega volt. Seketika dalam benaknya muncul wajah-wajah bayi dan balita mungil yang mewarisi ketampanannya atau kecantikan Fabella. Dan darah Alven berdesir aneh.

“Ibu—” suara Alven tersekat.

“Ayo, Sayang. Segera telepon Fabella. Kita tidak punya banyak waktu. Tinggal empat minggu saja lagi menjelang hari pernikahan kalian. Omong-omong, kapan kita akan melamar Fabella pada kedua orangtuanya?”

Alven menelan ludahnya dengan susah payah. Apa ia dihipnotis ibunya hingga tiba-tiba saja tak mampu lagi menolak keinginan ibunya untuk menikahi Fabella? Tapi bagaimana dengan Fabella? Apakah dia setuju?

Dengan tangan kaku Alven menekan nomor di interkom. Lalu suara sambutan terdengar.

Dada Alven berdebar. Alven tidak mengerti dengan dirinya. Apa yang salah? Dua tahun ia mengenal Fabella, mengapa sejak beberapa hari ini ia merasakan sesuatu yang berbeda terhadap sekretarisnya itu? Ia merasa debaran aneh saat Fabella memintanya mengirimkan pesan saat ia tiba di rumah. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang luar biasa mengingat permintaan itu sering Fabella ucapkan saat ia mengantarnya pulang dari pesta-pesta yang mereka hadiri. Selama ini Alven tidak pernah memikirkan perhatian kecil itu. Tidak sebelum tadi malam.

Dan tadi malam ia langsung mengirim pesan pada Fabella begitu tiba di penthouse-nya.

“Halo?”

Sapaan kedua Fabella membuyarkan lamunan Alven. “Ke ruanganku sekarang, Bella.” Sebisa mungkin Alven berucap datar, tapi hanya ia yang tahu, tiba-tiba saja ia merasa sedikit gugup. Telapak tangannya lembap oleh keringat dingin.

Apa yang harus ia katakan pada Fabella? Ia bukan berhasil menjelaskan situasi yang sebenarnya, tapi justru mulai setuju dengan ide gila ibunya. Tiba-tiba saja keinginan untuk memiliki bayi-bayi yang mewarisi darahnya memenuhi dadanya dengan dahsyat. Bukan hanya itu, ada rasa lain yang menyusup masuk ke dalam dadanya. Rasa aman memikirkan para pria tak bisa lagi mendekati Fabella setelah gadis itu menjadi istrinya. Bukan hanya pria-pria di pesta, tapi juga pria yang datang menjemput Fabella di kantor tiga hari lalu. Meski Fabella mengatakan pria itu hanya temannya, tapi Alven tahu, pria itu tertarik pada Fabella.

Rasa frustrasi menyerang Alven tatkala pintu penghubung antar ruangannya dan Fabella terbuka. Seraut wajah cantik muncul menggetarkan dadanya.

Alven pikir kepergian Grace sudah membuatnya mati rasa untuk merasakan getar seperti ini. Ternyata tidak.

Fabella memamerkan senyum manis dan mengang-guk hormat pada ibu Alven.

Karlin langsung tersenyum lebar. “Sayang, ibu akan mengajakmu dan Alven untuk memilih cincin kawin kalian,” ucap Karlin gembira.

Alven sedikit terkejut, tidak menyangka ibunya bahkan menyebut dirinya ‘ibu’ pada Fabella.

Fabella juga tampak sama terkejutnya. “Eh, Nyonya.. emm, Bibi... saya...”

“Jangan memanggilku seperti itu. Mulai sekarang biasakan dirimu memanggilku ibu.”

Fabella melirik Alven, dan Alven hanya diam membisu tanpa tahu harus bereaksi seperti apa. Ia merasa bersalah menempatkan posisi Fabella seperti ini.

Nanti ia akan berbicara berdua dengan Fabella tentang situasi mereka. Jika Fabella bersedia menikah dan melahirkan anak-anak untuknya, ia akan memberikan apa pun yang wanita itu mau. Tapi jika Fabella menolak, ia terpaksa berkata jujur pada ibunya, yang pastinya akan menghancurkan harapan ibunya yang telah membubung tinggi, dan tentu saja juga menghancurkan harapan Alven sendiri yang tiba-tiba saja begitu kuat menginginkan bayi-bayi mungil yang mewarisi darahnya.

“Baiklah, Ibu,” Fabella tersenyum manis pada Karlin.

Diam-diam Alven merasa lega. Semoga saja jawaban itu menunjukkan bahwa Fabella tidak keberatan dengan ide pernikahan ini.

***
Bersambung...

Evathink
IG : evathink

Memikat CEO yang Terluka [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang