13

27.5K 1.5K 13
                                    

13
——
 

Di pagi hari yang cerah, mengenakan kemeja yang dipadu dengan rompi dan jas, Alven berjalan menyusuri jalan area pemakaman tempat makam Grace berada.

Kaca mata hitam bermerek bertengger sempurna di atas hidungnya.

Alven berhenti di depan sebuah makam yang terjaga rapi. Hatinya perih dan nelangsa setiap kali ke sini. Tapi, meski begitu, ia masih sering menginjakkan kakinya ke sini.

Alven berjongkok. Dengan mata berkaca-kaca tangannya menyusuri tulisan di batu nisan itu. Grace Shamus.

Ia sangat mencintai Grace. Bahkan ia sudah berniat akan melamar Grace sebelum kecelakaan itu terjadi.

Impian Alven untuk membina rumah tangga yang bahagia bersama Grace sirna selamanya.

Dan sekarang, dalam waktu empat minggu ia akan melepas masa lajangnya. Ia akan menikah. Bukan dengan Grace. Tapi seorang wanita menarik yang tampak tidak keberatan menjadi istrinya—meski tidak ada cinta dalam hubungan mereka—dan memberinya keturunan.

“Aku sangat mencintaimu, Grace. Maafkan aku harus mengkhianati cinta kita dengan menikahi gadis lain,” bisik Alven pelan dengan bibir bergetar.

Setetes air mata bergulir dari sudut matanya. Alven menghela napas pedih.

“Andai saja kita bisa bersama...” Alven membelai sayang batu nisan Grace Shamus.

“Alven,” sebuah suara yang lembut menyapa Alven.

Alven menoleh dan mendapati Leana bersama Davian berdiri tidak jauh darinya.

Alven bersyukur ia memakai kacamata. Sekilas ia menyeka wajahnya. “Hai...” balasnya muram.

Leana menghampiri Alven dan menepuk pelan bahu pria itu.

“Kakakku sudah bahagia di sana, Alven. Dan dia juga pasti ingin melihatmu bahagia. Kau berhak untuk itu,” bisik Leana lembut sambil mengelus pelan bahu Alven.

Leana kemudian berjongkok dan memejamkan mata untuk berdoa.

Dada Alven sesak. Benarkah, Grace? Kau juga ingin aku bahagia?

Sapuan angin sepoi-sepoi tiba-tiba menyapa tubuh mereka. Seketika rasa lega membanjiri hati Alven. Entah bagaimana ia tahu, yang Leana katakan benar. Grace ingin ia melanjutkan hidupnya dan berbahagia.

Davian melangkah mendekati mereka. “Kau berhak berbahagia, Bung.”

Alven mengangguk samar. Ia belum memberitahu Davian dan sahabatnya yang lain tentang rencana pernikahannya, tapi Alven tahu, sejak dulu yang sahabat-sahabatnya inginkan adalah melihatnya bangkit kembali.

“Orang yang pergi tak akan kembali, kita hanya bisa menyimpan rasa cinta kita pada mereka di dalam hati  bersama kenangan yang pernah ada,” kata Leana lembut sambil menatap Alven. “Sudah waktunya kau melanjutkan hidupmu kembali, Alven.”

Alven menatap Leana muram, tapi juga lega. Lalu ia mengangguk samar.

***

Bersambung...

Evathink
IG : evathink

Memikat CEO yang Terluka [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang