Part 2

41.9K 2.1K 20
                                    

PART 2

Fabella memakai gaun satin semata kaki berwarna merah dengan model indah dan elegan. Sepatu hak tinggi dan tas tangan berwarna senada menjadi paduan sempurna penampilannya.

Bibirnya dipoles liptsik berwarna merah yang tam-pak sensual. Rambut cokelat keemasan yang panjangnya melewati punggung, ditata dengan menawan, diikalkan pada bagian ujungnya.

Fabella puas dengan penampilannya yang anggun malam ini.

Bel apartemennya berbunyi.

Fabella tersenyum simpul. "Clark, Ricki, kakak pergi," Fabella tersenyum sambil meraih kenop pintu.

Kedua adiknya yang sedang menonton televisi di ruang tamu apartemen sederhana mereka, mengacungkan dua jempol.

Fabella membuka pintu dan dadanya berdebar tak menentu saat melihat sesosok pria tampan dalam balutan setelan jas mahal berdiri di depannya.

Fabella bersama pria itu delapan sampai sembilan jam sehari, lima hari dalam sepekan-bahkan terkadang lebih jika ia diajak menghadiri undangan pesta di akhir pekan-namun tetap saja, Fabella tidak kebal pada pesonanya. Alven Manford, sang atasan yang tampan namun dingin selalu membuat hati Fabella menggeliat-geliat penasaran dalam ledakan rindu. Sudah sejak lama ia diam-diam mencintai pria itu.

Sejak hari pertama ia menginjak kantor Alven Manford dan bertemu pria itu, jantung Fabella dengan gembira berdegup kencang. Seiring berjalannya waktu, Fabella sadar ia telah jatuh cinta pada Alven. Hanya saja ia tidak berani menyatakannya atau pun melakukan pendekatan mengingat pria itu tak tampak tertarik menjalin hubungan apa pun dengan wanita mana pun.

Tapi pikiran naif Fabella tetap berharap suatu hari nanti Alven akan menyukai dirinya, memandangnya sebagai wanita yang layak untuk dicintai. Karena itulah sampai saat ini Fabella menolak setiap ajakan kencan dari pria manapun. Ia masih menunggu Alven membuka pintu hatinya untuknya. Hal yang juga membuat ia siap menemani Alven ke pesta mana pun, bahkan berdandan sebaik mungkin meski harus menguras uang tabungannya untuk membeli sepatu dan gaun terbaik.

Hidup Fabella sulit. Ia harus menjadi tulang pung-gung kedua adiknya. Kedua orangtuanya sama sekali tak bertanggung jawab.

Ayahnya menikahi janda muda dan melupakan Fabella dan adik-adiknya begitu saja. Sedangkan ibunya, menikah dengan pria pengangguran yang beberapa tahun lebih muda darinya, yang selalu menyusahkan Fabella. Ibu kandung dan ayah tirinya sering menemuinya di kantor-atau bukan hanya di kantor, tapi di mana saja!-dengan wajah tak tahu malu meminta uang.

Ibunya yang mungkin mencintai suami barunya sepenuh nyawa, justru mendukung hal tersebut dan mengutuk Fabella anak durhaka jika Fabella tidak memberi apa yang mereka minta.

Fabella bersyukur berkerja dengan Alven yang royal dalam memberinya gaji dan bonus, yang cukup untuk membayar sewa apartemen, kredit mobil, biaya hidup sehari-hari ia dan adiknya, dan menyisakan sedikit uang untuk ditabung.

Terkadang Fabella merasa sedih memiliki kedua orangtua yang egois seperti itu. Namun ia tidak mungkin terus meratap dan mengeluh, bukan? Ia harus bangkit. Demi dirinya, demi adik-adiknya yang masih berumur sembilan belas dan dua puluh satu tahun yang bergantung padanya.

Dulu, katanya kedua orangtuanya menikah dengan cinta yang menggebu-gebu, tapi seiring berjalannya waktu, bara api cinta itu padam dan mendingin. Hal tersebut membuat Fabella bertekad, jika ia menikah kelak, ia tidak akan menikah karena cinta yang membara. Ia takut seperti kedua orangtuanya. Fabella akan memilih jalan aman, bersama pria yang ia cintai dan pria itu menghormati dan menghargai dirinya dan pernikahan mereka dengan kesetiaan.

Alven adalah calon yang ideal. Jika ia menikah dengan pria itu, kehidupan rumah tangga mereka pasti berjalan lancar. Fabella sangat mencintai Alven dan mungkin ia bisa sedikit berharap Alven akan mencintai-nya suatu hari kelak. Bukan dengan cinta yang menggebu-gebu yang bara apinya bisa padam dengan mudah. Tapi dengan cinta yang lembut dan kesetiaan yang mengikat.

Fabella menggeleng samar mengingat hayalan gilanya tersebut. Sebuah keajaiban jika sampai Alven menjadi suaminya. Pria itu tak tampak ingin menikah dalam waktu dekat, atau kapan pun. Hidup selibat sepertinya sudah mengakar di dalam diri Alven.

"Hai," sapa Fabella sebisa mungkin menutupi ke-gugupannya dari pandangan Alven.

Alven tidak tersenyum. Hanya menatap Fabella dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kau sempurna."

Fabella tidak bisa menahan senyum lebar mengem-bang di wajahnya. Pujian yang langka dan luar biasa, yang seketika menghapus kesedihan yang sempat menyerang Fabella saat teringat keegoisan kedua orangtuanya. "Kau... juga sempurna," Fabella memindai Alven di depannya dengan mata kelabunya yang berbingkai bulu mata tebal nan lentik.

Alven mengangguk samar.

Fabella sedikit merasa malu. Ia merespons dengan luar biasa pujian Alven, sedangkan pujiannya bahkan tidak bisa membuat senyum tipis melengkung di wajah tampan yang dingin itu. Bahkan mata hijau itu masih bersinar dingin.

"Siap?"

Fabella mengangguk, lalu keluar dan mengunci pintu apartemen.

Ini bukan kali pertama ia menemani Alven ke pesta, tapi tetap saja setiap kali mereka pergi bersama, Fabella merasa gugup dan jantungnya berdegup kencang.

Ini seperti kencan romantis impian Fabella di setiap malam panjang menjelang tidurnya.

Meski Alven tak bersikap hangat sama sekali, Fabella tidak kecewa. Setidaknya ia bangga menjadi wanita yang dipilih Alven untuk menemaninya ke pesta, meski ia tahu ia hanya menjadi perisai pria itu untuk menolak wanita-wanita yang tertarik padanya.

Sebenarnya hal tersebut justru membuat Fabella makin senang. Itu artinya Alven tidak berniat menjalin hubungan dengan wanita lain, bukan? Dan Fabella untuk sementara ini akan aman karena tak perlu merasa cemas akan memiliki pesaing dan kehilangan pujaan hatinya itu.

***

Bersambung...
Vote dan komen ya, kawan2

Makasi

Evathink
IG --»» evathink

Memikat CEO yang Terluka [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang