14

26.9K 1.5K 28
                                    

14

Fabella baru saja mengunci pintu apartemennya dan bersiap pergi ke kantor tatkala satu sosok yang berjalan tergesa-gesa ke arahnya membuat hati Fabella mencelus.

Wanita berumur setengah abad itu tampak berdandan alakadar dengan rambut sebahu yang tergerai dan disisir seadanya.

Fabella benci dengan perasaan miris yang muncul di hatinya setiap kali melihat keadaan ibunya. Penampilan ibunya memburuk sejak menikah dengan pengangguran itu. Entah apa yang membuat ibunya tersihir pada pria tak tahu malu itu.

“Bella, syukurlah ibu menemukanmu di sini!” Andine, ibunya Fabella, tersenyum tak tulus pada Fabella.

Fabella menghela napas berat.

“Ibu membutuhkan uang.”

Selalu seperti itu. Ibunya pikir ia bank dengan jumlah uang yang menggunung. Ibunya sama sekali tak tampak berusaha berhemat. Baru seminggu yang lalu ayah tiri dan ibunya datang ke kantor meminta uang darinya dalam jumlah yang cukup besar.

“Aku tidak punya uang lagi, Ibu,” jawab Fabella, menahan setiap rasa perih dalam suaranya. Andai saja ia punya seseorang untuk berbagi dan bersandar di saat seperti ini. Fabella sangat sedih mendapati dirinya tak lebih dari mesin penghasil uang bagi ibunya. Hanya itu.

Jauh di dalam dirinya, Fabella butuh kasih sayang. Ia iri melihat orang lain yang hidup penuh kasih sayang orangtua. Bukan seperti ia dan adik-adiknya yang harus berjuang melawan kerasnya hidup tanpa kasih dan perhatian orangtua sama sekali.

Plakkk!

Rasa perih menjalar di pipi Fabella. Tapi yang lebih perih dan sakit ada di dadanya. Setiap kali ia menolak memberi uang, inilah yang akan ia dapat.

Air mata membakar rongga mata Fabella, tapi sebisa mungkin ia menahan air mata itu meluncur di pipi mulusnya.

Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan ibunya. Tidak, karena hal tersebut hanya akan memberi rasa sedih yang semakin dalam. Ibunya tak akan peduli pada penderitaan dan kesedihan Fabella.

Andine merampas tas Fabella dengan kasar. Sama kasarnya saat menarik ristleting tas dan mengaduk isinya.

Andine tersenyum puas tatkala menemukan apa yang ia cari. Sebuah dompet kulit dengan model elegan.

Setelah mengambil semua uang kontan yang ada di dalam dompet itu, Andine menyeringai pada Fabella.

“Seharusnya kau tidak berbohong, gadis cilik. Jelas-jelas kau punya banyak uang.”

Air mata Fabella meleleh saat sang ibu berbalik dan meninggalkannya dalam sakit hati tak terperi. Bukan hanya karena uang itu sangat berguna untuk kepentingan hidup Fabella dan adik-adiknya, tapi juga karena sikap ibunya yang tak pernah baik.

Sejak dulu sikap ibunya seperti itu, mungkin hal tersebutlah yang memicu ayahnya pergi.

Fabella merosot putus asa di depan pintu apartemen dan diam-diam menangis.

Pipinya terasa pedih. Baru sekarang Fabella merasakan kepedihan itu. Tapi tentu saja yang lebih pedih adalah hatinya.

Setelah cukup lama menangis, Fabella meraih cermin makeup dari dalam tas dan memoles ulang riasannya yang luntur, setelah itu Fabella bergegas meninggalkan apartemennya. Ia sudah terlambat untuk ke kantor. Dan Fabella tidak suka melakukan hal tersebut. Ia pegawai disiplin.

***

Bersambung...

Evathink
IG : evathink

Memikat CEO yang Terluka [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang