8 - 1

30K 1.6K 10
                                    

8

Alven tiba di apartemen Fabella sepuluh menit lebih awal. Tidak mengerti mengapa malam ini ia sangat bersemangat dan ingin cepat-cepat bertemu Fabella, sama tidak mengertinya mengapa ia merasa lega mengetahui Fabella tidak pergi berkencan di minggu malam ini.

Tak lama setelah Alven menekan bel, pintu apartemen Fabella terbuka.

Alven menatap tak berkedip gadis cantik bergaun biru lembut yang tampak memukau di depannya. Ia mengangguk samar untuk menutupi keterpesonaannya.

"Kau datang lebih cepat," sambut Fabella ceria. "Masuklah. Aku sudah hampir selesai," Fabella membuka pintu lebih lebar.

Alven melangkah masuk, setelah itu Fabella menutup pintu. Gadis itu masih mengenakan sandal rumah berbentuk lucu yang membuat Alven tersenyum samar.

"Duduklah dulu, Alven. Tunggu sebentar aku mengambil tas dan sepatuku," kata Fabella sambil tersenyum.

Alven mengangguk tipis dan duduk di ruang tamu sederhana apartemen Fabella.

Dadanya berdebar halus saat melihat bagaimana menawannya Fabella berada di rumah dengan sandalnya yang lucu.

Lima menit menunggu, Fabella keluar dari kamar, sudah memakai sepatu hak tinggi dan menenteng tas tangannya yang serasi dengan gaun dan sepatunya.

Alven berdiri, menghampiri Fabella, lalu keduanya melangkah keluar.

Fabella banyak tersenyum sambil berjalan di sisinya menuju elevator.

"Aku pikir kau mungkin berkencan dengan keka-sihmu malam ini," ujar Alven tiba-tiba saat berduaan dengan Fabella di elevator. Alven tidak biasa mengu-tarakan apa yang ia pikirkan. Hanya saja ia tidak sadar mengucapkan kalimat itu.

"Kekasih?" mata Fabella melebar, menunjukkan keindahan iris kelabunya. "Aku tidak punya kekasih."

Alven menatap Fabella berspekulasi. "Pria yang menjemputmu kemarin..."

Fabella tertawa kecil. "Hanya teman."

"Oh..." Alven tidak tahu entah mengapa ia merasa lega. Mengetahui Fabella dan pria itu tidak berpacaran seolah telah mengangkat beban berat yang menindih dadanya sejak kemarin.

Pintu elevator terbuka memutuskan percakapan mereka. Alven dan Fabella melangkah keluar.

Saat mereka berjalan menuju mobil mewah Alven, ponsel Alven berdering.

Keduanya berhenti di samping mobil. Alven segera meraih ponselnya dari saku celana, sedangkan Fabella berdiri di depannya dengan senyum manis yang masih terus mekar, sangat kontras dengan Alven yang cenderung muram dan dingin.

"Halo, Ibu..."

"Alven, Ayah mengundangmu untuk makan malam, malam ini. Sejak tadi sore ibu menghubungi ponselmu tapi tidak aktif."

Alven teringat sejak sore ponselnya tidak aktif karena kehabisan baterai, baru saat tiba di parkiran apartemen Fabella ia mengaktifkan kembali ponselnya setelah beterainya terisi penuh.

"Alven? Bagaimana?"

Alven menghela napas halus. "Sebenarnya aku ada acara malam ini, Ibu." Alven melirik Fabella yang masih setia menatapnya dengan mata berbinar. Terkadang Alven salah mengartikan sikap dan tatapan mata Fabella sebagai menyukainya lebih dari sekadar sekretaris pada atasan, namun ia kembali mengingatkan diri, mungkin saja ia hanya merasa terlalu percaya diri akan hal itu. Fabella tak pernah berusaha menggoda atau menarik perhatiannya.

"Ayahmu sudah menunggu. Apakah makanan se-banyak ini hanya akan kami makan berdua? Sarah dan suaminya sibuk, Ardian juga begitu."

Sarah adalah kakak perempuan Alven yang berumur satu tahun lebih tua dari Alven, sedangkan Ardian adalah adik laki-lakinya yang lima tahun lebih muda darinya. Alven tiga bersaudara. Sarah sudah menikah dan memiliki dua orang anak, sedangkan Ardian masih lajang, namun hubungannya dengan kekasihnya tampak sudah sampai ke tahap serius.

"Baiklah, aku akan ke sana," Alven mengalah. Ia tentu saja tak akan membiarkan ayah dan ibunya kecewa dengan ketidakhadirannya.

Alven memutuskan panggilan telepon dan menatap Fabella di depannya dengan perasaan tidak enak.

"Bella, rencana kita berubah."

Fabella mengangkat alis.

"Aku harus ke rumah orangtuaku." Meski suaranya datar, namun hanya Alven yang tahu bahwa ia merasa tidak enak hati pada Fabella yang telah berdandan spektakuler untuk menghadiri pesta pernikahan temannya malam ini.

"Oh, tidak apa-apa. Aku mengerti." Fabella tersenyum.

Terkadang Alven pikir dibuat dari apa hati wanita ini? Fabella bahkan tidak menunjukkan kekecewaannya sedikitpun meski Alven tahu Fabella kecewa. Sinar itu mengintip jelas di mata kelabu indahnya meski tampak sudah disembunyikan dengan baik.

"Kalau begitu hati-hati di jalan, aku akan kembali ke apartemenku, memesan pizza dan makan sambil menonton televisi." Fabella tertawa pelan untuk menghapus rasa kecewanya.

Alven menghela napas panjang dan menatap mata kelabu di depannya. Meski bibir itu tersenyum, mata itu tidak.

"Bagaimana kalau kau ikut aku ke rumah orangtuaku?"

Mata Fabella seketika berbinar senang sekaligus terkejut. "Kau serius?"

Alven mengangguk samar.

Fabella tersenyum manis. "Aku mau. Ayo."

Fabella tampak antusias, dan tanpa alasan yang jelas, Alven merasa lega bisa menghapus kekecewaan gadis itu. Ia hanya berharap kedua orangtuanya tidak salah paham dengan kehadiran Fabella.

Memikat CEO yang Terluka [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang