5

32.9K 1.8K 17
                                    

Berdiri di dekat jendela kaca lebar ruangannya dengan pikiran berkelana, sudah menjadi aktivitas Alven beberapa tahun terakhir ini.

Ia menatap ke atas, pada langit sore yang mulai memerah.

Bayangan Grace muncul di mega-mega, tersenyum manis dan menggoda. Mata Alven berubah berkabut. Dadanya terasa sesak oleh perasaan rindu yang me-nyakitkan.

Lalu bayangan Grace memudar, berganti sebentuk wajah cantik yang selalu tersenyum ceria.

Dada Alven berdebar aneh. Kelebat bagaimana tangannya bergelenyar tatkala meranggul pinggang itu tadi malam bermain di benaknya. Bahkan sekarang Alven bisa merasakan gelenyar itu di tangannya dengan nyata.

Alven memejamkan mata, berusaha menyingkirkan seluruh rasa aneh yang menyapanya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Hayalan gila mengisi rongga kepalanya.

Hayalan gila memeluk Fabella merapat ke tubuhnya dan mengecup bibir semenggoda kelopak bunga mawar itu.

Napas Alven memburu dibakar oleh gelombang hasrat. Dengan cepat ia membuka mata, terkejut oleh gairah yang tiba-tiba bergolak dalam dirinya

Sudah lama. Sudah sangat lama gairah seolah mati dalam dirinya. Tak pernah bergejolak sedikitpun setelah kepergian Grace.

Tapi hari ini...

Ia membayangkan mengecup bibir Fabella dan gairahnya mulai terbakar.

Ada yang salah, desis Alven dalam hati dengan perasaan kesal dan gundah.

Ia tidak pernah melirik dan tertarik pada wanita manapun sejak kepergian Grace. Tapi mengapa hari ini ia membayangkan Fabella? Memikirkan daya tarik fisik yang diam-diam menguar di antara mereka.

Pintu ruangannya diketuk pelan membuyarkan se-luruh lamunan Alven.

Alven melirik ke arah pintu yang terbuka dan matanya menangkap sesosok yang tampak cantik dan anggun dalam setelan kerjanya yang sopan dan elegan.

Alven melirik arloji di tangannya. Jam enam sore. Ia mengatupkan rahangnya sedikit kesal. Seharusnya Fabella sudah meninggalkan kantor sejak tadi, tapi sekretarisnya itu tak pernah mau pulang jika pekerjaannya belum selesai.

Fabella melangkah ke arah meja Alven, begitu juga Alven. Senyum secerah bunga matahari itu mekar di wajah Fabella.

Fabella meletakkan berkas-berkas dokumen ke atas meja. Alven menatap Fabella dengan tatapan berbeda kali ini. Matanya menyusuri alis Fabella yang terukir rapi dan indah, iris kelabu yang dibingkai bulu mata yang lebat dan lentik. Mata Alven turun pada sebentuk hidung mancung yang sempurna, turun lagi pada bibir merah lembut yang menggoda.

Darah Alven memanas. Terbakar oleh hasrat untuk merasakan bibir itu dalam kekuasaan bibirnya.

“Ada lagi yang Anda butuhkan, Sir?”

Khayalan erotis Alven buyar. Diam-diam Alven menggerutu saat menyadari bahwa ia mulai gila oleh hasrat yang tersesat dalam dirinya.

“Tidak. Tidak ada,” jawab Alven dingin, menyembunyikan kegugupannya karena sudah berfantasi erotis tentang bibir sensual itu.

Fabella mengangguk dan tersenyum. “Kalau begitu saya pamit pulang.”

Alven mengangguk samar. Fabella melangkah keluar dari ruangannya. Mata Alven menyapu tubuh indah berbentuk jam pasir itu yang melangkah dengan goyangan pinggul yang menggoda.

Desir-desir panas membakar seluruh tubuh Alven. Setiap tetes darah terasa dengan dahsyat menyerbu ke tengah dirinya, membuat celananya terasa sempit.

“Ini gila,” desis Alven kesal saat matanya tak berkedip menatap sosok itu menghilang di balik pintu penghubung ruangan mereka.

Alven yakin sekarang ia benar-benar gila oleh hasrat gelap yang tersesat dalam dirinya. Beberapa tahun terakhir ini, ia bahkan tak bisa menatap wanita dengan tatapan intens dan membayangkan hal-hal berbau erotis.

Alven menghela napas berat dan meraih tas kerjanya, segera meninggalkan ruangannya sebelum wangi parfum bunga mawar yang sensual milik Fabella, semakin membekukan akal sehatnya dan membuatnya mengem-bara dalam khayalan erotis.

Saat keluar dari pintu kantornya, Alven terkejut ketika melihat seorang pria tampan berbicara dengan Fabella di lorong depan kantor.

Pria itu menghadap ke arah Alven, sedangkan Fabella membelakanginya.

Mereka bercakap-cakap sejenak, lalu pergi.

Alven tidak mengenal pria itu. Ia mengerut kening dengan dada yang tiba-tiba terasa panas.

Apakah pria itu kekasih Fabella? Tapi selama ini Fabella tidak pernah mengatakan memiliki kekasih.

Alven mengatup rahang kesal. Tentu saja Fabella tak perlu melapor padanya jika memiliki kekasih, bukan?

Tapi sikap Fabella yang menerima ajakan pestanya membuat Alven berpikir gadis itu tidak memiliki pasangan. Apakah Fabella menemaninya selama ini semata-mata hanya karena permintaan dirinya sebagai atasan?

Rasa tidak nyaman menyerang seluruh saraf Alven dengan dahsyat. Alven tak suka memikirkan Fabella memiliki kekasih. Ia tak suka membayangkan harus berbagi Fabella dengan pria lain. Pria manapun.

Naluri primitif mulai membakar dengan dahsyat darah Alven. Naluri ingin memiliki Fabella untuk dirinya sendiri.

***

Bersambung...

Evathink

Note : abaikan tanda hubung yg gak kehapus ya, tetap enjoy baca :)

Memikat CEO yang Terluka [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang