“Sometimes, after putting people first for the longest time, it's okay if you want to be selfish and put yourself first. That's normal.”
======
“Lo menghindari gue?” Agam mengulang pertanyaannya. Namun yang ditanyai hanya diam seperti patung.
Iren gelagapan, tidak berani menatap langsung wajah laki-laki yang ada dihadapannya sekarang.
“Nggak!” Iren menyangkal. Walaupun sebenarnya memang iya kalau ia menghindari cowok itu.
“Lo terlalu mudah dibaca, Ren. Sikap lo itu terlalu kentara. Lo nggak bisa bohong dari gue.” Agam maju satu langkah, mempersempit jarak diantara keduanya.
“Apa lo nggak merasa bersalah sama sekali? Setelah apa yang udah lo lakuin? Lo tau kan itu salah?” Kini Iren memberanikan diri menatap manik mata Agam.
“Menurut lo itu salah?” Agam balik bertanya.
Iren mengernyit, masih belum mengerti jalan pikiran cowok yang ada di hadapannya ini. Agam tau kan kalau Binar itu sahabatnya? Sebenarnya apa yang Agam mau?
“Jelas salah. Apa lo nggak mikir, gimana perasaan Binar kalau tau. Demi tuhan, lo itu pacar sahabat gue. Nggak seharusnya lo cium gue kaya kemarin,” napas Iren tersengal. Meluapkan segala emosi yang sejak kemarin ia pendam.
“Kenapa lo selalu mikirin orang lain terlebih dahulu, dibanding mikirin kepentingan diri lo sendiri?” kata-kata Agam tajam dan menusuk.
Sebelumnya, Iren belum pernah melihat ekspresi dingin Agam seperti sekarang ini. Selama ini, Agam selalu menebarkan senyuman ramah dan jenaka. Satu sekolah pun tau, kalau Agam Wijaya adalah pribadi yang hangat kepada siapapun.
“Maksud lo apa?” Iren masih tidak mengerti.
“Lo selalu mementingkan orang lain dibandingin diri lo sendiri. Kenapa terlalu keras sama diri sendiri? Lo nggak perlu kaya gitu”
Iren masih sulit mengartikan kalimat Agam. Ia merasa kalimat cowok itu terlalu ambigu. Iren mulai merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Ia melirik sekitar, memastikan tidak ada yang melihat percakapannya dengan laki-laki ini. Beruntungnya lorong menuju toilet sepi, tidak ada siapapun. Mungkin karena sebentar lagi bel masuk berbunyi.
Agam berdecak melihat raut bingung Iren, “Oke. Bakal gue bikin lo sedikit mengerti. Gue ambil contoh kecil. Misalnya, kemarin lo kasih PR lo ke Binar. Dan ngebuat diri lo sendiri dihukum. Gue rasa, lo udah bersikap nggak adil sama diri lo sendiri.”
Penjelasan Agam terasa tidak masuk akal menurut Iren. Jelas saja, ia ingin membantu Binar, sahabatnya. Seharusnya Agam senang, karena itu berarti ia sudah membantu pacarnya bebas dari hukuman.
“Seharunya lo berterima kasih sama gue. Seperti yang udah gue bilang kemarin, gue bantu pacar lo buat bebas dari hukuman. Jadi apa yang harus lo permasalahin?”
“Masalahnya ada di lo, di diri lo sendiri. Gue nggak suka, lo lebih mikirin kepentingan orang lain, dan malah merugikan diri lo sendiri.” nada suara Agam sedikit meninggi.
Iren diam. Semua kata yang sudah ditenggorokan seolah tertelan kemabali. Iren tidak mengerti kenapa Agam mengatakan kalimat seperti itu. Jujur saja, laki-laki itu mulai menyulitkannya. Iren sedang berusaha menghilangkan perasaanya terhadap Agam. Dan sekarang laki-laki itu bertindak seolah ia orang yang paling perduli akan hidup Iren. Lucu sekali.
“Kenapa?” bisik Iren, “Kenapa, Gam? Kenapa baru sekarang seolah-olah lo menjadi orang paling peduli sama gue?”
Jujur saja Iren sudah lelah. Ia tidak mau berdebat lagi dengan Agam. Meladeni cowok itu membuat kepalanya ingin meledak. Kemudian, gadis itu hendak berlalu meninggalkan Agam begitu saja. Namun, lengannya sudah lebih dulu dicekal oleh Agam. “Lo suka gue, kan?” kata Agam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better With You
Teen FictionIren telah kehilangan banyak hal sepanjang ia hidup. Ia kehilangan Ayah dan Ibunya disaat usia delapan tahun, kehilangan kebahagiaan, kehilangan sahabat, dan kehilangan cinta pertama. Agam Wijaya adalah orang yang tidak boleh Iren cintai. Mana boleh...