“Loving can hurt sometimes
But it's the only thing that I know.”—Ed Shereen.=====
Iren paling benci jam olahraga.
Diantara semua mata pelajaran, kenapa harus ada jam olahraga?Lihat saja saat ini, Iren sudah megap-megap karena pemanasan lari keliling lapangan tiga kali putaran. Keringatnya bercucuran, dan napasnya putus putus. Iren memang jarang olahraga bahkan nyaris tidak pernah. Mana sempat ia olahraga?
Disaat Iren mengibaskan tangannya ke wajah karena panas, Binar yang disampingnya memoleskan liptint ke bibirnya dan bercermin melalui layar ponsel.
“Lo mau?” Binar menawarkan liptint miliknya.
Iren menggeleng sambil terus mengibaskan tangannya berusaha menghasilkan angin yang lebih kencang.
“Muka lo pucet itu.” Binar menatapnya.
"Capek." jawab Iren singkat.
"Ini pake liptint gue, biar nggak pucet.” tawarnya.
Iren menatap Binar dengan tatapan aneh. Yang benar saja? Hal yang paling Iren inginkan sekarang adalah minum es teh manis di kantin, bukan malah memoleskan liptint dibibirnya agar tidak terlihat pucat.
Iren menggeleng, "Enggak Bi, makasih loh." jawab Iren sarkas.
Binar mengerucutkan bibirnya, lalu memasukan kembali liptint ke dalam saku celana trainingnya.
"Prriiittttt" Bunyi peluit Pak Herman berbunyi.
Seperti sudah mengerti, semua murid XI MIA 1 berbaris dengan tertib menghadap Pak Herman.
"Hari ini latihan dulu saja ya, minggu depan baru saya ambil nilai praktik." katanya.
"Yang Putri bisa main futsal seperti minggu kemarin, atau mau coba main basket?" lanjut Pak Herman.
Serentak semua anak cewek menghela napas, seolah menolak keras permintaan Pak Herman.
"Anak cewek jangan disuruh main futsal Pak!" celetuk Dimas, "kebanyakan teriaknya, main futsal tapi pake tangan. Si Freya tuh" lanjut Dimas, disusul tawa pecah XI MIA 1.
Freya menatap sinis Dimas, "Apa sih lo, resek!"
Dimas hanya menjulurkan lidahnya, tanda bahwa ia tidak peduli.
Memang benar kata Dimas. Di saat anak cewek harus main futsal, lebih banyak teriaknya dari pada mainnya. Seperti minggu lalu, karena tidak berhasil menendang bola dengan kakinya, Freya nekat membawa bola dengan tangannya dan memasukannya ke dalam gawang. Biar cepat kelar katanya.
Iren menghela napas. Olahraga memang bukan passionnya. Ia lebih baik mengerjakan 50 soal matematika dari pada harus main futsal dengan Freya cs. Benar-benar hal buruk.
"Gue nggak mau ikutan, ah." celetuk Iren ketika Pak Herman sudah berlalu.
"Nggak bisa dong, Ren. Lo harus ikut, biar pas. Kalau lo nggak ikutan, kurang orang" Kata Freya.
Iren mendengus, kemudian ia menatap Binar agar bisa membelanya, namun gadis itu hanya mengangguk seolah membenarkan kalimat Freya.
Iren pasrah, ini benar-benar akan jadi hari yang panjang.
Mata Iren menangkap ke arah Agam yang sedang bermain basket bersama teman-teman sekelasnya. Melihat cowok itu hati Iren menghangat. Agam bermain dengan lepas, seolah-olah basket adalah seluruh hidupnya.
"Iren, ayo cepat." Suara melengking Freya terdengar. Cewek itu sudah bersiap dilapangan futsal sambil memegang bola, bersama teman sekelasnya.
Yang paling Iren tidak suka dari Freya adalah sikap sok taunya. Iren tahu betul dia juga benci olahraga, namun cewek itu bersikap seolah-olah dia bisa agar terlihat keren. Huh dasar ratu pencitraan! Dengan lesu Iren menghampiri teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better With You
Teen FictionIren telah kehilangan banyak hal sepanjang ia hidup. Ia kehilangan Ayah dan Ibunya disaat usia delapan tahun, kehilangan kebahagiaan, kehilangan sahabat, dan kehilangan cinta pertama. Agam Wijaya adalah orang yang tidak boleh Iren cintai. Mana boleh...