“Mereka tau kalau saling menyakiti, namun keduanya diam. Memilih menikmati rasa sakit yang tidak berujung.”
=====
Iren memakai kembali seragam sekolahnya setelah meletakan seragam kerjanya di loker yang ada di ruangan khusus di belakang minimarket.
“Lo pulang di jemput?” Iren melirik Windi yang sama sepertinya, bersiap pulang.
Gadis berambut sebahu itu mengangguk, melirik jam di tangannya “Dio agak telat katanya. Ban motornya bocor, jadi harus tambal ban dulu.” jawab Windi. Dio yang ia maksud adalah pacar Windi, yang rutin antar jemput gadis itu kerja.
“Lo udah pesan ojol?” Iren menggeleng. Keduanya berjalan beriringan keluar dari mini market, yang sebentar lagi akan di tutup oleh pemiliknya. Itu adalah salah satu hal yang membuat Iren betah part-time di sini, karena pemilik mini market ini peduli dan tau kalau peran Iren dan Windi hanya pegawai part-time. Setiap pagi, pegawai tetap akan datang dan berkerja hingga sore, yang nanti setelah shift mereka habis akan di gantikan oleh Iren dan Windi.
“Gue di jemput.” kata Iren.
Windi terlihat sumeringah, “Serius?” katanya. Pasalnya Iren ini nyaris tidak pernah di jemput. “Pacar lo, ya?” tanya Windi kepo.
Iren tersenyum. Tadi Agam mengiriminya pesan singkat kalau ia akan menjemputnya. Jelas saja itu mebuat perasaan Iren berbunga-bunga, entah lah harus menyebutnya apa perasaanya saat ini yang jelas Iren senang. Agam itu bisa kan disebut sebagai pacarnya? Ekspresi Iren itu membuat Windi semakin penasaran.
“Kalian udah mau pulang?” itu Mas Ardi, pemilik mini market ini. Ia sedang di meja kasir, sedang menotal pendapatan hari ini seperti biasanya. Mas Ardi ini terbilang masih cukup muda, usianya di perkirakan masih 27 tahun. Dan dia sudah menikah.
“Iya, Mas.” jawab Iren.
“Hati-hati di jalannya, ya.” ucap Mas Ardi. Dan dibalas Windi dengan mengangkat jempolnya sambi nyengir.
Di depan, mata Iren mendapati Agam yang sedang bersandar di kap mobil hitamnya, matanya menatap layar ponsel. “Ganti lagi ini? Bukan yang kemarin?” bisik Windi, menggoda Iren.
Iren mendorong Windi, “mana ada yang kemarin.” Iren mengelak.
Agam mengangkat kepala dari ponsel, dan melempar senyum ke arah Iren. Ya tuhan, kalau tiap hari Agam senyum gitu terus untuknya, Iren rela menukar dengan apapun. Rasanya, lelah seharian ini hilang begitu saja.
Iren menghampiri Agam, “Kok nggak chat gue kalau udah sampai?”
“Sengaja.” Agam memasukan ponsel ke dalam saku celananya, “Udah?” tanyanya.
Semua itu tidak luput dari perhatian Windi. Kadang gadis itu bertanya-tanya kenapa Iren bisa berkerja paruh waktu padahal bila dilihat dari apa yang Iren pakai dan orang di sekitarnya, Windi bisa menyimpulkan kalau Iren orang mampu. Apa lagi fakta kalau Iren juga sekolah di SMA PELITA yang bukan jadi rahasia umum lagi kalau biayanya saja selangit.
“Tadi jadi cari buku Fisika ke gramedia?” Iren membuka pembicaraan ketika sudah dijalan, Agam pokus menyetir.
“Jadi. Cuma nggak nemu yang kayak punya lo, susah carinya.” wajah Agam berubah murung.
“Memang agak susah, waktu itu aja gue nggak sengaja nemu.” kata Iren, “Nanti kalau gue libur part-time gue temenin lo nyari, deh.”
“Serius?” Agam menoleh kesamping, Iren mengangguk. Kemudian Iren mengeluarkan buku catatan fisika dari dalam tasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better With You
Teen FictionIren telah kehilangan banyak hal sepanjang ia hidup. Ia kehilangan Ayah dan Ibunya disaat usia delapan tahun, kehilangan kebahagiaan, kehilangan sahabat, dan kehilangan cinta pertama. Agam Wijaya adalah orang yang tidak boleh Iren cintai. Mana boleh...